LE -2-

484 22 6
                                    

"Oh, tidak-tidak! Di mana aku meletakkan benda itu?" gerutu Hans frustasi. Sudah semua sudut ruangan ia mencari, namun belum juga diketemukan.

Hans kembali mengingat-ingat di mana waktu terakhir ia mempermainkan benda yang merupakan peninggalan berharga dari kakeknya. Tetapi, seingatnya ia tak pernah melepaskan jam itu dari tangannya. Kalaupun ia lepas, ia akan melepasnya hanya sewaktu berada di rumah. Selebihnya tidak. Terjatuh? Mungkin saja.

Emily. Mungkin saja gadis itu tahu di mana jam tangannya berada.

Hans meraih telepon seluler. Dan menelpon Emily dengan segera.

"Emily, kau di sana? "

"Ya, Hans. Aku Emily, ada apa?"

"Eum ... kau melihat jam tangan ku seharian ini?"

Terjeda beberapa detik. Sepertinya ia sedang berpikir sesuatu.

"Sepertinya tidak."

Frustasi lagi. Hans menarik napas panjang. Menggaruk-garuk kepalanya yang dipenuhi rambut pirang yang sudah waktunya untuk dipotong.

"Tapi tunggu ...."

"Bukankah ...."

"Benar, aku ingat! Terima kasih, Emily."

Hans memutus sambungan teleponnya. Kemudian berjalan dengan tergesa ke arah lemari untuk mengambil jaket berbulu. Musim saat ini sedang tidak begitu bagus. Terlebih ini sudah hampir malam.

Dari balik sana, mungkin Emily mengklaim Hans adalah lelaki gila yang aneh. Bagaimana bisa ia belum menjelaskannya tetapi ia sudah mengetahui jawabannya? Bukankah hanya pertanyaan retorik semata? Ah, untung saja dia adalah sahabatnya.

"Hei, Hans. Jangan terburu-buru!"

Hans menghentikan langkah kakinya. Ia menatap penuh kehormatan wanita itu.

"Duduklah, kemari."

Dari halaman rumah, Hans beranjak mendekati wanita yang sedang terduduk di beranda dengan secangkir teh hangat dan koran yang sedang dibacanya. Mungkin sedikit terdengar gila, kebanyakan orang membaca koran di pagi hari, itupun seringnya dilakukan oleh para pria. Tetapi selalu saja ada sesuatu yang berbeda dari Nenek Clarion. Di suhu udara yang tidak hangat ini, wanita itu masih tetap bertahan sendirian. Kulitnya masih cukup kuat untuk menahan suhu yang sangat rendah. Dibanding Hans, ia tentu lebih memilih tidur jika saja jam tangannya tidak hilang.

"Kau tahu tentang berita Mac Dinston?"

Hans, menggeleng. Apa yang ia tahu tentang orang kaya yang bertempat tinggal di sudut kota ini?

"Dia ditangkap polisi siang ini. Dan kabarnya, para anak buah Mac akan menghancurkan kota ini untuk balas dendam."

"Lalu?"

"Entahlah. Aku tak tahu berita kelanjutannya."

Nenek Clarion meletakkan surat kabar yang baru saja dibacanya di atas meja. Dari sana terlihat foto sekeluarga Mac. Mata Hans menangkap sesosok bocah yang berdiri di antara Mac dan istrinya.

Bocah pagi tadi? Benarkah?

Mengenai Mac, aku tidak peduli.

"Apa yang kau cari hingga kau terburu-buru, tadi?"

"Tidak ada." Mengakui kenyataan sepertinya bukan hal terbaik. Pasalnya , ia meyakini Nenek Clarion hanya akan menertawai Hans yang kehilangan jam tangannya hingga seperti itu. Bukankah masih ada hari esok? Ataupun jika tidak ditemukan, untuk orang seperti Hans membeli jam baru bukan sesuatu yang terlalu sulit, bukan? Tapi, kebanyakan orang tidak tahu menahu berapa berharganya benda itu jika dilihat dari luar segi material.

"Baiklah, aku tak mau ikut campur."

Hans tahu, bagaimana wanita itu benar-benar bisa membaca kebenaran yang disembunyikan oleh Hans. Tetapi sepertinya ia memang sedang malas untuk terus menyudutkan Hans.

"Kurasa kau harus masuk. Suhu di sini tidak baik untuk orang seusiamu, Nek." Apapun itu, Hans ingin segera pergi dari sini. Merasakan dingin yang begitu mencekam membuatnya membalikkan pikiran untuk kembali ke kampus.

Nenek Clarion tersenyum simpul. Berpikir apa yang dikatakan Hans barusan adalah lelucon semata, tetapi ada benarnya juga, meski situasi perasaannya sedang sangat baik.

Nenek Clarion hampir beranjak.

"Jika malam nanti kau memimpikan kakekmu, katakan; Aku akan segera memberikan jawabannya."

Hans mendongak dengan salah satu alis terangkat, hingga kerutan-kerutan kecil nampak jelas di kening Hans.

"Kau ini bicara apa?"

Lagi-lagi wanita tua itu hanya tersenyum. Ia berlalu masuk ke dalam rumah meninggalkan Hans sendiri.

Hans mematung, sebelum akhirnya ia memutuskan kembali karena hari sudah mulai larut. Mengenai jam tangannya, jika Tuhan masih berkehendak benda itu pastilah akan kembali padanya.

Hans membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Melepas segala dahaga akibat banyak hal yang ia lakukan hari ini. Ia menatap langit-langit rumah, mencerna baik-baik perkataan terakhir Nenek Clarion. Sebenarnya itu bukan masalah besar, tetapi justru membuat ia terus memikirkannya.

Hans melirik ke samping ranjang menatap benda yang tergeletak di atas nakas. Tak Ada jam tangan kesayangannya, masih ada jam wekker kebanggaannya.

Aku tak pernah ingin menjadi seseorang yang selalu ingin tahu mengenai waktu. Tapi, selalunya tak bisa. Bahkan detakkan jarum jam pun kadangnya membuatku menerawang ke entah berantah. Ke sisi terjauh dari dunia ini, mungkin.

Hans menatap jendela yang terbuka, dari sana terpantullah cahaya bulan purnama.

Aku harap, besok masih ada kehidupan.

Semua lampu di rumah itu sudah mati. Hans mengganti posisi tidur miring menghadap nakas dan membelakangi jendela. Dalam hitungan detik saja, ia terlelap.

Lagi-lagi tentang Kakek, "Temukan jawaban dari perbincangan dengan orang yang kau temui hari ini."

Last Earth [E N D]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang