"Terkejutlah jika kau mau. Aku datang hanya untuk menyampaikan sesuatu hal. Sebelum aku benar-benar hilang dan takkan menunjukkan diri lagi."
"Ka—kak?" tanya Franklin kaku. Keringat dingin membanjiri tubuhnya, suasana yang kini ia rasakan jauh dari kata nyaman. Ia merasa terpojok. Ia semakin tak keruan. Dia sadar dia tak lagi muda. Dia sudah dewasa dan mungkin dalam golongan dewasa tahap akhir. Yang dalam sekali kedipan mata saja nyawanya akan menuju keabadian.
Rutherford tertawa kecil saat melihat gelagat Franklin yang seperti mati kutu, juga menerawang apa yang dipikirkannya saat melihat Rutherford berdiri di hadapannya. Itu sungguh hal mustahil yang pernah terjadi setelah seseorang dinyatakan melangkah menjauh menuju tempat pengabadian.
"Dua hal yang perlu kau pertimbangkan sebelum kesialanmu datang; mengakui atau membiarkan semuanya terus berlarut tanpa kejelasan. Aku tahu persis apa yang akan terjadi berikutnya, tetapi kurasa tidak akan apa-apa jika setidaknya kau mengakui kesalahanmu di depanku sekarang." Rutherford menatap Franklin yang merasa mulai ketakutan dengan selintas senyum sinis. "Aku datang tidak untuk menakutimu, tetapi aku hanya ingin kau benar-benar membuka kain hitam yang membuatmu seperti kesetanan. Aku hanya ingin suatu saat kau kembali dengan dada yang lapang, tidak ada beban yang membuatmu kembali menapak bumi.
Kau mungkin bertanya-tanya mengapa aku ingin Hans menyembunyikan buku itu jauh sejauh mungkin hingga tak ada satupun orang yang tahu. Kau perlu berpikir bagaimana buku itu menjadi petaka yang membuat kota ini diporak-porandakan. Lihat semua ini. Sekecil itu bisa membuat kota ini benar-benar hancur. Jadi, bagaimana jika benda itu tetap berada di keramaian? Kau mungkin takkan mampu membayangkannya, Frank."
Franklin menunduk. Ya, mungkin benar. Ia terlalu egois menjadi bagian dari orang penting itu. Apa ia harus mengakui semua itu sekarang? Ia bahkan terlihat seperti pecundang sekarang. Bodoh.
Pikiran Franklin benar-benar ditekan kuat oleh semua ucapan Rutherford. Dia begitu hebat dalam membuat orang-orang membungkam—kalah.
"Baik," ucapnya dengan nada rendah. Ia menunduk kalut. "Aku mengakui sekarang! Akulah yang membuatmu mati, Ruther!" Perasaan Franklin kini tak lagi bisa ditahan. Ia menatap pasrah dengan kekecewaan yang baru ia sadari sekarang. Di depan kakak yang sudah membuatnya dikenal hebat banyak orang.
"Jadi semua karenamu?"
♠️
Grace menendang paksa sebuah botol yang tergeletak di jalanan. Ia kesal pada diri sendiri, juga kedua temannya yang dengan seenaknya menyalahkan dirinya. Ya, memang ia salah sudah bersikap buruk pada Nenek Clarion. Tetapi apa tidak adakah cara yang lebih baik daripada memojokkan dirinya seolah ia yang paling salah di sana?
Tiga orang itu terdiam, mungkin menikmati transportasi jalan kaki dalam jarak yang tidak dekat. Rasa pegal terasa, tentu saja, bukankah mereka sudah berjalan berkilo-kilo hingga rumah Hans, dan sekarang, jarak jauh ditempuh lagi menuju rumah Kenn.
Mereka hampir sampai rumah Kenn. Berjarak kurang lebih seratus meteran, mata ketiga orang itu menatap je arah dua pria tua yang seperti berbincang. Mereka dengan cepat mendekat, tetapi mereka masih tidak menyadari kehadirannya. Setelah jaraknya semakin dekat, mereka bertiga tak sengaja mendengar perkataan pria yang tak jelas wajahnya karena tertutupi tubuh renta seseorang yang sedang menghadapnya.
"Aku mengakui sekarang! Akulah yang membuatmu mati, Ruther!"
"Jadi semua karenamu?"
Franklin memiribgkan kepalanya saat mendengar suara seseorang dari balik tubuh Rutherford. Ia tercengang kaget, apa ini yang dimaksud kesialan baginya? Entah Franklin akan mengatai Rutherford sialan atau dirinya sendiri yang sangat sial sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Earth [E N D]
Science Fiction[TYPO Mohon maaf] Misi balas dendam seorang penguasa kota, harus berimbas pada kehidupan empat remaja yang bernaung di bawah sebuah misi yang dititipkan mendiang kakek si peramal tentang keajaiban waktu dari Clock Wizzard Museum. Sebuah ancaman bes...