Hans membuka pintu angkutan umum yang membawanya hingga depan gerbang kampus. Setelah merogoh beberapa lembar uang dan memberikannya pada pak supir, ia beranjak masuk ke dalam dengan tangan yang dimasukkan ke dalam hoodie kebanggaannya.
Cuaca tidak cukup mendukung, sepertinya akan hujan. Langit mulai berbalut awan kelabu, itu membuat Hans mempercepat langkahnya memasuki area kampus.
Hari ini, tempat yang utama dituju Hans adalah taman. Tentu dengan harapan jam tangan miliknya masih berada di sana dengan tanpa kekurangan. Sekadar harapannya, walaupun sepertinya mustahil sebab hujan pagi buta tadi mungkin saja telah mengguyur kampus ini.
Dari kejauhan terlihat bangku yang disinggahinya kemarin. Benar saja. Jam itu sama sekali tak terlihat. Hans menunduk kalut, sebelum akhirnya ia berbalik dan berlanjut menuju kantin."Hans Ellandric Mell!" sapa seseorang sembari menepuk bahu Hans.
Hans memutar kepalanya sedikit mendongak menatap wajah si pelaku. "Jack Williamz."
Kedua lelaki yang tak banyak terpaut usia itu saling tersenyum, berjabat tangan kemudian teman Hans-Hans menyebutnya Willy-duduk di sampingnya.
"Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu, Hans." Willy membisik sangat pelan hingga hanya keduanya yang dapat mendengar. Ia pun berbicara sembari membeliakan mata memantau keadaan di sana.
"Apa?"
"Shutt..." Willy menempatkan telunjuknya di atas bibir dengan mata yang terus mengintai sesuatu. "Pelankan suaramu," ucap Willy dengan selirih mungkin.
Hans hanya memperhatikan dengan heran. Ia pikir setelah kabar terakhir yang ia dengar tentang Willy yang terjatuh dari tangga akibat menyelamatkan balon udara milik bocah berusia dua tahun menyebabkan otak lelaki itu berpindah posisi (?) Mungkin saja.
"Ini tentang misi kita."
"Tapi aku belum menemukan surat rahasia di rumahku," balas Hans seakan malas untuk membicarakan hal ini.
"Ayolah Hans. Aku tahu bagaimana dirimu jika mengenai hal ini."
"Bagaimana jika bumi benar-benar hancur?" tanya Hans dengan nada yang tak berubah.
"Shiit! Kau tahu? Kau sangat bodoh!"
"Kudengar orang-orang dari Mac Dinston akan menghancurkan kota ini." Ucapan dari Hans itu membuat beberapa pasang mata penghuni kantin menatap penuh tanya ke arah Hans.
"Baik, sepertinya membicarakan hal itu di sini tidak cukup baik, Hans." Willy menyadari tatapan mereka cukup membuat ia takut semua mengetahuinya. Ia hanya bisa menarik napas melihat Hans yang tidak sepemikiran dengannya kali ini. Mungkin otaknya sedang geser, hingga ia melupakan misi dari kakek.
♠
"Aku tidak melihat Emily seharian ini. Kemana dia?" Agaknya semua orang di dekat Hans kini benar-benar sudah kehilangan otak warasnya. Bagaimana tidak? Orang-orang yang menemuinya beberapa hari belakangan ini lebih suka mengejutkannya ketimbang membuka percakapan dengan sepantasnya. Bagaimana jika ketidaksengajaan itu justru membuat ia jantungan? Apakah mereka mau bertanggung jawab?
"Bagaimana dengan artikel berjudul 'Bumi Terakhir' yang kau tunjukan padaku beberapa hari yang lalu?"
Bahkan sebelum Hans menoleh ia sudah tahu persis siapa lelaki sepantarannya yang kini berjalan berdampingan dengannya.
Hans menoleh dengan senyum tiada arti. "Pertanyaan manakah yang harus aku jawab terlebih dahulu?"
Kenn tertawa. Sebelum akhirnya ia menepuk punggung Hans dengan seenak jidat. Oh shitman!
"Terserah kau, Kawan! Haha!"
Apakah ada sesuatu yang lucu di sini?
"Aku tidak tahu. Bagaimana dengan Lise?"
"Lise?" Kenn berpikir, "kupikir dia mati karena telah meninggalkanku sendiri di koridor pagi tadi," ucapnya tanpa berpikir logis. Tak dipungkiri, virus kegilaan sudah benar-benar menyebar hingga otak-otak teman Hans.
"Kupikir, bagaimana jika sore nanti aku dan Willy ke rumahmu?"
"Tentu saja."
Kenn mengangguk. Mereka melanjutkan langkah kaki menuju persimpangan depan. Barulah di sana mereka akan berpisah karena arah yang berbeda.
"Hans," ucap Kenn lirih, pandangannya lurus ke depan tanpa menoleh sekeliling.
"Aha?" Hans menoleh ke arah Kenn.
"Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu."
"A-" Ucapan Hans terpotong. Fokusnya beralih pada seseorang yang tiba-tiba saja menyenggol tubuhnya. Sedikit terpental beberapa senti. Namun, itu tak jadi masalah.
"Maaf. Aku tak melihatmu, tadi," ucap Hans apa adanya. Melihat perawakan tinggi besar, berpakaian serba hitam cukup membuat Hans berpikir sesuatu.
"Aku yang salah. Tetapi, ada baiknya jika kau kenakan kacamatamu. Semoga harimu menyenangkan." Orang itu berlalu dari hadapan Hans.
Suaranya terdengar menggelegar, tetapi tak terlalu ia pikirkan mengingat ada benarnya juga. Bagaimana bisa ia lupa untuk memakai kacamatanya? Shit!
"Kau melihat ada sesuatu yang aneh?" tanya Kenn yang sedari tadi memperhatikan lelaki itu dengan seksama. Dia cukup mengerti persoalan sesuatu yang tersembunyi dari balik seseorang.
Hans pun berpikir demikian, tetapi ia tak menghiraukannya lebih lanjut. Lagipula berpikir panjang di tengah gelapnya kota yang berselimut awan hitam bukanlah hal yang baik. Bagaimana jika hujan tiba-tiba mengguyur?
♠
Beberapa dari 'mereka' adalah rencana masa yang akan datang, entah itu besok, atau lusa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Earth [E N D]
Science Fiction[TYPO Mohon maaf] Misi balas dendam seorang penguasa kota, harus berimbas pada kehidupan empat remaja yang bernaung di bawah sebuah misi yang dititipkan mendiang kakek si peramal tentang keajaiban waktu dari Clock Wizzard Museum. Sebuah ancaman bes...