"Ada sesuatu yang perlu kami bantu?"
Di ruangan yang tak cukup luas ini Hans dan Kenn datang, sebenarnya Hans sendiri belum menyetujui tindakan Kenn yang terlalu cepat tanpa berpikir apa resiko besar yang akan diterimanya setelah apa yang ia lakukan kali ini.
Ketika Kenn menatap wajah Hans, Hans hanya menggeleng tidak mau ikut berbicara. Hans ingin Kenn saja yang menyampaikan apa tujuan mereka berada di sini. Ia datang kemari juga bukan jarena kemauan sendiri, bukan?
"Ee ... begini Pak ...." Kenn menatap nametag yang menenpel di dada kiri pria yang sedang berbicara dengannya. "Aku ingun membuat laporan tentang penculikan serta penghancuran kota ini," ucap Kenn hati-hati. "Kuharap kau bisa memberi kesdilan akan apa yang menimpaku dan teman-temanku, juga semua orang yang bergantung hidup di kota ini. Dan kurasa kau juga terpengaruh, bukan?"
"Apa kau berbicara soal Tuan Mac?"
Kenn dapat melihat dari cara berbicara orang itu, cukup meyakinkan jika ia seperti sedang dalam kendali seseorang.
"Kenapa?"
Pak Reizdo menggeleng, dan nampak mulai gugup. Seperti sedang berusaha untuk tetap tenang. Tetapi itu bukan hal sulit untuk Kenn mengetahui itu, bukan? Apa kalian ingat jika Kenn memiliki sesuatu 'itu'?
Dari pertanyaan Kenn tadi justru membuat Hans tergugah akan apa yang dilaporkan Kenn pada kepolisian Wizzard. Ia tahu persis bagaimana Kenn dengan sesuatunya itu. Dan bahkan Hans melihat raut-raut tak meyakinkan terlintas di sana. Beberapa kali pria itu membuang muka dan sedikit menunduk seperti kebingungan(?)
"Tuan Reizdo."
Pemilik nama itu langsung menatap buru-buru Hans tang memanggilnya. Dalam benaknya bertanya bagaiaman bisa dia mengetahui namanya? Bahkan ia sendiri belum memperkenalkan diri.
"Dia mengetahui dari tanda pengenal di dada kirimu," ceplos Kenn yang semakin membuat Reizo membungkam.
"Sebaiknya kita kembali ke topik awal. Bagaimana dengan laporan kami?"
"Erg ... kami memerlukan bukti yang kuat. Yang menyatakan kebenaran akan apa yang kalian tuduhkan."
"Jika kau tidak percaya, sebagian dari anak buah mereka berada di rumah temanku." Kenn menoleh ke arah Hans, sebagai bentuk simbol orang yang dimaksudnya.
"Berikan jami informasi lengkap alamat anda, termasuk nama pelapor dan identitas yang dipercayakan." Reizdo memberikan selembar kertas untuk Hans dan Kenn isi data-datanya.
"Segera kami lakukan yang terbaik." Setelah selesai mengisi data, Reizdo mengambil kembali kertas itu. "Jangan lupa bukti kuat terhadap tuduhan kalian. Kami membutuhkannya untuk penyelidikan kami."
Kenn dan Hans mengangguk bersamaan. "Baik. Kemungkinan besar sebagian dari orang-irang itu masih berada di rumahku. Semakin celat tentu semakin baik, bukan?"
Reizdo mengangguk. "Akan segera kami lakukan."
"Terima kasih atas bantuannya, Pak. Kami izin pamit. Oh, ya, satu hal lagi, jika anda melakukan sesuatu di luar apa yang saya dan teman saya utarakan, tidak ada alasan untuk kami mencurigai sesuatu dari Bapak. Terima kasih."
Kenn dan Hans pergi meninggalkan Reizdo yang menatapnya seolah ada yang diam-diam ia ketahui darinya(?)
♠️
Hurton membuka pintu ruangan tempat di mana Hans dan Kenn dikurung. Betapa terkejutnya saat ia melihat bukan kedua buronan itu yang terlilit tali pada kursi, tetapi atasannya sendiri. "Tuan Sean?"
Hurton bergerak mendekat sedang Sean mencoba berbicara dengan suara yang tertekan sumpalan kain. Akan sekuat apapun Sean mencoba bicara, tidak akan dapat dipahami oleh Hurton sebelum ia benar-benar melepaskannya.
"Terima kasih." Suara Sean masih tersendat. Selepas Hurton membantunya ia berdiri dan mengusapi jas kebanggaannya ternodai tali bekas dua gelandangan itu. Ia menautkan wajah malas, kesal, tak hanya pada dua pria itu yang membuatnya terikat di ruang sempit yang membuat napasnya terganggu, tetapi juga pada puluhan anak buah yang tidak bisa bekerja sama sekali. Dari sekian banyaknya anak buah, tak adakah yang menjaga tempat ini? Lalu apa sekarang? Begitu yakin Mac akan marah ketika mengetahui berita buruk ini terjadi.
Suasananya senyap. Hurton terdiam membuat dunia ini benar-benar membosankan. Hitam-putih. Tidak ada warna yang mengasyikkan. Sama sekali. Ruangan ber-AC, tetapi berdebu. Siapa yang betah dengan semua ini?
"Cari dua pria itu. Jangan sampai Mac tahu soal ini jika kalian ingin selamat," singkat Sean kemudian berlalu.
♠️
"Aku sudah mengira sejak awal."
Suara itu mengejutkan Franklin tiba-tiba. Ia menjadi kalang kabut. Panik, kemudian ia menatap ke arah pintu dengan kebingungan yang tidak keruan. Sontak ia menutup komputer itu dan mencari-cari sumber suara yang ternyata tak muncul di depan pintu yang ia kira begitu.
Setiap sudut ruangan Franklin mencari, tetqpi sama sekali tak nampak sosok yang baru saja bersuara. Apa itu hanya sebatas angannya saja? Tidak mungkin. Ia hafal suara siapa itu, Grace? Atau Emily? Tidak, Grace.
Franklin berdiri dan memastikan semua yang berada di meja komputer itu tertata sebaik mungkin. Agar tidak membuat siapapun yang melihatnya curiga. Tetapi entah apa yang membuat dia seolah gugup dan tidak seperti biasanya. Dia memilih untuk keluar mencari angin segar. Mungkin pikirannya sedang tidak beres karena terus berlama-lama di dalam ruangan ini.
"Hai, Pak. Kau mau kemana?" tanya Cait saat tak sengaja berpapasan di depan kamar Franklin.
"Eh, aku-aku akan keluar. Aku butuh angin segar," balasnya nampak gugup dan sangat tidak santai. Ada sesuatu yang seolah membebani pikirannya.
"Em, baiklah." Cait mengiyakan tanpa ingin tahu lebih banyak dari apa yang terlihat mencurigakan atau tidak beres padanya.
Franklin berjalan keluar. Ia menghirup udara sore yang tak terkena polusi, jarang sekali ada tempat seperti ini di kota besar seperti Wizzard. Luar biasa. Selintas ia berpikir soal Hans, apa dia baik-baik saja? Bukan mengkhawatirkan. Hanya dia satu-satunya cucu yang Franklin tahu sangat baik. Bahkan anaknya sendiri membiarkannya bebas di lingkungan yang entah di mana saja.
Ia harus jujur. Apa yang mereka curigakan selama ini benar, bahkan semuanya benar. Ia bergabung dalam agensi Mac hanya untuk mendaoat bagian dari keajaiban buku itu. Apa kau tahu keajaiban itu? Ya, kesalahan ada pada dirinya. Mac tahu dari dirinya. Bahkan saat ini juga Franklin mengakui bagaimana Rutherford mati. Ya itu juga cukup bisa dikatakan karenanya.
Kekecewaan membuat Franklin buta. Padahal sebatas dia yang tak bisa tahu apa yang bisa Rutherford dan Danny ketahui. Franklin merasa, ia tidak dihargai dalam ia berikut serta. Dia ikut mencampuri dalam terciptanya benda itu. Mungkin para misioner itu hanya tahu jika ia menginginkan benda itu sebagai pewaris, tetapi apa yang sebebarnya menjadi tujuan Franklin bukan itu. Ia hanya ingin tahu apa yang bisa dilihat oleh Rutherford dan Danny. Itu saja.
"Aku tahu."
Franklin menatap sumber suara. Suara yang berbeda dari yang ia dengar sebelumnya. Suara parau usia yang tak lagi muda, hampir seperti suaranya sendiri.
"Terkejutlah jika kau mau. Aku datang hanya untuk menyampaikan sesuatu hal. Sebelum aku benar-benar hilang dan takkan menunjukkan diri lagi."
Franklin tercengang. Ia terdiam memaku di tempat. Antara percaya atau tidak dengan apa yang ia lihat saat ini.
♠️
"Become end. Enjoy your day, before your dream lost."
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Earth [E N D]
Science Fiction[TYPO Mohon maaf] Misi balas dendam seorang penguasa kota, harus berimbas pada kehidupan empat remaja yang bernaung di bawah sebuah misi yang dititipkan mendiang kakek si peramal tentang keajaiban waktu dari Clock Wizzard Museum. Sebuah ancaman bes...