LE -25-

50 2 0
                                    

"Misi kita gagal, lelaki itu menyelamatkannya dari rencana kita ...."

Lelaki itu mengedarkan pandangannya menatap layar ponsel yang ternyata panggilannya telah diputus sepihak. Ia kemudian memasukkan ponselnya dan memajukan topi hitamnya menutupi wajah dan menjauh dari balik pohon di seberang jalan.

"Sudah kuperingatkan, sebagai sesama lelaki aku masih memiliki jiwa solidaritas yang tinggi." Arthur menjauhkan kayu yang sudah tertanam besi kendali. Untung saja, kayu itu hanya sedikit mengenai punggung Hans tanpa memberika setruman. Jika setrumnya itu sampai tersentuh olehnya, sudah dipastikan Hans gagal menyelesaikan misi dan menyusul tempat terakhir Rutherford bernaung.

"Terima kasih." Hans berdiri sembari memegangi bahunya yang sepertinya sedikit mati rasa. Ia mampu menahannya hingga tak sama sekali terdengar ringisan atau apalun itu.

"Kuberitahu sesuatu, jika kau atau teman-temanmu berjalan di bawah pohon di sekitaran kota ini, berhati-hatilah. Pohon itu sudah terprogram untuk menjatuhkan benda-benda mematikan. Dan jika memang mautmu, hal terburuknya adalah kau mati."

"Kau membongkar rahasia Mac?" Hans menaikkan alisnya hingga tergambarlah kerutan di dahinya. Ia tak habis pikir, terjerat dalam pikiran yang mana Arthur bisa sebaik itu? Membongkar rahasia sebuah kelompok bukanlah hal yang sepele, musuhnya bisa saja mempergunakan itu sebagai boomerang, bukan?

"Kurasa tidak. Semua orang-orang Mac tahu tentang itu, kecuali aku."

"Apa maksudmu?"

Arthur menghela napas berat. "Dia membodohi semua orang untuk sebuah misi yang seharusnya berjalan bersama dan berbagi hasil atas kemenangannya. Tetapi Mac? Kudengar ia hanya mempergunakannya bersama orang terdekat, kau tahu sendirilah."

"Kau sudah bangun. Bagaimana? Apa masih sakit?" Emily bertanya dengan tatapannya yang begitu dalam. Setelah bersama Grace pergi ke lobi, mereka memutuskan untuk menjenguk Willy yang masih kritis. Syukurnya, saat mereka menuju ruangan dirawatnya Willy,ereka mendapati lelaki itu dudah sadar dan akan segera dipindahkan satu ruang dengan Kenn.

"Masih sedikit terasa, tetapi tidak apa."

Willy mengalihkan pandangannya menatap Grace yabg sedari tadi terdiam, sungguh dianehkan sebab biasanya ketika dua orang itu bersama selalubsaja bergaduh.

"Hei, kau diam saja!" pekik Willy pada Grace yang berdiri di samping tempat tidurnya sembari menabok punggungnya keras.

"Sakit tahu," cerca Grace yang langsung menatap wajah pucat Willy dengan sengit.

Grace mengangkat kedua alisnya dan sedingit mendongak. "Kenapa kau masih hidup? Ada baiknya jika kau mati saja, setidaknya—" Ucapannya terpotong cepat oleh Willy.

"Kau akan merindukanku? Begitu?" kata Willy sembari tersenyum, menderetkan semua gigi putihnya yang tersusun rapi.

Emily terkekeh, sedangkan Grace ia membuang wajah malas untuk menggubris perkataan Willy. "Jangan banyak berharap pada manusia, kebanyakan dari mereka sudah terprogram untuk menyisakan luka di akhir cerita," tukas Grace tanla menatap sedikitpun, ia justru sibuk menatap langit-langit rumah sakit.

"Jika aku berharap padamu, apa kai juga akan membuat luka itu?" tanya Willy sontak. Bahkan lelucon yang dibuat Grace kini membuat semuanya tegang. Willy menanggapinya terlalu serius dan membuat Grace terbungkam.

"Oh—Willy, kau belum tahu kabar dari Kakek Franklin yang seolah ingin mengambil alih benda itu?" ujar Grace mengalihkan pembicaraan.

Willy menyadari jika Grace mencoba membuatnya membanting setir untuk hal lain. Baiklah. Willy rasa hal utamanya adalah soal benda itu, bukan soal rasa mereka. Lagipula itu terdengar tidak penting untuk masa-masa yang lebih genting ini.

Last Earth [E N D]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang