Tuk! Tuk!
Kenn mengetuk pintu rumah dengan teras yang cukup luas. Dibuntutinya beberapa orang yang berjajar di belakangnya. Mereka baru saja dari rumah Hans, memastikan apakah lelaki itu sudah kembali atau belum. Nyatanya, nihil. Rumahnya bahkan sudah banyak disarangi laba-laba.
"Bagaimana?" tanya Willy membisik pelan.
Kenn berbalik, ia menggelengkan kepalanya menandakan tak ada sahutan atau sesuatu yang kiranya menunjukkan bangunan itu ada orang.
"Lalu kita harus bagaimana? Kita butuh kunci rumah Hans." Grace menarik tangan Emily menuju kursi yang tak jauh dari ambang pintu tempat mereka berdiri. Wajahnya kalut, ia meletakkan sikunya di meja kemudian menenggelamkan wajahnya dalam tangkupan telapak tangannya.
"Tunggu sebentar." Kenn menjauh dari hadapan teman-temannya itu dan mencari orang untuk bertanya apakah Nenek Clarion atau Ray berada di rumah atau mungkin pergi kemana.
"Oh, hai. Permisi. Bolehkah aku bertanya padamu?" Kenn memberhentikan aktivitas wanita paruh baya yang sedang bertengger di beranda rumahnya.
"Silakan," jawabnya dengan raut mencurigakan. Matanya memicing menginstrogasi. Mungkin beranggapan bahwa Kenn salah satu dari pasukan hitam-hitam itu karena ia memakai kemeja berwarna hitam lagi.
Kenn tersenyum. Ia mencoba meyakinkan wanita itu agar tidak berpikiran apa yang ia pikirkan. "Aku Kenn. Mungkin kau tahu dimana orang yang bertempat tinggal di seberang sana?" Kenn menunjuk ke arah rumah Nenek Clarion.
"Ada urusan apa kau mencarinya?" tanya wanita dengan nada cukup tinggi.
"Bibi, aku bukanlah orang jahat. Aku hanya ada sedikit keperluan dengannya, ya ... cukup penting."
"Tidak!" Wanita itu benar-benar mencurigai Kenn. Tatapannya bahkan tidak berubah. Bahkan semakin acuh tidak peduli.
"Baiklah jika begitu," ucap Kenn tak ingin memaksa. Ia berlalu menuju rumah Clarion lagi.
"Bagaimana?" tanya Grace tanpa membiarkannya masuk beranda.
"Dia tidak tahu."
"Ck. Kalian tahu tidak, ini semua tak akan menjadi lebih buruk jika kalian tidak berlagak menciptakan misi-misi apalah itu! Kalau sudah begini, kalian sendiri yang pusing, kan?!"
"Hei, kami yang pusing kenapa kau yang berisik, ha?" Willy naik darah mendengar banyak ocehan dari Grace. Ia tak tahu apa-apa, dia bukan bagian dari mereka. Dia di sini sebab bersama Emily, jika tidak? Dia tak akan berada dalam kerumitan ini.
"Untung saja aku terlibat hanya karena posisiku yang terdesak, ya ... setidaknya aku tidak akan memikirkannya hingga isi kepalaku meledak."
"Bisakah kau diam? Bantu kami berpikir!"
"Hei -"
"Diamlah!" Kenn menggertak Willy dan Grace untuk diam. Kebisingan ini benar-benar membuat Kenn tidak bisa berpikir. Sama sekali.
"Argh!" Willy memukul telapak tangannya yang sangat geram. Ia memasang raut garang. Kemudian bergerak menjauhi pintu dan duduk di samping Emily.
"Bersyukur ada Kenn. Jika tidak, aku akan membuat mulutmu sobek karena berdebat denganku," sindir Willy pelan tanpa menatap ke arah Grace. Ia menidurkan kepalanya berbantal tekukan tangannya menghadap wajah manis Emily.
"Sudahlah, Will." Emily menatap Willy dengan tatapan konstan. Bola matanya tepat langsung mengenai manik mata coklat Willy.
Grace membuang wajah kesal. "Memang siapa yang peduli?" gumam Grace bernada mengejek.
"Hei, sudahlah!" Kenn kembali berdecak karena mereka yang tak bisa diam dan setidaknya sedikit tenang.
♠
"Rumahmu masih jauh?" tanya Franklin yang sudah mulai ngos-ngosan. Kiranya, kedua lelaki itu sudah berjalan lebih dari lima ratus meter. Sebenarnya Hans sendiri tidak tega, tetapi mau bagaimana lagi? Lagipula tidak ada satupun angkutan umum yang lewat. Jangankan angkutan umum, manusia pun tidak terlihat satupun batang hidungnya. Itu juga kemauan Franklin yang ingin ikut ke rumahnya, katanya ia sudah lama tidak berkunjung ke rumah Hans -untuk mengingat-ingat kembali sih, lebih tepatnya.
Hans menatap jauh ke depan, sepi sekali. Ia mengusap keringat yang mengucur di dahinya. Lelah. Tentu saja. "Seingatku masih ...."
Ia menatap si lelaki renta itu. " ... kau lelah?"
Franklin menautkan senyum miring. "Biarpun aku sudah tua, tetapi tulang-tulangku masih kuat. Tenang saja," ucap Franklin tak ingin membebani Hans.
Hans tahu Franklin berbohong padanya. Sangat terlihat jelas di wajah rentanya itu, keringat hampir membanjiri wajah dan lehernya. Tetapi, ia tak ingin membuat Hans khawatir terhadapnya.
"Em ... aku lelah. Istirahat saja dulu, bagaimana?" Terpaksa Hans harus berbohong. Setidaknya ia harus bertindak untuk kesehatan seseorang. Ya ... walau sebenarnya ia masih mampu jika harus berjalan lebih dari sati kilometer lagi.
Pandangan Hans menyapu bersih sekitaran pertokoan, tidak ada satupun yang buka. Buruk. Ia tak dapat membeli -hutang sementara karena ia tak membawa uang sekarang -minum untuk Franklin.
"Kau sama seperti Rutherford," ucap Franklin yang sudah bergerak duduk memperhatikan Hans yang sibuk mencari toko itu.
Ia memutar kepalanya seratus delapan puluh derajat menatap Franklin bingung. "Sama?"
"Dia begitu peduli pada orang lain, atau lebih tepatnya mendahulukan kepentingan orang lain dibanding dirinya sendiri. Dia pandai bersandiwara demi kebaikan orang lain. Seperti dirimu, ya ...."
Skak mat! Sepertinya apa yang ia lakukan saat ini tertebak oleh Franklin. Ya ... sepertinya juga Franklin tahu jika Hans sebenarnya masih kuat berjalan lebih jauh lagi.
"Kau anak baik, seharusnya kau tak terlibat akan hal ini."
"Sudah takdirku untuk terlibat dan menyelesaikan misi Kakek dengan baik, aku sangat berharap banyak soal ini. Ya ... aku ingin Kakek dapat beristirahat dengan tenang setelah semuanya selesai. Benar-benar selesai hingga tak ada lagi yang menyebut keajaibannya untuk diperebutkan. Setidaknya itu yang dapat aku lakukan untuk membahagiakan Kakek."
"Hans, Hans ...." Franklin menepuk punggung Hans yang tertunduk kalut. "Semuanya akan menjadi baik kembali. Bumi yang mati akan kembali, dan ini akan jadi kehancuran bumi yang terakhir. Tak akan terjadi lagi, berdoa saja."
Franklin menatap jauh ke atas langit. "Langit mulai gelap, ayo kita lanjutkan!" Ia berdiri mendahului Hans.
Hans mendongak ke atas langit. Benar. Langit sudah mulai gelap. Sepertinya akan hujan. Ia kemudian mengangguk dan berdiri, berjalan beriringan bersama Franklin. Ia bersyukur, ia dapat bertemu Franklin di keadaan yang terpuruk ini. Jika tidak, mungkin ia akan mati dengan pikirannya yang begitu menguak. Bingung tanpa teman bicara, atau mungkin ia akan menjadi orang gila.
♠
"Semua tentang takdir, yang berjalan beraturan sesuai alur rintangnya. Dan jika kejadian ini akan berakhir lebih tragis dari kehancuran yang sebenarnya, maka, itu adalah bagian dari tulisan takdir."
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Earth [E N D]
Science Fiction[TYPO Mohon maaf] Misi balas dendam seorang penguasa kota, harus berimbas pada kehidupan empat remaja yang bernaung di bawah sebuah misi yang dititipkan mendiang kakek si peramal tentang keajaiban waktu dari Clock Wizzard Museum. Sebuah ancaman bes...