"Hans!" teriak Willy dari atas tangga. Cukup terlihat jelas sosok Hans berdiri lesu di depan rak buku tua. Ia sendiri, sedang Emily sedang menyelesaikan pengobatan untuk wajah Kenn.
Hans menoleh dengan wajah yang terlihat masam. Ia pikir, hari ini misi akan benar benar terjalankan, tetapi ternyata tidak. Ia tak mungkin membiarkan bocah itu hilang sedangkan dirinya sibuk dengan pekerjaan gilanya. Lalu apa yang akan ia katakan nanti pada Nenek Clarion? Apa yang kiranya wanita tua itu lakukan jika mengetahui cucu laki-lakinya hilang di saat beberapa jam yang lalu nenek menitipkan padanya.
Hans melangkah dengan beban yang memberatkan kepalanya menuju tempat Willy berdiri. "Aku pikir aku tak dapat memulai misi kita hari ini. Kau tahu, kan? Ray hilang, dan aku tak mungkin membiarkannya begitu saja. Bagaimana jika keluarganya menanyakan mengapa Ray tak kunjung kembali? Oh, tidak. Sebaiknya aku tidur."
Willy memandangi Habs yang berlalu melewatinya dengan tukasan yang mungkin saja akan ia lontarkan. Namun seolah ia tahan, ia mengalah. Ia berbalik mengikuti langkah kaki Hans.
"Dia hilang secara tiba-tiba. Seharusnya kau mencarinya, bukan tidur?" saran Willy berniat membantu. Ia sedikit menyesuaikan langkahnya agar dapat berjalan sejajar dengan Hans.
"Ada hal misterius dari basement itu. Dan bodohnya aku baru saja ingat, ya ... pesan kakek," ucap Hans dengan pandangan mata lurus ke depan.
"Tidur?" tanya Willy heran. Ia benar-benar tak mengerti jalan pikiran Hans. Ia pikir otaknya sudah berada di tempatnya, tetapi agaknya saat posisinya akan tepat, pergeseran otaknya kebablasan. Shit!
"Kuharap aku menemukan jawabannya." Hans membuka pintu kamarnya, meninggalkan Willy yang masih bertengger di depan pintu tanpa diizinkan untuk ikut masuk.
"Are you crazy, boy?"
Willy menggeleng, ia menatap pintu kamar Hans sekejab, tertera name tag 'Hans's Room' di sana.
Willy berlalu menuju Emily dan Kenn dengan segera.
♠
"Sudah," ucap Emily sembari menyimpan kapas bekas dalam satu plastik untuk dibuang.
"Terima kasih, " ucap Kenn pelan sembari sedikit meringis. Rasanya tak lagi sesakit tadi, mungkin efek obat sudah mulai bekerja. Semoga saja secepatnya.
Willy datang dari dalam, tangannya terus mengacak puncak kepalanya sendiri seperti orang frustasi. Tentu saja, kedatangannya sore ini dengan Kenn dan Emily nampaknya hanya sia-sia. Jelas terlihat, dari bertemu orang yang tiba-tiba saja mencelakai Kenn, kemudian berita lenyapnya bocah kecil di basement rumah Hans, kegilaan Hans yang memilih tidur daripada berusaha mencari, ah! Semuanya membuat kepala Willy hampir meledak!
Emily san Kenn menatap sejenak ke arah Willy, sebelum akhirnya kedua orang itu saling tatap heran.
"Bagaimana?" tanya Emily mencari jawaban. Ekspresinya tak berubah dengan jarak Willy yang kian dekat dengan mereka.
"Di mana Hans?" Disusul pertanyaan dari Kenn.
"Kukira dia sudah mulai tidak waras!" balas Willy tanpa menyetujui alasan tidurnya Hans. Apapun itu, Willy sulit untuk melogikakannya. Benar-benar terdengar gila.
"Apa maksudmu?"
"Kita semua tahu kalau basement sudah melenyapkan satu bocah secara tiba-tiba. Lalu Hans? Dia memilih untuk tidur. Bukankah itu hal gila? Bukankah cara yang lebih tepat adalah mencarinya? Bagaimana jika dia dalam masalah yang besar? Oh, tidak!" jawab Willy dengan raut benar-benar kusut. Ternyata perencanaan tak selamanya berjalan mulus. Ada kalanya tertunda atau mungkin gagal karena beberapa masalah yang melemparnya jauh dari tugas yang seharusnya.
"Sudahlah!" Willy membaringkan tubuhnya di sofa. "Aku ingin tidur saja," tambahnya.
Emily menatap wajah Kenn dengan raut bingung. Tak berselang beberapa menit, ia pun menyandarkan kepalanya di sandaran punggung sofa. Apa yang bisa ia lakukan kecuali mengikuti kemauan mereka.
Kenn beranjak, dengan lebam yang tak kunjung membaik. Secara fisik. Tetapi, secara psikologis tak lagi terasa. Ia berjalan menuju ke luar, ternyata sudah hampir malam. Lembayung jingga memenuhi langit di kala matahari sudah kian jauh.
Rumah Hans itu berada di kompleks yang cukup besar tak jauh dari kota, itulah sebabnya bangunan-bangunan pencakar langit nyaris terlihat kemewahannya. Namun entah mengapa suasananya tak begitu tenang, mengingat ada sesuatu yang mencekam keberadaannya jiwanya.
"Seolah dunia tak mengizinkan aku dan teman-temanku melakukan ekspedisi itu. Ya ... walaupun terdengar gila, tetapi bagaimana jika Earth Mission kami berhasil dalam menyelamatkan bumi dari kehancuran yang akan terjadi pada ramalan Tuan Rutherford?"
Kenn mengedarkan pandangannya menatap ujung timur. "Atau bencana itu adalah kebenaran dari rumor balas dendam Mac Dinston. Siapa sebenarnya dia?"
Kenn kembali berpikir keras. "Ah, sudahlah!"
♠
"Hanya hal kecil tentang kakek,"di mana sesuatu yang tak kau ketahui dapat terjawabkan saat kau tertidur dan bermimpi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Earth [E N D]
Science Fiction[TYPO Mohon maaf] Misi balas dendam seorang penguasa kota, harus berimbas pada kehidupan empat remaja yang bernaung di bawah sebuah misi yang dititipkan mendiang kakek si peramal tentang keajaiban waktu dari Clock Wizzard Museum. Sebuah ancaman bes...