LE -10-

134 8 0
                                    

Sudah hampir sepekan Kenn, Emily, maupun Willy tak bertemu dengan Hans. Mereka sering kali juga sempat mengabari ponselnya, datang ke rumahnya, tetapi tak juga membuahkan hasil yang jelas.

Terakhir dua hari yang lalu, Kenn datang sendiri ke rumah Hans dan hanya bertemu dengan wanita tua yang bertempat tinggal di samping rumah Hans. Dia pikir itu adalah nenek dari bocah yang hilang di rumah Hans waktu itu. Sebab dia menanyakan padanya; apakah Kenn sudah bertemu dengan Hans?

Belum. Dan sepertinya ia ikut lenyap ditelan bumi. Ini bukan sesuatu yang wajar jika Kenn dan teman-temannya tak bertemu dengan Hans dalam jangka waktu selama itu.

Kenn membuka jendela kamarnya lebih lebar. Hari ini ia membolos kuliah lagi untuk kesekian kalinya. Ia berpikir keras mencoba mencari tahu di mana Hans sekarang. Terlalu sulit. Dia bukan paranormal. Dia hanya bisa menggunakan logika sebagaimana seorang yang menebak-nebak. Atau mungkin memprediksi di mana tempat yang mungkin disinggahi temannya itu.

"Kenn!" teriak seseorang dari balik pintu kamarnya. Terdengar jelas, itu pasti suara ibunya. Sebab jika adiknya, mana mungkin dia sesopan itu.

Kenn bergerak mendekat, membukakan pintunya. "Kau mendapat surat dari Cristhofer Basstard." Wanita paruh baya itu menyerahkan amplop coklat kecil ke hadapan putranya.

Sempat terbesit dipikiran Kenn hal yang buruk. Bahkan ia tak langsung menerimanya. Ada keraguan yang begitu memenuhi pikirannya.

"Kenn ... kau tak apa?" tanya Carryne.

Kenn tersadar. "Ya, Bu. Aku baik."

"Oh, astaga, Kakak. Kau mendapat surat? Huu, diam-diam kau memiliki kekasih. Kukira ambisimu hanya untuk persoal misimu dengan Kak Hans." Caitlyne mengurungkan langkah yang tertuju pada kamarnya. Mendengar Kenn mendapat surat, tak hentinya ia meledek dengan menautkan baby sweet yang membuat Kenn hampir ingin meremas-remas wajah menyebalkannya itu.

"Diam kau!"

Caitlyne tertawa. Ia terus saja menjulurkan lidahnya.

"Sudahlah, Cait. Jangan bertengkar, kakakmu sedang dalam banyak masalah," ucap Carryne menengahi.

"Baik, Ibu."

Kenn duduk di ranjangnya, diikuti Caitlyne yang bahkan tak pengertian dengan keadaannya sekarang. Ia bukannya pergi jauh-jauh malah terus membuntutinya.

"Oh, iya, Kak. Kemarin ada yang meminta alamat Kak Hans padaku, berhubung aku tak begitu paham aku hanya memberikan sedikit arahan tetapi entah itu benar atau tidak."

Kenn menatap gadis itu yang sudah dengan seenaknya berbaring di ranjangnya. "Lalu?"

"Lalu aku mengatakan jika kakakku sahabatnya dan mereka punya misi gila yang aneh," ucap Caitlyne tanpa beban.

"Dan dia benar-benar tampan!" sambung Caitlyne dengan nada didramatisir. Ia benar-benar kegirangan hingga seketika mendudukkan diri dan tersenyum-senyum sendiri membayangkan kejadian itu.

"Tetapi sayangnya aku tak sempat mengetahui namanya dan meminta nomor telponnya." Caitlyne mengerucutkan bibirnya kecewa.

"Sebaiknya kau pergi dari kamarku sekarang, aku akan mengerjakan beberapa hal."

"Biarkan aku membantumu, sebagai adik yang baik dan tidak sombong."

"Tidak perlu."

"Heh, ya sudah."

Emily mengetuk pintu rumah Hans pelan. Ia datang tak sendiri, tetapi bersama dengan Willy. Sebenarnya dengan Kenn juga, tetapi teleponnya tidak aktif.

Emily menatap Willy dengan harapan semoga lelaki itu ada di rumah. Tapi sepertinya mustahil, sebab dari sudut sekitarannya saja seperti bangunan tak berpenghuni.

Ia mengetuk lagi. Siapa tahu saja ada sebuah keajaiban yang tiba-tiba saja datang. Beberapa saat kemudian, Emily dan Willy sontak mundur beberapa langkah. Kenop pintu benar-benar bergerak. Itu artinya di dalam ada orang.

Emily dan Willy saling tatap. Perasaanya bercampur antara senang dan takut. Bagaimana jika bukan Hans? Tetapi makhluk halus penghuni rumah? Oh, astaga. Itu sangat buruk.

Kenop pintu berhenti bergerak. Berganti dorongan kuat dan beberapa pukulan keras seperti ingin mendobrak. "Tolong!" teriak seseorang dari balik sana.

"Hans?" bisik Emily yang pandangannya belum teralihkan sedikitpun.

Willy menatap pintu dan segera mendekat. "Bukan."

Lelaki itu berusaha mendobrak pintu. Beberapa kali ia juga bertanya; apakah dia anak berusia kurang lebih sepuluh tahun yang hilang di basement rumah itu? Jawabannya, iya.

Dari usahanya membuka pintu tak kunjung membuahkan hasil. Hanya beberapa keributan kecil yang akhirnya membuat Nenek Clarion keluar dari rumahnya. "Kalian sedang apa?" Tentu wanita tua itu berjalan lebih jauh hingga tepat di depan rumah Hans.

Emily dan Willy menatap wanita itu bersamaan. "Aku berusaha membuka pintu rumah ini," jelas Willy kikuk.

"Ada anak kecil yang mungkin terkunci di dalam," terang Emily panik.

Nenek Clarion mengangguk dan segera mendekat. Ia merogoh saku baju panjangnya. "Kalian mungkin membutuhkan ini." Ia menyodorkan satu kunci rumah di hadapan mereka.

"Bagaimana kau mendapatkannya?" Willy mengintrogasi. Ia sedikit curiga dengan wanita tua itu.

"Hans menitipkannya padaku."

Kedua alis Willy saling beradu. Sebelum akhirnya ia mengalah karena teriakan bocah itu terdengar lagi. Dengan cepat Willy membukanya dan melihat bocah kecil itu berlari dengan raut ketakutan yang luar biasa. Langkahnya tertuju pada Nenek Clarion dan langsung memeluknya erat.


"Keajaiban segera diperlihatkan. Logika akan dipermainkan. Waktu berbalik dan menemukan rahasianya."

Last Earth [E N D]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang