Hans mempersilakan Kenn untuk masuk. Ia datang tak sendiri, melainkan bersama Willy dan Emily. Tentu dengan tujuan menyelesaikan misi yang dititipkan kakek Hans sebelum akhirnya beliau ditemukan tewas. Tetapi, sepertinya akan ada sedikit masalah di sini, melihat kondisi wajah Kenn yang tak seperti biasanya cukup membuat Hans bertanya-tanya ada apa dengan mereka sebenarnya.
"Tunggu, aku akan mencari kotak obat." Hans hampir bangkit dengan tatapan masih tak mengerti. Sepenasaran apapun dia, dia juga tahu situasi, dimana Kenn membutuhkan obat terlebih dahulu.
"Sudahlah, Hans. Aku saja yang mengambilnya, di mana kau menyimpan kotak obat?" Emily menghadang kebangkitan Hans. Ia membiarkan ketiga lelaki itu mengobrol atau sekadar menceritakan apa yang terjadi sebenarnya.
"Dekat nakas kecil sebelum kamarku."
Emily mengangguk. Dia melangkahkan kakinya menuju nakas yang dimaksud oleh Hans dengan segera.
Ken terus memegangi pipinya yang lebam membiru, sesekali ia meringis menahan kesakitan yang agaknya itu lebih seperti pukulan benda tumpul.
"Apa yang terjadi?"
"Rekan dari orang yang kita temui siang tadi memukuliku hanya karena aku tak sengaja menyenggol seperti kau tadi hingga membuat pistol dan beberapa benda aneh miliknya terjatuh di keramaian," jelas Kenn menahan sakit.
Hans mengangguk tak terbeban. Berjeda beberapa detik tak ada satu pun dari mereka yang buka suara, sebelum akhirnya Willy memecah keheningan dengan berita yang ia dengar beberapa waktu lalu.
"Aku pikir orang yang memukul Kenn tadi adalah orang-orang suruhan Mac Dinston yang akan menghancurkan kota ini, tepat seperti apa yang kau katakan kemarin."
"Aaaaaaa!!!"
Remang-remang terdengar suara seseorang berteriak dari dalam rumah, sontak membuat ketiga lelaki itu menoleh menuju sumber suara.
"Ada orang lain di rumahmu?" tanya Willy heran. Yang Willy dan teman-temannya tahu, Hans hidup seorang diri di rumah ini kecuali saat kakeknya masih ada. Orang tua Hans dikabarkan kabur karena tidak menyukai kepribadian Hans yang terlalu mengimajinasikan soal waktu dan keajaibannya, begitu juga mereka menyikapi kepribadian kakeknya. Tetapi, buruknya adalah ketika tak ada satu pun orang yang menyebut diri dan kakeknya gila kecuali orang tuanya itu.
"Anak tetangga sedang membantu mencari surat rahasia kakek dan artikel tentang bumi itu."
Willy menautkan smirk andalannya,"kukira kau sudah berubah, ternyata tidak."
Hans tertawa, ia bukan sudah berubah, hanya saja ia tak ingin membuka itu di muka umum. Soal kemarin? Ah, itu sebab dirinya sedang frustasi karena benda kesayangannya hilang.
"Ada apa dengannya?" tanya Willy penasaran dengan suara teriakan yang mungkin saja membahayakan atau entahlah.
"Mungkin ia bertemu tikus," jawab Hans enteng.
Tiba-tiba Kenn yang sedari tadi terdiam merasakan sakitnya berdesis,"dia dalam masalah, Hans."
Hans dan Willy menoleh dengan raut bertanya-tanya, seiringan dengan datangnya Emily dengan kotak obatnya.
"Maaf, lama menunggu," ucap Emily diiringi senyum manis. Sebelum ia duduk dan menyerahkan kotak obat ke arah Willy, Emily menoleh ke belakang. "Kudengar suara anak laki-laki, apakah benar?"
Hans mengangguk.
"Sejak kapan?"
"Sejak sepulang kuliah tadi." Hans memiringkan kepalanya sembari tersenyum hampa.
"Kudengar dia dalam masalah, masalah apa?" tanya Emily lagi. Tak sengaja ia tadi mendengar Kenn mengatakan dia sedang dalam masalah.
"A-baiklah. Kalian berdua bantu obati saja wajah Kenn, aku akan menengok Ray dahulu," jelas Hans dengan cepat, kemudian tanpa pikir panjang ia berlalu dari hadapan teman-temannya menuju basement.
Willly hampir beranjak mengikuti langkah kaki Hans, tetapi ia urungkan kala Hans memintanya untuk tetap berjaga dan membantu Emily mengobati wajah Kenn.
"Jika aku tak kunjung kembali dan kalian sudah selesai, kau boleh menyusul." Hans mempercepat langkahnya, tentu saja ia khawatir dengan apa yang dikatakan oleh Kenn. Ia tahu bagaimana Kenn dan 'sesuatu'-nya itu.
♠
"Ray, kau di sana?" ucap Hans dari atas tangga. Ia memandang seluruh sudut basement itu, mencari sesosok bocah lelaki yang beberapa menit lalu ia tinggalkan sendiri di sana.
Tak ada. Hans menuruni tangga dengan cepat, mencari bocah itu di tempat terakhir ia bersamanya. Masih tak ada juga. Di mana agaknya Ray berada? Hans pikir ruangan ini tak ada pintu keluar, atau mungkin Ray sudah keluar? Atau benar, sesuatu yang buruk terjadi padanya? Ah! Jangan berpikir yang tidak-tidak.
"Ray, kau dengar aku?!" teriak Hans keras dengan harapan suaranya terdengar sampai ke penjuru basement atau mungkin seisi rumahnya. Tak ada sahutan sama sekali. Ia merogoh kantung celananya, mencari ponsel dan mencari nomor rumah Nenek Clarion, memastikan apakah Ray sudah kembali atau belum.
"Ada apa, Hans?" Tak ada kata pembuka, seolah wanita tua itu sudah mengerti atau mungkin mengetahuinya.
Habs terdiam cukup lama. Tentu saja ia merasa gundah, jika-jika saja ternyata Ray belum kembali.
"Hans, kau di sana?"
"A-Iya, kukira kau tak menyimpan nomorku," balas Hans dengan gugup. Ia tak langsung mengenai inti, lagipula basa-basi ini cukup bisa dilogika mengingat ia jarang menghubungi wanita tua itu.
"Aku tak sengaja menghapal nomormu."
Hans mengangguk seperti lawan bicaranya ada di hadapannya.
"Ada apa?"
"Ray ... sudah kembali?" tanya Hans dalam mode slow motion. Ya, sangat pelan.
Hening. Belum ada jawaban hingga jarum jam di sekitar Habs berdetak melewati empat garis kecil yang menunjukkan sekon.
"Belum. Mema-"
Hans memotong percakapannya,"baiklah, sampai jumpa." Hans memotong sambungannya sepihak. Tentunya ia tak ingin wanita itu terus bertanya dan mengintrogasikan dirinya. Menyudutkan dan membuat Hans kalah telak dalam beradu argumen. Sungguh hal yang ia benci.
Dia lenyap dengan tiba-tiba?
Bagaimana bisa?
Pasti ada sesuatu yang tidak beres.Hans menoleh ke arah pintu singkat, kemudian melanjutkan langkahnya mencari jejak bocah kecil yang tiba-tiba saja menghilang. Bocah itu menawarkan diri untuk ikut membantu mencari, tentunya ia akan mencari benda-benda itu di rak-rak buku yang ada di sana, mengingat Hans mengatakan jika surat rahasia maupun artikel tentang 'Bumi Terakhir' -nya terselip di antara buku-buku di rak basement itu. Pandangan Ray tertuju pada rak buku yang berada di pojokan sana, ia dengan segera mendekat. Tetapi posisi buku-buku itu masih cukup rapi, apakah mungkin bocah itu kemari?
♠
"Ada sebongkah rahasia yang belum sepenuhnya kakek tunjukan. Mengenai keajaiban dan sesuatu yang mengagumkan dari tempat di mana dia lenyap secara tiba-tiba."
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Earth [E N D]
Science Fiction[TYPO Mohon maaf] Misi balas dendam seorang penguasa kota, harus berimbas pada kehidupan empat remaja yang bernaung di bawah sebuah misi yang dititipkan mendiang kakek si peramal tentang keajaiban waktu dari Clock Wizzard Museum. Sebuah ancaman bes...