Lino melempar tasnya ke Jingga yang berjalan di belakangnya. Jingga dengan sigapnya menerima tas tersebut.
"Bawain tas gue" katanya.
Cowok dengan sorot mengintimidasi itu lalu memasukkan kedua tangannya ke saku seragam. Berjalan bak penguasa.
Tak nampak kekesalan atau apapun dari wajah Jingga. Perlu informasi karena itu sudah biasa bagi Jingga. Yap, rutinitas sehari-harinya jika berangkat dengan Lino ya seperti itu. Siap membawakan tasnya hingga masuk kelas. Padahal kalau dipikir Jingga itu kekasih Lino. Iya, Lino dan Jingga adalah sepasang kekasih.
Tapi dia diperlakukan tak semanis pasangan normal. Jauh dari itu dia malah seperti seorang babu bagi Lino.
Bisikan aneh selalu Jingga dengar setiap paginya di sekolah. Tapi Jingga seakan tak memperdulikannya. Toh, itu sudah jadi sarapan paginya sekarang. Cibiran karena mau-maunya jadi babu Lino itu sudah diterima mentah-mentah oleh Jingga.
Entah, Jingga sendiri juga merasa dirinya bodoh. Tapi, ah sudahlah. Lupakan...
"Lo lelet banget sih jalannya!?" Sentak Lino dengan mata melotot.
Maklum Jingga berjalan lumayan pelan menjadikannya tertinggal jauh di belakang Lino.
Karena sentakan itu Jingga berlari kecil untuk mendekatkan dirinya dengan jarak dua langkah dari Lino.
Mereka melanjutkan langkah hingga sampai di kelas mereka. Maksutnya kelas Lino. Jingga meletakkan tas hitam Lino di mejanya. Lantas Lino mendudukan dirinya dengan nyaman di bangku miliknya.
"Gue ke kelas dulu" pamit Jingga. Sudah berbalik untuk pergi
"Siapa yang nyuruh?" Baru dua langkah Jingga berjalan Lino membuatnya berhenti.
Jingga terpaksa menoleh ke Lino. Dia menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga.
Lino menatap Jingga dengan datar.
"Ada apa? Lo butuh apa?" Tanya Jingga.
"Udah sana lo pergi. Gue nggak butuh apa-apa" ketus Lino mengusir Jingga.
Jingga hanya mengangguk mengerti dan pergi dari kelas Lino. Ia menuju kelasnya sendiri yang ada di koridor sebelah.
Sesampai kelasnya sendiri Jingga langsung disambut sahabat dekatnya. Cindy.
"Udah? Nganterin pangeran lo?" Tanyanya seperti biasa. Setiap hari Cindy pasti bertanya dengan pertanyaan yang sama hingga menjadi terdengar biasa bagi Jingga.
Jingga hanya mengangguk lesu menanggapi Cindy dan duduk di bangkunya sendiri.
Jingga menelungkupkan kepalanya di atas tas yang dibuat untuk bantalannya. Cindy lantas coba meraih punggung Jingga untuk ia usap. Sahabatnya itu tau kalau sejujurnya Jingga sudah lelah bersama Lino. Tapi, apa mau ia perbuat?
Lino tidak akan pernah melepas Jingga?
Why?
☆☆☆