Part 16

669 70 0
                                    

Janan

"Mbak Janan bantu aku mbak, kasihan mas Aam kerepotan menenangkan warga. Ini Zafran sedang panggil ustadz Haqi." Zulikha tampak panik ketika aku membukakan pintu kamar.

"Ada apa Kha?"

"Warga marah mbak meminta anak pondok dibubarkan saja, karena..." penjelasan Zulikha terpotong saat suara salah seorang menggelegar.

Aku bergegas menuju pintu, berjalan tergesa meski nyatanya kakiku masih pincang dan nyeri.

"Nah itu perempuannya, benarkan kataku mereka itu tinggal bersama. Kemarin ada orang tuanya lha sekarang? Mau kasih contoh seperti apa ke anak pondok kalo mereka bertingkah seperti itu."

"Astaghfirullah.. demi Allah pak kami tidak seperti itu. Mbak Janan ini putri sahabat Abi, dan juga kami tidak bisa menempatkannya di pondok karena sekarang pondok putri sudah penuh." Amran berusaha memberikan penjelasan.

"Tapi kalian tetap bukan mahram, kalian sudah memberikan contoh buruk untuk anak pondok."

"Kami prihatin melihat haji Syafrie mengalami musibah tetapi nama baik Abi kamu jangan sampai tercoreng oleh kelakuan kalian."

Kakiku membeku mulutku seperti terkunci tak mampu sekedar membuat pembelaan, kepalaku pening dan penglihatanku menggelap tiba-tiba.

Aku limbung tepat ketika suara lembut itu tertangkap indera pendengaran, suara yang beberapa hari ini aku rindukan.

***

Author

"Pak sebenarnya ada apa ini?."

"Itu pak, saat ini haji Syafrie masih koma di rumah sakit ummi juga sibuk menunggui. Tapi kami kecewa Amran malah mengambil kesempatan berduaan dengan gadis yang tinggal dirumah haji Syafrie ini."

"Kami tidak mengambil kesempatan berduaan pak." Amran masih berusaha membela diri, karena dia memang tidak melakukan seperti yang dituduhkan para warga.

"Tapi kemarin kami melihat kalian berboncengan."

"Pak tolong percaya mas kami tidak seperti itu, kemarin itu karena darurat mbak Janan terkena musibah dipinggir jalan. Lalu mas Amran menolongnya." Zulikha berusaha membela kakaknya​.

Kedua orang tua dan adik Janan yang dari tadi duduk bersama mereka membulatkan mata seketika saat mendengar penjelasan Zulikha, mengingat semalam saat mama menghubungi, pasalnya Janan tidak bercerita perihal musibah tersebut.

"Itu kan alasannya saja." celetuk warga yang berada dibelakang. Sementara mama dan papa Janan dari tadi diam berusaha menyimak apa yang terjadi.

"Om Syarief tolong percaya sama mas Aam, mbak Janan kemarin terluka, saya juga membantu mengganti perbannya tadi pagi. Bapak semua juga lihatkan jalan mbak Janan masih pincang tadi."

"Selama tidak ada orang tua kalian harusnya gadis itu jangan tinggal satu rumah dengan kalian." Kata seseorang didepan Zulikha.

"Bapak semua.. gadis itu bernama Janan. Saya ayahnya, saya tau apa yang terbaik untuk putri saya. Saya lebih tau bagaimana putri saya. Sekarang mohon bapak semua bubar, masalah putri saya adalah tanggung jawab saya." Papa Janan mulai berbicara dengan tegas membuat warga merasa sungkan.

Simbok yang duduk disamping mama Janan menangis, kecewa dengan sikap warga. "Ya Allah.. apa kalian tidak mandang aku yang menjaga anak-anak disini."

"Iya mbok maafkan kami, tapi kami tidak ingin pondok pesantren haji Syafrie tercoreng, apalagi jika arang yang menorehkan putra beliau sendiri." Ucap salah seorang warga, dengan ditenangkan ustadz Haqy akhirnya mereka membubarkan diri.

***

"Nak Aam bisa bicara dengan om sebentar?"

"Mari om silahkan duduk di ruang tamu."

Amran mempersilahkan papa dan adik Janan yang baru datang dari Jakarta untuk masuk rumah, karena dari tadi mereka masih berada di teras. Sedangkan mama Janan sudah berada didalam kamar Janan kembali mengurus putrinya yang pingsan.

"Om tadi baru saja dari rumah sakit menjenguk Abi. Kami disana bertemu umma kamu."

"Terima kasih om sudah menjenguk Abi."

"Nak Amran bisa ceritakan kejadian sebelum berboncengan dengan Janan? Apa benar yang mereka katakan?."

Amran ragu untuk menjawab karena nyatanya ia hanya tau kejadian bertemu dengan Janan sedangkan dengan Riko, ia tidak melihat secara langsung.

"Mas tolong ceritakan yang mas ketahui apa yang terjadi dengan kakakku." Kata Keenan adik Janan yang dari semula hanya diam mengamati situasi.

Akhirnya Amran menceritakan detail apa yang dialami Janan termasuk tentang Riko.

"Om percaya sama kalian, tapi yang lebih om khawatirkan adalah teman kuliah Janan itu yang sepertinya punya niat buruk. Om tidak bisa selalu menjaga Janan." Keluh papa Janan.

Mereka bertiga diam seperti bergulat dengan pikiran masing-masing.

"Nak Aam ada masukan? Menurut nak Aam bagaimana cara menjaga Janan. Kuliahnya masih dua tahun lagi, tapi dia sudah betah tinggal disini. Kalau om kembalikan ke Klaten di pondok saudara om, sebenarnya om juga kasihan jarak dengan kampusnya terlalu jauh."

"Ada satu cara tapi maaf om jangan tersinggung." Amran menjeda melihat ekspresi papa Janan. Kemudian mengambil nafas panjang beberapa kali.

"Amran yang akan menjaga mbak Janan, insya Allah Amran akan menghalalkan mbak Janan jika om mengijinkan." Ucap Amran tegas, dengan menatap papa Janan penuh keyakinan.

"Om seorang ayah pastilah ingin imam yang terbaik untuk Janan. Dan lagi..."

Mendengar ungkapan papa Janan jantung Amran berdetak lebih cepat, jemarinya dingin wajahnya sudah pucat pasi, Amran semakin gugup ada rasa khawatir permohonannya​ ditolak papa Janan.

Mendengar Janan diganggu Riko saja Amran sudah geram, apalagi jika nanti dirinya melihat Janan dimiliki lelaki lain. Amran heran dengan dirinya sendiri karena baru kali ini ia begitu memiliki keyakinan untuk menghalalkan seseorang. Apalagi usianya yang masih muda.

"Jika yang om khawatirkan masalah nafkah, Amran saat ini memiliki tabungan dan usaha yang bisa digunakan untuk menafkahi keluarga. Kalo om khawatir masalah pengetahuan agama, Amran..."

"Memiliki hafalan 9 Juzz dan beberapa surat?." Papa Janan tersenyum memotong perkataan Amran, beliau memaklumi sikap gugup Amran.

"Soal pengetahuan agama Insya Allah om paham kalau Abi kamu pasti sudah memberikan pendidikan agama dengan baik. Melanjutkan ucapan om tadi.. om hanya ingin menikahkan Janan dengan pria yang ia cintai dan tentunya juga mencintai Janan. Dan om sih setuju saja karena om tau kamu mencintai putri om."

Mendengar ucapan papa Janan mata Amran membulat tak menyangka karena sesuatu yang selama ini ia pendam rapat-rapat nyatanya ketahuan oleh sang calon bapak mertua. "Catat calon bapak mertua." batin Amran mulai lega.

"Amran om tau segala tentang kamu dan putri om, umma kamu dan mama Janan sering berkirim informasi tentang kalian. Kalau kamu yakin dengan keputusan ini ya.. berarti tinggal menunggu persetujuan Janan. Karena baik Abi, umma kamu, om dan tante sudah menyetujui ini sebelum Abi mengalami kecelakaan."

"Alhamdulillah.. pa mulai sekarang kita nggak terlalu khawatir dengan keamanan mbak Janan."

"Iya InsyaAllah."

"Om sebelum mengkhitbah Janan, saya ingin memantapkan diri dengan menemui kyai Abdurahman dan meminta izin ummi terlebih dahulu."

"Iya tidak perlu tergesa, karena tergesa itu datangnya dari syetan."

"Terima kasih om." Kata Amran penuh kelegaan.

"Kalo sudah khitbah kakakku panggilnya jangan om lagi mas." Ucap  Keenan memancing senyum ketiganya.

***

25 Februari 2020

Hafizah JananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang