Part 13

833 82 9
                                    

Amran

Semburat jingga mewarnai langit Jogja, hari semakin sore saat aku memasuki gerbang pondok sepulang bimbel. Ujian Nasional tinggal hitungan hari tentu menghabiskan konsentrasi dan membutuhkan persiapan matang.

Kegiatanku seputar rumah-sekolah-bimbel-rumah sakit. Apakah aku bosan? Mungkin jawabnya, tidak. Karena saat ini jati diriku sedang kupahat. Anak lelaki tertua menghadapi masalah keluarga dan pribadi, setidaknya butuh pengorbanan agar keduanya berjalan selaras. Mau tak mau aku harus bisa memberikan tauladan untuk adikku.

Kadang berat dan penat ini ingin kubagi kepada seseorang. Yang jelas bukan ummi atau adik-adikku karena aku tak mau membebani mereka. Cukup mereka tau bahwa aku mas Aam-nya mereka yang mampu diandalkan.

Aah.. gundahku, ingin kulepas dengannya. Sekedar bercerita, menyandarkan bahuku dipundaknya atau bahkan sekedar mengusilinya. Oh.. tidak.. tidak. Harusnya aku tak berpikir demikian, harusnya aku berterima kasih padanya.

Dia yang paling banyak mengambil alih tugas ummi, dari urusan menjaga Azka sampai logistik keluarga kami. Ya betul, harusnya itu saja sudah lebih dari cukup menjadi alasanku untuk bersyukur.

Dia Janan. Gadis yang tiba-tiba masuk dalam keluargaku, melalui kelembutannya memberikan warna lain untuk kami. Gadis pendiam, cerdas dan penyabar. Siapa sangka ternyata dia pemilik nomor yang sering meminta bantuanku menjawab tugas kuliahnya.

Awalnya memang aku tak mengetahui tapi saat aku tak sengaja melacaknya melalui koordinat GPS dan mencoba menelusuri akunnya, aku tau bahwa dia adalah Janan. Mahasiswi teknik informatika, usia dua puluh tahun dan baru saja menempati kamar tamu dirumahku karena kamar pondok putri sudah penuh.

Seperti Allah sudah mengatur pertemuan kami, semua tanpa rencana. Lagi kami bertemu di sekolah saat dia memperkenalkan kampusnya yang bisa jadi akan kusegerakan menjadi kampusku juga. Semoga.

Al-Azhar Kairo-Mesir, ingin sekali menggapai impian itu, tapi dengan keadaan Abi dan rumah yang belum kondusif sepertinya prioritas menjadi berubah. Ya Allah.. semoga Engkau memberikan ketetapan terbaik untuk hamba.

Kuda besi kesayangan sudah aku masukkan garasi, pelan langkahku menuju tangga rumah. Kehangatan ini yang pertama kurasakan, semua tersenyum lebar melihat kedatanganku, mereka menjawab salamku. Tak terkecuali dia yang sedang duduk disana memberikan suapan untuk adikku Azka.

"Mas Am, udah pulang. Azka kangen." Azka memeluk leherku begitu aku duduk di sofa ruang tamu. Aku menepuk punggung kecil Azka, mataku memindai ruangan dan menyapa simbok, Zulikha, Zafran dan Janan melalui senyuman.

"Kok maemnya disuapin sayang, kasian mbak Janan-nya." dia terkikik saat puncak kepalanya aku usap sampai rambut hitamnya berantakan.

"Tadi maem sendiri beneran lho mas, ya kan mbak Nan." ucapnya khas merajuk.

"Iya kok ini tinggal yang terakhir, biar cepet jadi disuapin." jelas Janan.

"Oh.. pinter dong adiknya mas Aam." Azka tertawa dan kembali duduk dekat Janan.

Zulikha yang tadi duduk di depanku kini berpindah disamping kiriku. "Mas, capek ya.. maaf aku mau cerita."

"Ada apa Kha, cerita saja."

"Kemarin Pak Parno kesini katanya mau minta uang untuk beli vitamin buat kambing. Sama ada anak kambing yang harus diimunisasi."

"Lha minta uang ustadz Haqy saja to."

"Kata ustadz Haqy uang peternakan menipis, kalo mau ambil di bank kan harus ada tanda tangan Abi."

Hem.. ini yang membuat tambah berat.

Hafizah JananTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang