Amran
Hari kelima Janan pergi meninggalkan pondok Abi, sebenarnya aku agak kecewa dengan keputusannya. Tapi aku tak bisa berbuat egois. Aku harus menghargai keputusannya.
Berat menyadari jika Janan sudah pergi, terbiasa melihatnya membuatku nyaris kehilangan fokus karena sekarang nyatanya rumah semakin sepi.
Dua kali mengantarkan Zulikha sendiri menyetorkan hafalan kepada Kyai Abdurrahman pun rasanya menjadi janggal.
Aku biasa mengusik Janan, mengusilinya, dan memunculkan sisi nakalku sebagai seorang remaja pria, yang biasanya sangat-sangat aku jaga didepan perempuan lain.
Dengan Janan secara alami hidupku terasa mengalir begitu saja mampu mengeluarkan sisi diriku yang selalu kujaga sebagai seorang anak lelaki.
Dari ummi - yang selalu kupaksa - akhirnya aku tau Janan berada di pondok pakdhe-nya di daerah perbatasan Klaten-Jogja. Tempat mondoknya sebelum pindah di pondok Abi.
Siang ini setelah menjemput Zafran dan Zulikha pulang sekolah aku izin kepada ummi untuk mengajak mereka berdua menemui Janan.
Yang kutau dari kak Sofia kalau Janan hari ini izin tidak berangkat kuliah karena demam. Itu membuatku sedikit cemas.
Dengan membawa mobil Janan dan berbekal masakan simbok - untuk sekedar meluluhkan hatinya - aku berangkat dengan percaya diri.
Ternyata kedua adikku itu tak menolak saat kuajak menjenguk Janan. Pondok pakdhe Janan berada di daerah Jogonalan sekitar 30 km dari Jogja, jika perjalanan lancar membutuhkan waktu sekitar 75 menit dengan menggunakan kendaraan pribadi, sehingga kemungkinan sebelum Maghrib kami sudah bisa kembali sampai di Jogja.
Alhamdulillah.. berbekal Maps kami sampai di halaman depan pondok pakdhe Janan, jangan ditanya bagaimana senangnya aku saat melihat ekspresi terkejut Janan.
Sesuai dugaanku gadis yang sudah mengambil hatiku itu membelalakkan mata, dengan tidak sopannya dia berani mendengus saat aku memberikan senyuman termanisku. Kata cewek-cewek disekolah terutama dedek angkatan senyumanku bikin melting, tapi sayang tidak buat gadisku itu.
Zulikha seperti sudah bertemu dengan kakak kandung, dia bebas memeluk dan mengobrol seru dengan Janan. Tapi apa dayaku? Aku cuma bisa menikmati dengan memandangnya saja. Itupun aku tetap harus membagi atensi dengan pakdhe Maulana yang sudah menyambut kami dengan ramah.
Karena kami dianggap tamu dari jauh, pakdhe Maulana menjamu kami di rumah makan miliknya yang terletak disamping pondok. Wah ternyata calon pakdhe-ku ini juga seramah om Syarief, calon mertuaku.
***
Usai bersantap siang bersama, pakdhe Maulana mempersilahkan kami duduk diruang tamu. Beliau izin sebentar menemui tamu pondok dari orang tua salah satu santri. Kesempatan emas aku bisa bicara dengan Janan.
"Ayo Nan pulang, kita nikah sekalian."
"Kamu ini kenapa sih Am, yakin banget kalo nikah bisa mengatasi semuanya."
"Ya pokoknya aku yakin aja semua akan baik-baik aja kalo kita nikah."
"Tapi kamu sama aku itu tuaan aku Am."
"Dua tahun Nan, selisih kita cuma dua tahun. Lagian usia itu nggak menentukan kedewasaan. Kamu tau.. penghuni surga aja dibangkitkan dengan usia sebaya nggak ada tua muda, semua sama. Udah nggak usah kebanyakan mikir, ikut kita pulang sekarang."
Janan mendengarkan ucapanku mempertimbangkan kesungguhanku, tidak baik jika ia melarikan diri seperti ini masalah hanya akan mereda tapi tidak selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hafizah Janan
Teen Fiction"Aku butuh kamu mbak, untuk membantuku menata hidupku. Membantu menenangkan hatiku." Nah kan mulai nih anak... "Membantu bukan berarti harus menikah. Ini bukan sekedar persoalan memiliki buku nikah." "Justru itu, ijinkan aku untuk menghalalkan kamu...