23. Diterima!

15.6K 1K 37
                                    

"Ras, kita satu kelompok kan?"

Raras mendongakkan kepalanya. Matanya menyipit kala melihat cowok didepannya tengah meletakkan beberapa kertas diatas meja dengan seenaknya.

"Ha?"

"Gue Rian, itu kalo lo emang ga kenal gue," ujar pria itu memperkenalkan dirinya.

"Emang ga kenal," jawab Raras.

Rian menggelengkan kepalanya maklum. Raras memang tidak terlalu mengenali teman-temannya. Bahkan teman sekelas yang notabene-nya pasti sering bertemu pun gadis itu kerap kali tak mengenalnya.

Gadis cantik dengan rambut lurus sebahu itu sebenarnya cukup terkenal di lingkungan fakultas juga kampusnya. Apalagi di kalangan kaum Adam. Tidak bisa dipungkiri bahwa Raras mempunyai aura kalem yang selalu memancar setiap harinya. Namun karena faktor ketidak pedulian gadis itu pada sesuatu di sekitarnya, dia tidak pernah tau se-famous apa dirinya. Dia tidak tau dan mungkin tidak akan pernah tau.

Bukan apa-apa. Kehidupan Raras memang tertutup semenjak dia mengenal Galang. Lingkup pertemanannya pun menyempit seiring dengan waktu yang terus berjalan. Apalagi dengan teman pria, dia benar-benar tidak mengenal mereka. Bahkan perempuannya juga. Sama sekali tidak ada yang dia kenali di kelas ini. Kecuali Cahaya, juga Alin yang sering mendapat jadwal bertepatan dengannya.

"Gue sama lo?" tanya Raras sedikit merasa khawatir.

"Iya. Ga merhatiin ya?"

"Hm. Kita bagi tugas ya, gue ga bisa kalo harus ngerjain bareng," ujar Raras cepat. Ketakutannya pada Galang lebih besar daripada rasa takutnya kepada dosen.

"Ga bisa dong, Ras. Kan ini kelompok," sela Rian tidak setuju dengan usul yang baru saja diajukan. Sejujurnya, ada niat modus yang ingin ia laksanakan dengan keberuntungannya mendapat satu kelompok dengan primadona angkatannya ini.

Kelas saat ini sudah tidak terlalu ramai. Dosen sudah keluar lima menit yang lalu. Sebagian dari mereka yang tidak mempunyai jadwal lagi memilih untuk pulang, sedangkan yang lainnya memilih untuk bergosip, menunggu jadwal matkul selanjutnya, juga ada bernasib sama seperti Raras dan Rian saat ini. Membahas tugas.

"Ya tinggal bagi aja, ga usah dibuat susah. Lo ambil bagian lo, sisanya gue gapapa," ucap Raras mempercepat waktu. Dia memasukkan beberapa buku juga alat tulis yang tadi sempat dia gunakan kedalam totebagnya.

Rian mengernyit menatap Raras yang nampaknya tidak ingin berlama-lama dengannya. "Kalo misal lo ngga bisa--"

"Dia bisa." Suara baritton yang terdengar mengintimidasi memotong ucapan Rian. Pria itu mendongak, mendapati seorang cowok yang dia kenali sebagai kakak tingkatnya tengah berdiri tepat di samping Raras.

Jantung Raras berdegup kencang. Belum lama masalah seperti ini menerpa mereka, sekarang dia harus mendapatkannya lagi. Dengan segera, dia berdiri. Menggenggam tangan Galang secara sembunyi-sembunyi. Mengusap lembut tangan mengepal yang terasa dingin itu.

"Tanyain aja kalo ga paham. Gue duluan...??" ucapnya tertahan.

"Rian," ualang Rian memperkenalkan dirinya lagi.

"Nah iya, Rian."

Raras menarik tangan Galang. Mengajak pria itu untuk segera keluar dari kelasnya. Tangan yang dia genggam perlahan mengendur. Galang balik menggenggam tangan Raras, lebih erat. Keduanya berjalan melewati lorong fakultas. Tampak ramai mengingat ini juga masih bisa dihitung pagi, mungkin banyak dari mereka mengambil jadwal pada jam seperti ini.

"Jangan marah," ujar Raras lirih. Kepalanya menunduk sambil berjalan.

Galang menoleh, menghentikan langkahnya yang otomatis membuat gadis yang tangannya tengah ia genggam ini ikut berhenti. Tangannya yang bebas mengangkat dagu Raras, gadisnya nampak ketakutan dengan bibir bawah yang ia gigit juga pandangan yang dia alihkan darinya.

"Ngga, ga usah takut."

Mata Raras beralih, menatap Galang yang tetap memasang wajah datarnya itu. Jantungnya yang sempat ingin meledak karena ketakutan perlahan kembali berdetak normal.

Galang tersenyum tipis, amat tipis hingga hanya Raras yang bisa melihat senyum itu. Kemudian mereka melanjutkna langkah menuju ke arah parkiran kampus dimana mobil Galang terparkir disana.

"Diterima?" tanya Raras saat mereka sudah duduk di mobil.

"Apanya?"

"Skripsi."

"Iya."

Raras mengerjap, mulutnya membulat karena terkejut juga senang bukan main. "Jadi?"

"Jadi apa?"

"Iiih lemot ah, ga suka."

"Ya lo ngomong sekata doang."

Raras mencebikkan bibirnya sebal. "Jadi tinggal sidang?"

"Menurut lo aja gimana kalo skripsi gue udah diterima semua."

Raras tersenyum senang, tangannya memeluk Galang erat. Gerakan yang terkesan tiba-tiba itu membuat Galang hendak menatap pintu mobil jika saja refleks tangannya tidak bagus. Cowok itu menggelengkan kepalanya dengan senyum yang terpatri di wajahnya. Tangannya membalas pelukan Raras tak kalah erat. Hatinya kembali meleleh setelah tadi sempat membeku karena melihat Raras dengan yang lain didalam kelas.

Usapan lembut dipunggungnya menambah kebahagiaan yang hari ini dia dapatkan. Skripsi yang dia ajukan sudah diterima oleh dosen 1 juga dosen 2. Beberapa minggu lagi dia akan menjalankan sidang, dan jika semua berhasil dia hanya menunggu wisuda. Dan.. melamar Raras. Jangan lupakan tujuan utama yang membuatnya mati-matian mengerjakan skripsi itu.

"Selamat kak Galang," ujar Raras terdengar benar-benar senang di telinga Galang. Cowok itu mengurai pelukan mereka, kemudian menghapus air mata yang sudah dia duga akan menghiasi pipi Raras.

"Kok nangis?" tanyanya sambil terkekeh.

"Seneng tau," jawab Raras kembali menangis, tambah deras. Perasaan bahagia benar-benar mendominasi dirinya saat ini.

"Akhirnya kan kamu bisa nyusul bang Dandi. Heran, padahal yang duluan kuliah kamu, yang lulus lebih awal malah bang Dandi," ujarnya menjabarkan alasan mengapa ia merasa senang.

"Gue kira gegara skripsi gue diterima," ujar Galang mencebik kesal. Menarik tangannya kembali dan mulai fokus pada setir mobil.

"Itu juga aku seneng," tambah Raras lagi. "Pokoknya seneng bangettttt. Ayo makan, kak. Kan udah diterima skripsinya, traktir aku dong."

"Kalo ada maunya manggil kak. Lagian selama ini juga gue yang bayarin makan lo."

"Iiih, kan lo yang maksa bayarin juga."

Galang melirik gadisnya sebentar. Kedua sudut bibirnya tertarik membuat lengkungan senyum. Mood Raras benar-benar membuatnya gemas. Sebentar senang, sebentar sebal, sebentar marah, sebentar bahagia.

Dan saat ini dengan waktu yang mereka lalui, Galang merasa tambah bersyukur mengenal Raras dihidupnya. Hingga saat ini, dia tidak pernah menemukan alasan kalau ia harus menyesel berpacaran dengan Raras. Karena bersama gadis itu, dia merasa benar-benar berada di rumah. Di tempat yang selama ini belum pernah ia jamah.

"Raras sayang kak Galang banyak-banyak!"

.
.
.

update sesuka gue

ga suka, delete dari library

HUGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang