Sore hendak berganti malam, namun nampaknya Galang masih enggan beranjak dari tempat tidurnya yang katanya sangat nyaman itu. Sedangkan sudah sejak tujuh menit yang lalu Raras sudah berteriak menyuruh Galang untuk sekedar mandi lantaran pria itu sama sekali belum menyentuh air sejak pagi.
Galang menutup handphone-nya malas kala teriakan Raras mendekat ke kamarnya.
"Mandi, Galaaaaaaaaang.."
"Kurang panjang."
"GALAAAAAAAAAAAAAAANG."
"Iya kanjeng, buset dah anak gadis teriaknya."
Raras mendengus jengkel, mengusap air matanya yang tak sengaja keluar kala berteriak tadi. Gadis itu memang tidak terbiasa berteriak, dan jika dia sudah mengeluarkan suara melengking maka air mata akan jatuh dengan sendirinya.
Raras tengah mencarikan baju untuk Galang kala pria itu menginterupsi kegiatannya.
"Mandiin, Ras." Dibalas dengan lemparan kaos navy yang mendarat tepat di dada Galang. "Bayi," ejek Raras kemudian bergegas keluar kamar.
"Salah siapa ngebayiin gue mulu," gumam Galang sembari memungut kaosnya yang tergeletak di lantai.
"Gue denger ya, bos." Suara itu mengagetkan Galang. Entah sejak kapan kepala Raras muncul di sela-sela pintu kamar.
"Ga usah ngajak omong, keluar lo!" usir Galang.
Raras mengendikkan bahu acuh, berjalan pergi sembari berkata, "Makanan diatas meja. Jangan minta suapin ya soalnya gue mau pergi nih abis diusir tuan rumah."
Galang berdecak, "RARAS!!!" Dan gelakan tawa Raras memenuhi seisi rumah.
☘️☘️☘️
Meja makan itu tidak benar-benar hening ketika dua sejoli yang lumayan berisik ketika sedang berdua itu tengah makan disana. Lebih tepatnya, Raras lah yang banyak mengajak Galang bicara, sedangkan Galang hanya sesekali menanggapi.
Suara dering telepon Galang menginterupsi kegiatan mereka. Tubuh Galang menegang saat membaca nama orang yang meneleponnya, sedangkan Raras yang melihat itu hanya bisa mengernyit heran tanpa mau bertanya.
Papa is calling...
Begitu tulisan pemanggil diberitaukan kepada Raras, perempuan itu ikut terkejut. Raras menatap Galang sebentar kemudian mengangguk pelan, memberi kode kepada kekasihnya itu untuk mengangkat panggilan.
Lalu Galang beranjak, menjauh sedikit dari meja makan. Raras membeku sejenak, entah apa yang akan terjadi setelah ini tapi Raras berharap itu adalah hal yang baik.
"Papa pikir kamu gak akan angkat panggilannya."
Galang terdiam, jika bukan karena anggukan dari Raras juga sebenarnya dia akan menutup panggilan ini.
"Bagaimana? Kamu sudah lulus kuliah kan?"
"Sudah."
"Baguslah. Besok pulang ke rumah, kita harus membicarakan perusahaan. Kamu harus secepatnya menggantikan papa disana."
Galang memejamkan matanya erat, pertemuan dengan papanya tidaklah menakutkan. Galang hanya tidak ingin bertemu dengan wanita itu, wanita yang sudah menikahi papanya dan membuatnya menjadi penuh dengan trauma semacam ini.
"Pa.."
Pria di seberang panggilan itu sedikit terperanjat kala suara Galang terdengar di telinganya. Sudah berapa lama dia tidak mendapat panggilan itu dari anak semata wayangnya? Sudah berapa lama ia tidak merasakan euforia menjadi ayah untuk anak lelakinya ini? Sudah berapa lama ia mencampakkan anaknya dan menganggap sang anak itu tidak ada? Sudah berapa lama ia mengabaikan kenyataan bahwa Galang adalah putra kesayangannya?
"Ya, nak?" jawab pria itu dengan suara sedikit bergetar.
"Ga jadi, besok Galang kesana." Panggilan dimatikan oleh Galang karena merasa percakapan itu tidak akan berakhir baik untuknya.
Sepasang tangan melingkar dipinggangnya kemudian disusul usapan lembut. Galang segera berbalik dan melihat senyum hangat Raras yang menenangkan, segera ia peluk gadis itu demi menetralkan detak jantungnya yang entah sejak kapan bekerja lebih cepat dari biasanya.
Rasa takut jelas menyelimuti sebagian diri Galang, apalagi menyadari pertemuannya dengan istri ayahnya memiliki peluang besar. Galang belum sesiap itu untuk membuka luka lagi, dan dia dengan terpaksa harus merasakannya.
Tak terasa air mata jatuh mengenai pundak Raras. Galang menangis dalam pelukan gadis itu, tanpa suara namun punggungnya bergetar hebat. Tanpa diperintah, rasa sakit itu menghinggapi Galang kembali. Trauma yang begitu dalam hingga untuk menceritakannya kepada seseorang pun Galang masih ketakutan.
Ibu tirinya telah menancapkan luka begitu dalam pada sosok Galang kecil, dan luka itu senantiasa tertancap hingga Galang sudah sebesar ini. Dulu Galang pikir dengan tinggal terpisah akan membantu pria itu jauh akan rasa sakitnya, namun tetap saja ia masih bisa merasakannya walau radar mereka sudah lumayan jauh.
Sedangkan Raras hanya bisa mengusap punggung dan kepala Galang, kembali menjadi orang yang tidak tau apa-apa dan hanya bertugas menyelamatkan. Raras juga penasaran, namun tidak pernah berani untuk memaksa karena baginya kesehatan Galang lebih penting daripada semua cerita masa lalu.
Namun disaat-saat seperti ini kadang Raras masih bingung harus mengambil sikap seperti apa. Dia tidak bisa hanya memberi Galang usapan tanpa solusi, memanggil psikiater juga akan percuma karena jelas laki-laki itu akan menolaknya.
"Maaf.." Hanya itu yang Galang ucapkan ditengah tangisan tak bersuaranya. Merasa bersalah karena membiarkan Raras mengobatinya tanpa mengetahui apa akar penyakitnya.
Nanti, akan ia jelaskan.
Tunggu beberapa waktu.
.
.
.cie galang mau kawin
KAMU SEDANG MEMBACA
HUG
Random❛❛i want your hug.❜❜ part of MY BOY ©hykaaz9, Juli-2019 cover by @JWLinTheCrown