16. Secangkir coklat.

1.9K 92 0
                                    

بسم الله الرحمن الرحيم

°°°


La Haula wala quwwata Illa billahil aliyil adzim.”
Tidak ada daya upaya dan kekuatan kecuali atas pertolongan Allah yang maha luhur dan agung.

Yaallah, kuatkanlah saya dalam menangani semua pasien saya.

Hari ini, terjadi kecelakaan beruntun di depan rumah sakit at-turkes. Saya beserta tim medis lainnya sampai kewalahan menanganinya. Meskipun saya bukan dokter khusus korban kecelakaan, tapi saya termasuk dokter bedah, jadi saya ikut melayani dan membantu teman dokter saya lainnya.

Sudah hampir 5 jam saya berdiam di ruang operasi, membantu tim medis lainnya. Jam sudah menunjukan pukul 2 siang, saya harus segera pergi ke mushola, untuk solat Dzuhur.

Setelah melaksanakan solat, saya kembali keruangan, namun di tengah perjalanan, saya melihat seseorang menangis.

Sedang apa dia berdiam di lobi sepi ini?

Ketika saya akan memanggilnya, wajahnya yang semula tertunduk, kini terangkat ke atas, dia sedang berjongkok di atas lantai dengan lutut yang ia peluk.

"Meera?"

Ya, dia Meera. Ada apa dengan Meera?kenapa ia menangis sedalam itu?

"Meera kenapa?" Ucap saya kembali. Saya berjongkok tepat di hadapannya. Tubuhnya bergetar.

"Meera ga salah dok, pasien itu yang emang udah meninggal pas di bawa keruang operasi, ta-tapi keluarganya menyalahkan Meera." Ucapnya terbata.

"Meera dokter tidak becus, Meera tidak bisa menyelamatkan pasien Meera." Ucapnya prustasi, tangisnya pecah.

"Meera jangan begitu, ini semua sudah takdir, jangan menyalahkan diri sendiri, mungkin keluarga pasien sedang syok. Kamu jangan seperti ini, ingat etik kedokteran! Bangkit jangan lemah!" Ucap saya memberi semangat.

"Gabisa! Meera merasa bersalah, Meera ga pernah seperti ini, Meera ga pantes jadi dokter!" Ucapnya kembali. Badannya bergetar, saya bingung harus berbuat apa.

"Meera salah, Meera bersalah." Ucapnya terus-menerus menyalahkan dirinya atas kematian orang lain.

"Meera dengar saya!" Ucap saya sedikit meninggi. Terpaksa, saya pegang kedua bahu Meera, menatapnya lekat.

"Semua ini sudah Allah takdirkan, ini bukan salah kamu, kematian tidak ada yang pernah tau. Ingat Meera! kamu dokter! ingat semua perjuangan kamu sampai kamu bisa dititik saat ini! Kamu dokter, kamu harus kuat menghadapi keluarga pasien yang tidak bisa menerima kenyataan. Bukankah ini sudah di pelajari saat kamu kuliah? kamu lupa?" Jelas saya. Tangisnya sedikit mereda, Meera menatap saya lekat.

"Keluarga pasien sedang dalam keadaan syok, jadi mereka tidak sadar menyalahkan kamu sebagai dokter, dan kamu harus bisa menerima itu, kamu harus bisa mengerti keadaan mereka."

"Ingat Meera, ingat pelajaran yang pernah kamu pelajari di kuliahmu!"

"Bangkit! kamu ga boleh lemah! tunjukan bahwa kamu pantas menjadi dokter!" Ucap saya menyemangati.

Tangis Meera mulai reda, keadaannya sedikit tenang. Saya memaklumi, karena dulu juga saya pernah di posisi Meera, merasa tidak pantas menjadi seorang dokter. Namun semua itu seharusnya tidaklah di lakukan.

"Astagfirullah." ucapnya mengusap wajahnya.

Saya tersenyum, Meera sudah tenang dan sadar.

"Maafkan meera." Ucapnya lemah.

"Kamu tidak perlu meminta maaf, saya ngerti keadaan kamu, tapi jangan di ulangi lagi ya."

Menjemput Cinta[A Doctor]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang