00.08

135 14 0
                                        

"Kok belum tidur, Lan? " wanita dengan piyama berwarna biru itu menghampiri Allan yang duduk di teras balkon kamarnya.

Allan tersentak, lalu tersenyum menguasai air mukanya. "Aku kebangun jadinya nggak ngantuk, Ma, " jawabnya kalem.

"Kamu lagi ngelamunin apa?" Mira duduk di sebelah Allan, membuat cowok itu bergeser sedikit dari kursi panjang yang ia duduki sejak satu jam yang lalu.

Merasa hawa di sekitarnya makin dingin, Allan merapatkan jaket hitamnya.

"Aku nggak ngelamun, kok. Cuma lagi liat bintang aja, " elaknya. Cowok itu kembali menatap langit lagi.

Mira tersenyum. "Jangan bohong. Mama tahu kamu lagi mikirin sesuatu. Ayo, cerita ke Mama, " kata wanita itu lembut, membelai rambut hitam Allan.

Allan menyerah, ia menghela napas berat, semakin menatap langit malam bertabur bintang. "Salah ya, Ma, kalau aku pengen punya temen?" tanyanya. Entah pada Mama atau pada diri sendiri.

"Kenapa aku yang sakit kaya gini, Ma? Kenapa mereka ngejauh dari aku cuma karena aku sakit? Kenapa mereka nganggep aku cowok lemah? Aku ngerasa sendirian."

Mira tersenyum miris nendapat pertanyaan itu lagi dari putranya. Jika Allan masih sepuluh tahun, mungkin mudah memberi penjelasan dan menenangkannya.

Tapi kali ini berbeda. Ia bukan anak-anak lagi, ia jelas butuh teman. Butuh juga jawaban atas pertanyaan yang selalu ia pendam.

"Kenapa kamu tanya gitu? Apa ada yang jahatin kamu?" tanya Mira hati-hati.

Allan menggeleng. "Nggak ada. Aku cuma kepikiran aja," jawabnya santai.

Mira mengelus pundak Allan lembut. "Kamu anak Mama. Kamu anak kuat. Allannya Mama gak lemah. Jangan mikir kaya gitu lagi," katanya. "Tuhan tahu kalau kamu kuat, makanya Dia biarin kamu sendirian. Kamu kan masih punya Mama, Papa, Pak An, Mbak Tun yang masih sayang sama kamu. Kamu nggak sendirian," lanjutnya.

Allan tersenyum, kemudian menoleh, menatap mamanya lekat. "Kalau suatu saat aku pergi ... apa kalian bakal tetep sayang sama aku?"

"Hussttt, kamu gak boleh ngomong gitu. Kami semua sayang sama kamu, dan kamu nggak akan ke mana-mana," jawab Mira menenangkan dirinya sendiri. Jujur, ia juga takut jika kemungkinan buruk itu terjadi.

Wanita itu merengkuh putra semata wayangnya dengan penuh kasih sayang dengan ujung pelupuk mata yang menghangat, membayangkan hal yang seharusnya tak pernah terlintas di otaknya.

Merasa atmosfer di sekitarnya berubah, Allan cepat-cepat bersuara, menghilangkan keheningan malam yang membuatnya canggung. "Mama inget Keysha yang dulu pernah papa sebut nggak?"

Mira melepas pelukan, jadi mengernyit memandang Allan. "Keysha? Yang kata papa kenalan istimewa kamu, ya?" tanyanya memastikan.

Allan mengangguk.

"Memang ada apa sama gadis itu?"

"Aku takut dia ketahuan sama Pak Ruhul kalau dia main ke tempat biliar tadi sore." Allan jadi khawatir sendiri. "Kalau dia ketahuan, pasti bakal di hukum atau bahkan di keluarin. Dia cewek unik yang pernah aku kenal, dan cuma dia yang mau ngobrol sama aku."

"Ternyata benar kata papa. Gadis itu istimewa, ya, bagi kamu?" Mira tersenyum, mencolek hidung Allan dan menggoda putranya itu.

"Aku nganggep dia teman, Ma. Tapi dia gak mau nerima aku sebagai temannya. Dan aku nggak mau kalau dia sampai keluar dari sekolah. Apa lagi dia juga gak punya temen, sama kaya aku," lanjutnya.

Mira tersenyum geli sendiri melihat Allan mencemaskan seorang gadis. Ya memang, Allan mengatakan hanya menganggapnya teman.

"Minta sama tuhan, biar dia nggak sampai keluar dari sekolah. Mama jadi penasaran, kaya apa ya dia?"

11.11 (Sebelas kembar) [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang