00.25

117 8 0
                                        

Suara berisik roda food trolly yang didorong, menggema di sepanjang lorong lantai tujuh di Rumah Sakit Mount Elizabeth Singapura. Food trolly didorong masuk ke ruang nomor 1111.

Seorang cowok menyandarkan punggung pada kepala ranjang. Ia menatap keluar jendela, memandang gedung-gedung di wilayah Orchard, nampak tak terganggu dengan suara berisik itu.

“Ini makanan untuk Anda, Tuan,” kata suster yang mendorong food trolly pada Allan.

Allan bergumam. “Letakkan saja di meja, Sus,” katanya, tanpa menolehkan kepala.

“Tapi, Anda harus makan tepat waktu, Tuan.” Suster itu memaksa.

Allan mendecak malas. “Nanti sa-,” Allan berhenti. Ia reflek menoleh menatap suster yang memakai masker tersebut. “Anda berbahasa Indonesia?” tanya Allan terkejut, baru menyadari.

Suster itu mengangguk pelan. “Silakan makan sarapan Anda. Setelah ini, Anda harus meminum obat,” kata suster itu.

“Tolong taruh di meja dulu saja, Sus, saya sedang tidak berminat sarapan.” Allan menolak dengan malas. Dia memandang ponsel yang di mainkan di tangannya. Sejak tadi, Key susah di hubungi membuat Allan khawatir. Apa cewek itu sudah makan? Apa sudah selesai olah raganya? Dia sedang apa? Allan tidak tahu.

Padahal, Allan berharap bisa seperti kemarin, ketika Key menyuruhnya makan karena Mirna tidak bisa membujuk Allan. Kini mood makannya benar-benar hilang.

“Tuan harus makan sekarang!” Suster itu bersikeras membujuk Allan. Tapi, Allan tetap menggeleng menolak.

“He! Kalau lo enggak mau makan, gue jejelin, nih!” teriak Suster itu geram, menyodorkan nampan berisi makanan tepat di depan Allan.

Allan reflek menoleh, terkejut bukan main. Wajahnya sudah terlihat bengong, antara tidak menyangka atau sedang berusaha menyadarkan diri. “Bentar, kok, gue denger suara Key?” gumamnya.

Suster itu lantas menurunkan masker di mulutnya, meletakkan nampan di nakas. Ia tersenyum manis.

Allan semakin tercengang. “Nah, sekarang gue malah lihat Key.” Cowok itu menggelengkan kepala lalu menepuk pipinya sendiri, mencoba mengenyahkan bayangan Key. Allan mendongak lagi, dan wajah itu masih sama. Wajah milik Key. “Si anjir, gue masih mimpi apa gimana, sih?” gumam Allan, memandang sekitar kemudian mengucek matanya.

Suster itu terkekeh kemudian mendekat, mencubit hidung Allan gemas. “Ini gue, elah! Gue Key!” kata Suster itu yang tak lain adalah Keysha. Ini lah kejutannya.

Allan memegangai hidungnya yang sakit. “Lah? Gue enggak mimpi?” Allan memegang tangan Key dengan hati-hati, takut kalau Key tidak bisa di pegang dan malah menghilang.

“Enggak mimpi, Lan. Sini kalau masih kurang, hidung lo gue cubit,” kata Key. Dia sudah maju, ingin meraih hidung Allan, tapi Allan segera menarik diri.

“Kok, lo bisa ada di sini, sih?” tanya Allan masih bingung. Antara percaya dan tidak.

Key tersenyum senang. “Bisa, dong!” jawab Key.

“Anjir, gue terharu,” kata Allan lebay. “Boleh nangis bombay enggak, sih?”

Key menepuk lengan Allan. “Apa, sih? Alay lo.” Key bergidik ngeri.

Allan dan Key sama-sama tertawa.

“Lo sampai Singapura kapan? Kok, enggak ngabarin gue?” tanya Allan, meminta penjelasan.

Key melepas seragam suster yang tadi dipinjamnya kemudian duduk di kursi depan Allan. “Kemarin sore. Gue sengaja, mau bikin kejutan buat lo. Dan, berhasil!” pekiknya riang.

11.11 (Sebelas kembar) [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang