00.26

241 20 8
                                    

Esok harinya, tepat pukul 07.30 pagi, Allan akan di operasi.

Setyo, Mirna, Key, Danang, Linda, dan Anis-istri baru Danang, menunggu di luar. Para suster berada dalam kamar 1111 untuk membantu Allan bersiap sebelum di pindah ke ruang operasi.

Suara pintu dibuka bersamaan dengan brankar yang didorong mengalihkan perhatian enam orang di luar ruangan.

Key berlari mendekat, menghentikan suster yang mendorong brankar. Ia meminta waktu sebentar. “Lo jangan takut, ya. Enggak usah khawatirin gue. Enggak usah terlalu mikirin gue,” kata Key dengan suara bergetar. Mencoba meyakinkan diri sendiri dari perasaan yang sebenarnya.

Allan tersenyum, mengangguk. “Lo juga. Jangan khawatirin gue. Jangan takut kalau gue pergi. Gue bakal ada buat lo. Selalu. Di hati lo. Gue janji.”

“Permisi, Allan harus segera dibawa ke ruang operasi,” kata suster itu pada Key menggunakan bahasa inggris. Key mengangguk kemudian menepi memberi jalan.

Keenam orang itu langsung mengikuti sampai depan ruang operasi.

Allan di letakkan di atas mesin heart-lung untuk menjaga sirkulasi darah dalam tubuh. Operasi transplantasi jantung biasanya memakan waktu empat jam.

Dokter bedah memindahkan jantung, membiarkan pulmonary vein terbuka dan bagian belakang atrium tetap utuh.

Allan siap menerima jantung baru.

Sementara di luar, semua orang menunggu dengan cemas. Apalagi Key, dia berkali-kali memejamkan mata, merapal doa. Dalam setiap pejaman mata, semua kenangan bersama Allan terbayang jelas.

Senyumnya, tawanya, wajah ketakutannya. Key bisa melihat itu dalam pejaman matanya yang rapat.

Ingatannya kini sampai pada saat Allan tiba-tiba hampir jatuh dari kursi ketika memainkan piano dalam festival sekolah. Juga ingatan ketika Allan lemah saat Key mengajaknya ke taman rekreasi. Key jadi merasa takut.

Keningnya berkerut dalam, ujung matanya sudah menghangat, satu tetes air meluncur mulus dari mata kanannya.

“Key?” Danang menepuk bahu Key dari belakang.

Key membuka mata, terkejut bukan main. Dia langsung mengusap matanya dan menoleh ke belakang. “Ada apa, Pa?”

“Kamu makan dulu. Dari tadi pagi belum makan, kan?” kata Danang mengingatkan, mengelus kepala Key lembut.

Key tersenyum. “Key mau di sini aja. Key enggak lapar, kok, Pa.”

“Kamu makan dulu, gih! Nanti kalau kamu sakit, Allan pasti sedih.” Kini Setyo yang maju, membujuk.

“Tapi-,”

“Sayang, ayo Mama temenin kamu makan.” Linda dan Anis maju berbarengan. Keduanya merapat, menggandeng lengan Key.

Key menghela napas. Mau tidak mau menurut. Lagi pula jika dia terus di sini pasti akan cemas, akan memikirkan cowok itu. Operasi juga pasti dirasa akan semakin lama pula.

Mereka bertiga melangkah menuju kantin rumah sakit meninggalkan ruang operasi yang masih berjalan.

***

Seusai makan, Key buru-buru ingin kembali. Dia sampai berjalan cepat mendahului Linda dan Anis yang berjalan beriringan di belakangnya.

Langkah Key mendadak berat ketika melihat Mirna dirangkul Setyo, wanita itu menangsis tersedu. Setyo mengelus pundak Mirna, mencoba menenangkan walau dirintya juga sama kacaunya.

Tidak perlu di beri tahu, Key tahu persis situasi seperti ini. Gadis itu berdiri mematung, jantungnya berpacu dua kali lebih cepat. Dia memaksakan langkah yang terasa semakin berat. Perasaannya campur aduk. Atmosfer di sekitarnya terasa samakin sesak.

11.11 (Sebelas kembar) [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang