= Gengsi ; 02 =

289 22 3
                                    

—Na💛

...

"Ra? Oy, bangun! Rara!"

Rara menghembuskan nafas pelan, lantas kembali menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya bahkan wajahnya.

"Eh, Ra? Rara, bangun! Udah telat, nanti gue juga lambat ngampus nya!"

"Apasih, rese banget lo bang pagi-pagi gini." Sewot Rara dari dalam selimut.

Rama—abang Rara—mendelik. Kesal, Rama menarik paksa selimut Rara, lantas melemparnya.

"Ih, abang! Selimut gue kan mahal!" Gerutu Rara.

"Bangun, mandi, sarapan. Buruan, jam tujuh udah harus siap. Lewat dikit, abang tinggal." Ucap Rama datar.

Rara mendelik. "Abang gituan." Keluh Rara. Namun, gadis itu perlahan beringsut turun dari kasurnya.

Setelah bersiap-siap, akhirnya gadis cantik itu telah rapi mengenakan seragamnya. Rara segera turun ke bawah, menemui abang terlaknat nya itu.

Rama menoleh sekilas saat melihat Rara datang. Rama merunduk, melihat hape nya dengan seksama. "Udah siap lo?" Tanya Rama tanpa harus menatap Rara.

Rara tersenyum kesal. "Hm, udah. Ayo, katanya gak mau telat."

Saat mendengar itu, tentu saja emosi Rama sedikit tersentil. Tapi, sebagai abang yang baik, ia pun harus mencontohkan yang baik bagi sang adik.

Rama memasukkan hape nya ke saku celana, lalu menyambar kunci motor sekaligus jaket miliknya. Tanpa basa-basi cowok berwajah tampan itu melesat menuju halaman depan rumahnya.

Rara pun dengan segera mengikuti langkah kaki abangnya. Mereka tak perlu pamit dengan orang rumah, karena di dalam rumah hanya ada ia dan Rama. Kenapa? Karena, biasanya pagi-pagi sekali orangtua mereka sudah pergi bekerja di kantor kebanggaan mereka.

Rama menghidupkan mesin motor, lalu memberi isyarat pada Rara untuk naik. Rara pun segera naik, memakai helm, dan berpegangan erat pada sang abang.

Karena, Rama selalu ngebut jika bawa motor.

Suara motor mengaung kencang, lalu dengan cepat membelah jalanan yang sudah ramai dengan manusia berlalu-lalang.

🌻🌻🌻

"Loh? Nahkan! Bang, gue telat!"

Rama mengernyit bingung, menatap gerbang sekolah Rara yang sudah tertutup rapat. Ia melihat arloji nya, jam 07.40 rupanya.

"E– eh... maafin abang, ya."

Rara cemberut, ia sangat kesal pada sang abang. Siapa suruh tadi saat ingin berangkat, abangnya ini ingin sarapan dulu di warung dekat Algamart.

Menyebalkan.

"Jadi ini gue gimana? Ha?" Maki Rara.

"Ya udah sih mau gimana lagi? Panjat aja tu gerbang!" Balas Rama kesal.

Rara melirik gerbang sekolahnya. Tidak terlalu tinggi, jika ia memanjatnya mungkin juga tidak akan sulit. Lagian, penjaga gerbang juga tidak terlihat di pos nya. Mungkin sedang sarapan.

"Ya udah! Sana, lo pergi. Jauh-jauh dari gue!" Seru Rara kesal sambil melotot.

Rama berdecih. Ia segera menyalakan motornya, lalu pergi dari hadapan Rara.

Rara menghela nafas. Ia memperbaiki posisi tasnya, lalu segera bersiap untuk memanjat gerbang.

"Maafin Rara, ma. Rara panjat gerbang. Ini semua gara-gara Bang Rama yang ngeselinnya tingkat dewa."

Rara memanjat gerbang dengan cepat dan tangkas. Dulu, saat kecil gadis itu memang sering memanjat pohon rambutan depan rumah mereka.

Tapi... krek.

"Eh, suara apaan tuh?"

Rara menoleh ke bawah. Alangkah terkejutnya ia, saat melihat ternyata rok nya tersangkut!

Keringat dingin bercucuran. Jika ia terjun, bisa-bisa ia jatuh karena ia sudah sampai pada atas gerbang. Jika ia memaksa pun, roknya bisa robek dan kepalanya bisa cedera.

Rara segera menghadap depan. Gadis itu berpikir cepat. Lagi-lagi, ia menyalahkan Bang Rama. Jika ia tidak bisa turun dari sini, ia pastikan akan mengutuk Bang Rama menjadi sendal jepit nya.

"Ekhem."

Tubuh Rara menegang. Siapa itu? Jangan-jangan pak satpam yang sudah selesai sarapan? Atau... lebih parah lagi itu kepala sekolah? Yang baru saja datang karena ada tugas di luar? Atau guru killer mereka?

"Ekhem." Orang itu sekali lagi berdehem. Rara pelan-pelan menoleh, menatap sang empu suara.

Mata Rara membulat. Tunggu, ternyata itu bukan orang-orang yang tadi terbesit di kepala Rara. Itu... hei, Rara tidak mengenalnya.

"Ngapain lo di atas sana? Lama bener."

Rara mengernyit, menatap orang itu kesal.

"Lo gak liat rok gue nyangkut? Kalo gue turun nanti kepala gue cedera!"

Orang itu—lebih tepatnya cowok itu—menatap rok Rara yang tersangkut. Cowok itu tersenyum miring, lalu terkekeh. Membuat Rara makin naik darah.

"Ngapain lo ketawa? Bukannya nolongin, malah ketawa." Desis Rara kesal.

"Telat membawa azab lo itu mah." Ucapnya masih sambil tertawa.

Rara melotot. Siapa pula orang ini? Kenapa cowok ini sangat menyebalkan?

Cowok itu maju selangkah. Lalu tanpa basa-basi ia menarik rok Rara yang nyangkut.

Tapi, cowok itu menariknya dengan keras. Hingga membuat tubuh Rara hilang keseimbangan. Lalu...

Jatuh.

Tunggu, ia tidak kesakitan. Kepalanya pun tidak cedera.

Rara perlahan membuka mata. Pandangan yang pertama kali ia lihat adalah... wajah cowok itu.

Hei, ternyata dari dekat ia sangat tampan.

Rara mendelik, ia segera turun dari gendongan cowok itu. Wajahnya memerah, tapi sekuat mungkin ia tutupi.

Cowok itu tersenyum. "Jangan lama-lama di atas. Gue tadi gak sengaja liat yang 'ngga-ngga'."

Rara melotot. Lantas maju untuk menabok wajah cowok itu.

"DASAR MESUM!"

Cowok itu tertawa geli. "Becanda, jangan serius gitu dong. Kalo gue seriusin beneran, gimana?" Tanya cowok itu sambil menaik-turunkan alisnya.

"Sinting lo." Tanpa ba-bi-bu, Rara segera meninggalkan sekolahnya. Bodoamat, ia ingin bolos saja.

Cowok tadi menatap kepergian Rara. Ia tersenyum, lalu tersentak kaget saat tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya.

"Ngapain lo diem disini? Gak masuk kelas, Ga?"

Cowok itu sedikit kesal. Ia berjalan meninggalkan orang yang tadi menepuk pundaknya.

"Woy, Arga! Mau kemana?"

"Bolos."

"Sialan." Umpat orang itu.

Cowok itu—Arga—hanya tersenyum miring.

...

Iya tau kok, jelek.

"(NOT) ENDING apakabar, Na?"

Gak tau. Mungkin, Nana mau fokus ke "Gengsi" dulu?

Huhuhu, maafkeun Nana. Maaf ya yang udah nunggu-nunggu Keana ama Nathan :")

Arga ama Rara gak kalah seru kok! Baca aja!

Voment jan lupa :*

Oke, sekian.

—Na💛

GENGSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang