Seseorang menunggu Vanka di luar, siapalagi kalau bukan Revan. Aneh memang, seorang Revan yang dahulu pernah menyakiti Vanka kembali begitu saja. Apa maksud dari datangnya dia menemui Vanka lagi?
"Ma..."
"Ya?"
"Mama aku males sekolah, ah!"
"Eh, kenapa?! Masih sakit?! Yaudah, istirahat aja, gih." suruh Mama Celine takut kenapa-napa lagi.
"Bukan gitu, aku males aja berangkat sama Kak Revan." keluh Vanka sambil menjatuhkan bokongnya di sofa.
"Revan? Dia jemput kamu lagi?"
Vanka mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan Mama Celine. Dengan heboh Mama Celine berlari dan membuka korden sedikit, memang benar di luar ada Revan yang sedang menunggu.
"Jadi mau gimana?" tanya Mama Celine.
"Bilangin aja aku udah berangkat dari tadi aja." Vanka memasang wajah sumringah karena memiliki rencana yang bagus.
"Gimana caranya?!"
"Mama..."
"Kenapa perasaan Mama gak enak, ya?"
"Keluar ya, Mama ngomong kedia kalo Vanka udah duluan." Vanka mengelus-elus tangan Mama Celine menggoda.
"Kalo bukan anak udah di jemur kamu, ya!"
"Mama sayang..."
"Iya, iya oke!"
"Yes!"
Sementara Mama Celine pergi menemui Revan, Vanka memasang senyuman bahagia sekali. Dia tidak akan di ajak bicara lagi oleh Revan. Omong kosong yang selalu keluar dari mulut Revan membuat Vanka enggan berada di tempat yang sama dengannya lagi.
***
Vanka berhenti melangkahkan kakinya, dia melihat Aksa dan Serli datang di waktu yang sama. Tidak, bukan hanya waktu yang sama, tapi mereka datang berboncengan. Pemandangan kurang baik sekali, membuat Vanka semakin malas sekolah.
Serli tak sengaja melihat Vanka, dan dengan sengaja dia merangkul pundak Aksa yang tinggi itu. Aksa menoleh kebingungan, namun secara tiba-tiba saja Serli berjinjit dan mencium bibir Aksa sekilas.
Vanka menghembuskan napas kasar, lalu dia berlalu meninggalkan area panas tersebut. Memang sudah jadi mantan, tapi Vanka belum bisa melupakan Aksa sekarang, atau bahkan akan kesulitan melupakannya.
Perasaan sakit hati berubah menjadi kebahagiaan saat melihat Salsa kembali ke sekolah. Vanka berlari cepat, dia merentangkan kedua tangan siap memeluk sahabat yang baru bertemu lagi. Semua memandang Vanka dan Salsa, saat mereka hampir berpelukan, Salsa menahan dengan menaruh kedua telapak tangan pada pundak Vanka.
"Gak usah sok perduli, oke."
Setelah kalimat menyakitkan itu, Salsa meninggalkan Vanka dengan sejuta luka. Maksud Salsa itu apa, sih? Vanka itu memang perduli padanya, tapi kenapa semua keperdulian yang diluapkan itu terlihat salah di mata Salsa.
"Vanka?"
Vanka tersenyum manis sampai kedua bola matanya hilang. Seseorang yang sedang berdiri di depan Vanka hanya mengernyit keheranan.
"Kamu sehat?"
"Eh!"
"Katanya kemarin kamu pingsan, maaf aku gak jenguk ke rumah." ucap cowok yang diketahui adalah Radit.
Vanka membatu, dia menatap manik Radit yang cemas. "Hah?!"
Radit meraih puncak kepala Vanka, "Kita ke lapangan bareng, yuk! Kebetulan aku lagi gak ada temen."
Vanka tidak bisa menolak saat tangannya di tarik begitu saja. Vanka dan Radit keluar dari kelas, di sana Salsa berdiri, dia menatap genggaman Radit terhadap Vanka, senyuman hambar dia perlihatkan sebagai tanda bahwa dia semakin muak dengan Vanka.
***
Radit datang dengan membawa sebotol minuman, lalu Vanka menerimanya dan meneguknya. Dia menatap cara Vanka meneguk minuman dengan perlahan seolah dia sedang melakukan syuting sebuah iklan. Dia terkekeh gemas melihat keringat jatuh dari leher Vanka.
"Kamu sehat, 'kan?" tanya Radit sambil menarik botol itu dan meneguk minuman sisa Vanka.
"Eh!"
"Kitakan udah kenal lama, jadi gak usah ragu." Radit menutup botol itu dan mengembalikannya kepada Vanka. "Masa lagi diem sampe keringetan, sih?!" Radit mengelap leher Vanka dengan lengannya.
Vanka benar-benar dibuat mabuk kepayang dengan ulah Radit. Mereka memang sudah saling mengenal, tapi kali ini Vanka merasa Radit seperti orang asing yang baru tiba dan berkenalan dengannya. Ya, Vanka merasa semua ini berbeda dari yang dulu-dulu.
"Kalo kamu laper ngomong aja, ya. Nanti kita ngantin aja." Radit berucap dengan nada lemah lembut sekali.
*Dukh
Radit mengaduh saat kepalanya di hantam bola futsal. Bukan dari arah pemain, tapi dari belakang mereka. Radit dan Vanka kompak menoleh, di belakang mereka ada seseorang yang sedang berdiri dengan wajah sangarnya."Aksa lo kok—"
"Cih, penghianat!" potong cowok yang ternyata adalah Aksa itu.
Radit beranjak, "K-kenapa emang?"
"Katanya lo gak suka sama Vanka, tapi apa ini?! Laknat!" Aksa tersenyum miring pertanda dia tidak terima dengan kebersamaan mereka.
"Gue bisa jelasin, Sa."
"Gak ada yang perlu lo jelasin, semua udah jelas!" Aksa mengepalkan tangannya. "Jadi dia alasan kenapa lo mutusin gue, iya?!" tanya Aksa kepada Vanka.
"Kak..."
"Gue tarik omongan gue yang kemarin! Dasar cewek murahan!" caci Aksa tanpa merasa takut akan terjadi hal yang lebih buruk.
Vanka mengepalkan kedua tangannya marah. Namun, amarahnya ia tahan, mengingat saat ini dia sedang berada di keramaian. Malu, nanti dia akan di cap semakin buruk oleh orang lain.
"Gue pikir kita bisa balikan, tapi setelah ngeliat semua ini, kayaknya enggak mungkin." setelah itu, Aksa pergi meninggalkan tempat tersebut.
"Kak!" Vanka menahan lengan Radit yang hendak pergi mengejar Aksa. Vanka menggeleng, lalu mengajak Radit untuk duduk kembali.
"Vanka..."
Vanka lagi-lagi menggeleng, memberikan kode agar tetap diam saja disini. Semoga tidak ada niatan untuk menjadikan Radit sebagai pelarian. Semoga Vanka bisa sadar, bahwa mencari pelarian hanya akan menambah masalah dalam hidupnya.
***
Aksa kembali ke permainan, kelasnya menang kemarin, jadi dia harus berjuang untuk kedepannya. Semua orang berteriak menyemangati, namun Aksa hanya memasang wajah datar dan kejam. Saat menatap bola, Aksa seperti ingin membunuh bola itu.
Permainan di mulai, Aksa terus menerus melakukan pelanggaran. Dia membuat pemain lawan banyak yang berjatuhan, hingga akhirnya dia dikenai kartu merah oleh wasit. Aksa keluar dari lapangan dengan wajah marah, sepertinya dia merasa bahwa Radit memang berhianat padanya.
"Kak Aksa!"
Radit meminta Vanka untuk diam saja disini, namun saat Radit pergi dia juga ikut pergi. Vanka bertemu dengan Serli yang juga hendak mengejar Aksa, dia ditahan dengan cengkraman kuat yang menyakitkan dari Serli.
"Lo paham gak, sih?!" tanya Serli sambil memutar lengan Vanka.
"Aakkkhhhh, sakit Kak!" ringis Vanka, dan dengan segera Serli melepaskan tangannya.
"Jangan pernah temui Aksa, paham!!" Serli menunjuk dan mendorong dada Vanka dengan kasar.
Vanka hanya menatap kepergian Serli, dia tidak bisa mengejar Aksa hanya untuk memberi sebuah ketenangan. Dia seharusnya sadar, bahwa saat ini dia dan Aksa sudah tidak memiliki hubungan apapun. Mereka memang pernah bersama, tapi itu sudah lama berlalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aksa
Dla nastolatków[COMPLETED] "Gue suka sama lo!" Sebenernya kalimat itu biasa. Cuma, yang ngomongnya itu lho yang luar biasa. @lindaaprillianti Dilarang meng-coppy,men-copas atau men-jiplak