Tidak Ada Kalimat Dari Aksa

2K 95 7
                                    

Percaya tidak percaya, tapi hubungan Vanka dan Aksa benar-benar renggang selama satu minggu ini. Dia benar-benar meninggalkan banyak kenangan yang sulit untuk Vanka lupakan. Meskipun hubungan hanya beberapa bulan, tetap saja Vanka merasa lebih nyaman saat bersama Aksa. Intinya begini, Vanka berada di ambang lagi sayang-sayangnya.

"Kamu sering telat masuk sekolah!"

Vanka terhenyak saat beberapa kertas undangan meluncur dan jatuh tepat di atas meja belajarnya. Dia menoleh, mendapati ibu muda sedang hamil tua, pandangan matanya meneduh, benar-benar membuat iba siapapun yang melihatnya.

"Ada apa, Ma?" tanya Vanka, Mama Celine menggeleng tak habis pikir.

"Mama dapet banyak surat dari sekolah, dan kamu gak pernah ngasih itu ke Mama?" tanya Mama Celine di akhir kalimatnya.

"Mama, aku—"

"Kamu sembunyiin surat kamu di tas milik kamu! Jangan pernah bohongin, Mama, Van!" terdengar jelas bahwa Mama Celine kecewa padanya.

Vanka meraih tangan Mama Celine, "Ma..."

"Mama gak mau ini terjadi lagi, ya. Pokoknya kalo sampe ada surat yang ke sini, Mama bakalan hukum kamu."

"Tapi, Ma..."

Mama Celine menghela napas berat, agaknya dia harus intropeksi, lebih baik duduk karena keadaanya sekarang sedang hamil tua, tidak bisa berdiri terlalu lama. Vanka menatap Mama Celine yang berjalan dengan susah payah menuju ke ranjang tunggalnya.

"Ma..."

Mama Celine yang baru duduk itu mengelap keringat di keningnya. Vanka berjalan menghampiri, duduk di sampingnya lalu memeluk Mama Celine dengan perasaan hancur. Baru kali ini Vanka merasa hancur, dia di tinggal saat sedang sayang-sayangnya.

"Kamu kenapa, sih? Ada masalah ya sama, Aksa?" tanya Mama Celine dengan lemah lembut.

"Mama jangan marah, yah..." mohon Vanka sambil mengusap-usap perut buncit Mama Celine.

"Aksa sakitin kamu? Anter Mama ke rumahnya sekarang, biar Mama yang marahin dia balik!" kata Mama Celine dengan yakin.

"Bukan gitu..."

"Terus?"

"Kak Aksa jarang hubungin Vanka, Ma."

"Gak ada telepon masuk dari dia!"

"Chat gak ada."

"Aku terus hubungin dia, tapi gak pernah di angkat atau di bales."

"Dia gak pernah jemput Vanka lagi, jadi Vanka suka nunggu dia sampe kesiangan."

"Dia juga gak dateng ke sekolah, Vanka jarang liat, tuh Kak Aksa berkeliaran di sekolah."

Mama Celine yang sedari tadi menyimak kisah putrinya mengangguk paham. Masalah anak muda pernah ia lalui, bahkan sekarang ia masih muda. Jadi, Vanka tenang saja, ada Mama Celine yang baik hati di sini.

"Coba, biar Mama yang hubungin dia." ucap Mama Celine, ia mengeluarkan benda pipih dari sakunya.

"Percuma!"

"Coba aja, dulu..."

Vanka menatap Mama Celine yang sedang sibuk menunggu jawaban dari seseorang yang ia hubungi. Detik berikutnya, Mama Celine menurunkan ponselnya dan menggeleng dengan wajah kecewanya.

"Kan!"

"Mungkin Aksa lagi di Jepang! Dia itukan mau bangun apartemen di sana." Mama Celine mencoba menjadi jalan keluar.

"Kenapa gak minta izin dulu sama, Vanka?! Atau kalo enggak bilang, pamit dulu sama pacarnya!" oceh Vanka.

Mama Celine menghela napas berat, "Apa jangan-jangan dia udah pindah ke Jepang, ya?"

"Mama!!!"

***

Saat ini Aksa sedang duduk dengan wajah yang sangat tegas, membuat siapapun tidak akan berani melihat wajahnya. Rahangnya mengeras, dia yang mengenakan pakaian santai terlihat ingin membunuh siapapun yang berani mengganggunya.

"Sayang, kamu belum makan, 'kan?! Ayo kita keluar!"

Aksa tidak menoleh, masih fokus menatap ke jendela kamarnya. Benar-benar!

"Ayo, Dinda udah nunggu, tuh di bawah!" sepertinya itu Mama Key yang bicara.

Aksa masih diam, enggan merespon sang ibu.

"Aksa..."

Cowok itu dengan sigap berdiri, berjalan angkuh melalui ibunya begitu saja. Paham akan sikapnya, Mama Key menggeleng sambil menyilangkan kedua tangan di bawah dada.

"Dasar!"

Mama Key mengikuti kepergian Aksa, lalu menangkap pemandangan indah saat Dinda menyambut Aksa dengan penuh kasih sayang. Mama Key langsung saja bergabung, duduk di dekat kursi milik Papa Ken.

"Kita nonton lagi, yuk!" ajak Dinda sambil bergelayut manja di lengan Aksa.

Aksa hanya diam, seperti tidak minat dengan dunianya sekarang. Alvaro pun sama, dia terlihat jijik saat melihat Dinda bergelayut manja di lengan abangnya.

"Heh, lo gak usah kayak gitu, ya!" seru Alvaro dengan nada menantang. "Abang gue keganggu, tuh!" sambungnya.

Dinda terkejut, dia langsung melepaskan tanganya dari lengan Aksa. Dia tersenyum kikuk, namun yang mendapat tatapan tajam adalah Alvaro. Tentunya tatapan tajam dari Mama Key.

"Kenyang!!!" teriak Alvaro sambil mengelus perutnya lalu pergi.

"Sama." kata Aksa, ia pun meninggalikan meja makan dengan begitu saja.

"Aksa!!!"

"Kejar sana, dia itukan sekarang tunangan kamu!"

"Iya, makasih Ma..."

***

Vanka masih setia menunggu seseorang menghubunginya. Tidak masalah jika itu sebuah pesan singkat sekalipun, asalkan ada kabar agar Vanka tidak terlalu terbebani seperti ini. Melamun tak tentu.

"Hmmmm, gue denger Kak Aksa jarang masuk sekolah, ya?" tanya Salsa pada Vanka yang sedang melamun.

"Mungkin Kak Aksa nyadar, deh. Dia itukan perusak hubungan gue sama Kak Reno!" celetuk Vivi.

"Eh, jangan ngaco!!"

"Sumpah, Kak Aksa itu kecentilan tau kalo sama Kak Reno!"

Kania dan Salsa tertawa karena merasa lelucon dari Vivi adalah penghibur. Tapi, Vanka sama sekali tak minat untuk tertawa, jangankan tertawa, tersenyum tipis saja dia seperti enggan.

"Vanka!"

"Hmmmm?"

"Lo gak usah gitu, deh! Nanti juga Kak Aksa hubungin lo, kok!" Kania menepuk bahu Vanka.

"Iya, lagian dia itukan gak bakalan selingkuh!" kata Salsa meyakinkan.

"Selingkuh sih enggak, tapi kalo deket sama cewek banyak iya!" celetuk Vivi yang berhasil mendapat hadiah jitakan dari Salsa dan Kania. "Sakit!!!"

"Udahlah, Van..." Kania mengusap-usap bahu Vanka. "Kak Aksa bakalan balik ke lo, dia gak mungkin bisa jauh-jauh dari lo!"

Vanka menggembungkan pipinya, "Gue gak ngerti kenapa gue harus sesayang ini sama dia."

"Kak Aksa itu ibarat sebuah cahaya yang masuk ke celah-celah perasaan gue."

"Dia merubah hitam putih menjadi warna-warni."

"Dunia dia menarik!"

"Gue bener-bener tak paham lagi dengan jalan ini. Dia hilang saat gue sayang-sayangnya sama dia."

Ketiga sahabat Vanka memeluk Vanka, mereka sepertinya tidak tega melihat air mata keluar begitu saja dari sudut mata Vanka.

"Gak usah nangislah, kitakan ada di sini!" kata Salsa membujuk.

"Benar, kita di sini itukan niatnya mau makan-makan!" timpal Vivi sambil melirik jam tangan yang melingkar di lenganya. "Tunggu, beberapa menit lagi pizza akan datang." sambungnya.

"Mesen pizza lo? Yang bayar siapa?!" tanya Salsa sambil menarik paksa lengan Vivi.

"Mama Celine." jawab Vivi dengan cengiran tak berdosanya.

AksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang