Bucin itu menyiksa, tapi menyenangkan.
▫️▫️▫️
Sepanjang perjalanan menuju jalan pulang, tidak ada di antara keduanya yang memulai membuka suara sehingga hening menyelimuti. Bahkan Seokjin tidak memutar musik di tap untuk menghidupkan suasana agar sedikit lebih hidup. Keduanya fokus pada pikiran masing-masing dan masih enggan untuk saling berbicara. Seokjin yang fokus menatap ke depan, menyetir dengan baik. Sementara Jisoo hanya terdiam, menyandarkan tubuhnya ke sandaran jok seraya menatap ke sebelah kirinya.
Sungguh, Jisoo ingin cepat-cepat sampai ke rumahnya, masih terlalu memuakan berlama-lama di dekat Seokjin, apalagi dalam suasana seperti ini. Namun perjalanan terasa sangat jauh di saat seperti ini, padahal lokasi area balapan tadi tidak terlalu jauh dari rumahnya. Menyebalkan sekali rasanya harus terjebak di suasana tidak nyaman seperti ini. Lebih menyebalkannya lagi karena dirinya terjebak bersama Seokjin.
Dan apa katanya tadi? Hubungan mereka tidak akan pernah putus sebelum Seokjin sendiri yang mengakhirinya, melepaskannya. Maksudnya apa? Egois sekali.
Tapi Jisoo juga tidak ingin munafik kalau dirinya memang masih menginginkan Seokjin. Sekesal, semarah dan sekecewa apapun dirinya, hatinya masih menginginkan Seokjin. Pikirannya masih di penuhi oleh Seokjin, Seokjin dan Seokjin. Bahkan mungkin ketika misalnya dirinya mendua pun, hati dan pikirannya hanya akan untuk si sialan Seokjin.
Tepat saat mobil Seokjin berhenti karena lampu merah, sebuah tangan menyentuh tangan Jisoo dan membawanya. Jisoo tentu terkejut karena hal itu. Kini, lelaki itu memegang sepenuhnya sebelah tangan Jisoo seraya memerika keadaan tangannya.
"Masih sakit?" tanya Seokjin yang sekarang menatap Jisoo, namun sama sekali tidak melepaskan tangannya. Bahkan kini mengusapnya dengan gerakan cukup lembut, membuat pergelangan tangan Jisoo merasa lebih baik.
"Dikit." jawab Jisoo singkat tanpa melirik Seokjin sedikitpun. Lalu ia menarik tangannya hingga terlepas dari genggaman Seokjin.
Seokjin yang mendapat respon seperti itu dari Jisoo hanya bisa menghela nafas pelan dan kembali pada kemudinya karena lampu lalu lintas sudah berubah menjadi hijau. Selama menyetir, Seokjin sesekali melirik Jisoo dengan sudut matanya. Jisoo tampak enggan meliriknya, bahkan sedikitpun.
Baiklah, Jisoo masih marah padanya. Dan payahnya Seokjin merasa tak mampu untuk meredakannya.
Seokjin menginjak pedal rem ketika sampai di depan pagar rumah Jisoo. Alih-alih turun dari mobil dan segera masuk ke dalam rumah, Jisoo malah terdiam seolah memikirkan sesuatu. Hal itu membuat Seokjin menolehkan kepalanya sepenuhnya pada Jisoo yang tampak ragu untuk turun dari mobilnya.
Hendak bertanya, tetapi suara decakan kesal Jisoo lebih dulu terdengar. "Bawa aku balik lagi ke tempat tadi."
Seokjin menghela nafas. "Ji, buat apasih nonton hal yang begituan? Apa faedahnya?"
Jisoo berdecak. "Aku gak mau pulang ke rumah, aku mau nginep di rumahnya Jennie. Ngerti gak sih?"
Lagi-lagi Seokjin menghela nafas. Jika Jisoo tidak ingin pulang atau tidak ingin berada dirumahnya, berarti ada suatu masalah di keluarganya. Hal ini kerap terjadi, Jisoo memang tidak pernah betah berada di rumahnya. Gadis itu juga pernah beberapa kali datang tiba-tiba kerumahnya, saat malam atau siang hari sambil sesekali dalam keadaan menangis dan terkadang juga dalam keadaan marah-marah. Lalu berakhir dirinya yang mengantar Jisoo kerumah Jennie untuk menginap.
"Kita udah terlanjur disini, Ji. Lebih baik kamu pulang aja kerumah."
"Aku bilang aku gak mau pulang ke rumah! Kamu gak ngerti bahasa manusia?" balas Jisoo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bitterlove
Fanfiction[COMPLETED] "Love is everything, but game is more than anything." "Yaudah. Aku sadar diri kok, aku gak kalah penting dari game!" (17+) Bangtan lokal!au Copyright © 2019 by carameluv