Starving

1.8K 89 4
                                    

2004

Ziandra

Pagi ini aku bangun agak terlambat karena tadi malam mengerjakan tugas fisika-ku sendiri dan tentunya tugas karangan bahasa Indonesia-nya Gerald. Seperti biasanya, aku utamakan dulu pekerjaan dan tanggung jawabku di rumah sampai semuanya beres. Sampai nanti adik-adikku sudah rapi dan bisa sarapan dengan papa.
Aku hanya sempat meminum kopi dan memakan cookie sambil menyiapkan sarapan untuk papa dan adik-adikku. Ah, semoga aku nanti tidak terlambat.

Di sekolah:
Untung saja aku datang tepat waktu meskipun akhirnya aku berkeringat dan panas. Dika melihatku dengan heran. "Lari-lari ke sekolah ya?", tanyanya. Aku hanya senyum dan mengangguk. Ya Allah!! Tugas karangan bahasa Indonesia Gerald. Aku belum memberikannya ke anak itu. Aku tidak tahu di kelasnya jam ke berapa pelajaran bahasa Indonesia. Apa mungkin aku harus antar buku latihan ini ke kelas 1(6) ya?? Aku paling malas pergi ke kelas lain. Aku merasa seperti dilihatin dan dipandang aneh sama semua orang. Tapi kalau aku tidak antar buku ini bagaimana nanti Gerald kalau tidak mengumpulkan tugasnya?? Ah, ya sudah. Aku harus kumpulkan keberanian untuk ke kelas 1(6). Itu berarti aku harus lewati kelas 1(2), 1(3), 1(4), & 1(5)?? Baru saja bell masuk pasti semua orang juga ada di depan kelas mereka menunggu gurunya masuk. Belum selesai aku bernegosiasi dengan mentalku sendiri, sudah terdengar guru mengucapkan salam untuk masuk ke kelas kami. OK lah, aku harus ikuti pelajaran pertama dulu. Mungkin nanti di menit ke 45 aku minta izin untuk mengantar buku ke kelas lain. Di tengah pelajaran aku memandang ke luar pintu, aku masih berpikir tentang tugas bahasa Indonesia Gerald. Ah, kalau memang dia butuh untuk mengumpulkan tugasnya pasti dia menjemputnya ke kelasku, pikirku. Pelajaran pun berakhir dan guru keluar kelas kami. Pergantian pelajaran dimanfaatkan oleh anak-anak lain untuk pergi ke toilet, ada yang sengaja membeli permen, minuman, dan kue ke kantin. Ada juga yang tetap di kelas seperti aku. Akhirnya aku melihat Gerald di luar kelas. Aku segera mengambil buku latihannya dan berlari ke luar kelas. Sepertinya dia ke arah kantin. Aku mengerjarnya. Saat sudah dekat aku menepukkan buku itu ke punggungnya. Dia menoleh ke belakang. Aku menyodorkan bukunya, dia mengambilnya dan tanpa bicara aku langsung balik kanan dan berlari kembali ke kelasku. Selain aku tidak mau kalau nanti orang-orang melihatku aneh di sini, aku juga tidak mau orang-orang tahu kalau aku dan Gerald saling kenal. Karena memang sebenarnya kami tidak kenal. Aku cuma membantunya, membantu sekolah, miris sekali.
Saat jam istirahat aku hanya di dalam kelas. Aku lupa membawa uang, jadi aku tidak bisa membeli makanan atau sekedar minuman di kantin. Oh, tunggu, aku jarang sekali ke kantin. Aku lebih sering ke koperasi siswa sekolah (Kopsis). Membeli makanan dan minuman pun aku selalu ke kopsis. Selain di sana siswa lebih sedikit, aku juga agak merasa lebih nyaman karena justru guru-guru yang lebih sering banyak di sana. Karena itulah mungkin siswa segan dan malas untuk belanja di kopsis karena ya tahu sendiri siswa-siswi di sekolah ini banyak sekali yang melakukan pelanggaran peraturan. Mereka tidak ingin pelanggarannya teridentifikasi oleh guru. Di kantin mungkin guru akan sangat mudah menangkap siswa-siswa yang sudah sangat kelewatan. Seperti siswa yang berseragam terlalu ketat, siswa yang mewarnai rambut, siswa yang membaca komik, siswa yang membawa alat-alat music, siswa yang memakai sepatu sport dengan warna-warni yang sangat mencolok. Di kantin bahkan semua siswa duduk berkelompok bersama koloni-koloni mereka yang sejenis. Sejak terakhir kali aku membeli minuman di kantin, aku merasa bukan tempatku untuk berada di sana. Itu seperti club malam yang tidak akan pernah aku masuki.
Perutku berbunyi tanda aku kelaparan. Aku merebahkan kepalaku ke meja dengan beralaskan topi seragamku, sementara tanganku memeluk perutku sendiri. Aku tahan saja, pikirku. Lagipula tinggal 4 jam lagi aku akan pulang. Aku memutuskan tidak ikut lesson materi pengayaan hari ini.
Sekolah pun selesai, aku berjalan pulang dengan lemas karena sama sekali aku belum makan dari pagi. Aku juga lupa membawa botol air minum. Ah, semoga aja cepat sampai rumah. Tapi baru aku berjalan sekitar 2 km, suara motor tiba-tiba mendekatiku dan berhenti di sampingku. Pengendaranya memakai jacket warna merah, memakai helmet, dan memakai celana panjang seragam SMA. Setelah ia membukakan kaca helmetnya, aku mengenalinya. "Ayo naik, aku punya tugas bahasa Indonesia lagi. Nanti aku antar kamu pulang", ujarnya.
Sampai di rumahnya aku duduk di kursi tamu.

"Mana tugasnya? Aku langsung kerjakan langsung sekarang ya. Setelah itu antar aku pulang, tolong cepat ya", pintaku.

"OK, o ya, karangan deskripsi yang kemarin aku dapat nilai 100. Teman-teman di kelas banyak yang disuruh ulang lagi. Ada juga yang dapat nilai 70, 80. Sekarang disuruh lanjut lagi membuat karangan persuasif", jawabnya.

Kenapa sih di kelas dia selalu harus ada tugas yang dibawa pulang atau PR?? Mungkin karena guru nyuruh anak-anak di kelasnya untuk belajar di rumah ya? Di kelasku jarang sekali guru memberi tugas. Kalaupun ada tugas, sebanyak apapun tugasnya selalu kami selesaikan di saat jam pelajaran. Kalau tidak cukup waktu lagi, baru kami bawa pulang. Ah, sudahlah. Membuat persuasif sih bagiku gampang. Untung saja karangannya cepat selesai, mataku udah mulai berkunang-kunang, perutku perih, & tanganku sudah gemetaran. Gerald akan mengantarku pulang, waktu dia sudah siap dan aku akan berdiri semuanya gelap, badanku ringan sekali. Aku tidak bisa mengingat dan berpikir apapun. Aku pingsan.

Gerald

Ziandra pingsan?? Bagaimana ini?? Aduh... Ini pasti akan jadi masalah besar. Apa yang harus aku katakan ke orang tuanya nanti?? Bagaimana nanti kalau sampai orang tuanya dan keluarganya yang lain menuntutku yang macam-macam? Tidak, tidak! Anak ini baik sekali, pasti orang tuanya juga baik. Aku telepon papa saja.

"Halo, pa. Maaf mengganggu. Pa, gwa bawa teman tadi ke rumah kita. Sekarang dia pingsan nggak tau kenapa. Gwa harus gimana pa?", tanyaku panik.

"Teman kamu siapa? Apa papa kenal keluarganya? Ya sudah kamu telepon dokter Pendy saja, suruh datang rumah untuk periksa teman kamu itu. Nanti kalau sudah selesai telepon papa lagi", jawab papaku tenang.

"Ya pa, ini teman gwa yang di sekolah baru. Namanya Ziandra, ini yang kepala sekolah pilih untuk ajar gwa pelajaran sekolah. Papa tak kenal dengan keluarganya. Gwa telepon dokter Pendy dulu pa", aku mengakhiri telepon.

Beberapa menit kemudian setelah aku telepon, dokter Pendy datang. Dia langsung memeriksa Ziandra & memberi satu suntikan di urat tangannya. Katanya itu semacam vitamin. Apa dia kurang vitamin ya? Kasihan sekali dia, pikirku.

"Teman kamu lemah sekali, berkeringat dingin di seluruh tubuhnya. Sepertinya tadi sebelum pingsan ia menggigil. Bisa jadi dia kelelahan atau sakit maag. Dia harus istirahat, kalau bisa sebaiknya di dalam kamar yang nyaman dan hangat. Tadi saya sudah kasih suntikan vitamin untuk tubuhnya. Nanti dia akan sadar, kalau dia sadar segera suruh dia makan. Ini ada resep obat yang bisa kamu beli di apotek. Hanya beberapa pill semacam obat maag, multivitamin, & nutrisi untuk tubuh. Tidak ada yang mengkhawatirkan. Kalau kondisi kesehatannya memburuk suruh dia periksa ke rumah sakit ya". Itu tadi penjelasan dari dokter Pendy.

Dokter Pendy pun pulang setelah sebelumnya berbicara dengan papa di telepon. Aku segera menghampiri Ziandra yang masih belum sadarkan diri di sofa. Dia harus tidur di kamar yang nyaman. Aku pindahkan saja dia. Aku rengkuh pinggang dan lehernya. Ternyata anak ini ringan sekali. Aku merasa seperti menggendong anak kecil, anak kelas 2 SMP, padahal dia sebaya denganku. Aku berjalan hati-hati, aku tidak mau kepalanya sampai terbentur sesuatu. Aku lihat wajahnya yang terlihat lelah dan lemas. Dia terlihat sangat rapuh dengan tubuh mungilnya ini. Sekali angkat saja siapapun bisa mengangkatnya. Lama-lama aku melihat wajahnya lucu juga, seandainya aku punya adik pasti aku akan menggendongya seperti ini setiap hari kalau dia ketiduran di sofa atau di lantai depan TV. Aku memutuskan untuk menidurkannya di kamarku saja. Setelah sampai di kamarku, aku rebahkan dia di kasurku. Aku nyalakan AC dan kuatur temperatur 23°C saja mungkin sudah cukup, dia sedang sakit, tidak perlu terlalu dingin. Lalu aku tutupi tubuhnya dengan selimut mulai dari kaki sampai ke lehernya. Aku akan membeli obat ke apotek, aku rasa cukup aman meninggalkannya di kamarku. Sebentar saja dan aku akan kembali.

The Perfect 30 (Match)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang