Brown Eyes

4.1K 173 3
                                    

July 2003

Sudah dua minggu ini sekolah berjalan seperti biasanya. Bell mulai masuk sekolah jam 7:00 pagi, break time jam 10:00 dan pada saat azan shalat Zuhur bagi siswa-siswi yang beragama Islam diwajibkan untuk shalat Zuhur berjamaah di masjid Sekolah. Sedangkan bagi siswa-siswi non Islam diizinkan untuk tetap berada di dalam kelas, boleh juga di kantin, di koperasi, perpustakaan, maupun refresh di taman sekolah. Untuk kelas excellent, waktu di sekolah lebih lama dari kelas-kelas paralel. Setelah proses belajar berakhir pada pukul 2 sore, mereka harus kembali belajar lagi untuk program pengayaan mata pelajaran exact dan bahasa Inggris hingga pukul 6 sore. Oleh karena itu siswa-siswa kelas excellent dari kelas 1, 2, dan 3 semuanya stay di sekolah dari pagi hingga sore karena tidak ada waktu untuk pulang. Mereka makan siang di kantin-kantin sekolah, ada juga yang membawa bekal dari rumah, seperti Ziandra.

Ziandra menjalani hari-harinya di sekolah dengan biasa-biasa saja. Datang ke sekolah, belajar, mengerjakan tugas, dan pulang. Sementara pada jam istirahat dia lebih sering berada di kelas karena Andika sudah jarang mengajaknya bareng ke kantin. Andika sudah menemukan teman-teman yang lebih cocok dengannya untuk jalan keluar kelas. Andika menjadi lebih ekspresif dan tidak pendiam saat bersama teman-temannya.

Pagi ini seperti biasanya seluruh siswa melaksanakan apel pagi di lapangan central. Ziandra berdiri di barisan belakang. Ya, untuk baris-berbaris bagi siswa yang pendek pasti tempatnya di barisan paling belakang. Saat guru piket sudah memberikan wejangan (nasihat) di depan barisan, tiba-tiba seorang siswa dengan nafas tersengal berhenti berlari dan langsung menempatkan diri di barisan kelas excellent. Tanpa rasa bersalah ia langsung menegakkan badannya pada posisi siap dan menoleh ke sebelahnya. Ziandra heran, bagaimana siswa yang tak diundang ini seenaknya masuk ke barisan kelasnya. Siswa itu melihat Ziandra sambil membelalakkan matanya, tapi kemudian tersenyum memamerkan barisan giginya yang rapi. Ziandra tersenyum melihat kelakuan anak itu sambil menatap matanya yang berwarna coklat. Kesan pertama yang terekam oleh memory Ziandra tentang anak ini adalah matanya yang sipit, hidungnya mancung, bibirnya tipis, kulitnya putih bersih, dan rambutnya lurus kaku kemerahan.

Ziandra
Apel pagi seperti biasanya pagi ini, aku bosan sekali mendengarkan podato bapak guru yang sedang bertugas menyampaikan amanat di depan. Seperti biasanya juga, aku berdiri di barisan paling belakang. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh siswa yang tidak aku kenal. Dia terengah-engah dan langsung berdiri di sebelahku. Aku belum pernah melihat siswa ini di sekitar kelas 1. Lagipula dari kenampakan fisiologi dan morfologi memang dia berbeda dari seluruh siswa yang ada di sekolah ini. Mungkin siswa ini tersesat, pikirku. Aku masih menoleh ke kanan memperhatikannya dengan kepalaku menengadah karna memang tinggiku tidak seberapa, apalagi dibandingkan dengan anak ini. Dia tinggi sekali. Dia menoleh ke arahku, dengan menundukkan wajahnya melihatku tentunya. Dia membelalakkan mata dan tersenyum sebentar, setelah itu dia kembali menatap ke depan. Belum pernah ada siswa yang melakukan itu padaku. Akupun sadar kalau sekarang sedang apel pagi, aku harus menghadap ke depan juga mendengarkan amanat dari guru yang bertugas. Sekali lagi pikiranku tertuju pada anak ini, bagaimana bisa seorang siswa keturunan Chinese tersesat di sekolah negeri seperti ini? Matanya sipit, hidungnya mancung, mulutnya kecil, rambutnya lurus kaku, ditambah lagi badannya yang tinggi. Kalau dia sekolah di sini pasti banyak siswi yang cari perhatian. Satu lagi, kenapa siswa ini seenaknya saja berbaris di kelasku? Tidak memakai topi lagi. Bikin rusak pemandangan barisan kelasku saja. Dasar tidak tahu aturan. Aku melirik lagi ke sebelah kanan, tepatnya ke arah siswa itu. Di lengannya sebelah kiri seragam SMA-nya aku melihat lambang gambar bunga teratai hijau dengan air biru di bawah teratai itu. Sebentar, itu kan lambang dari salah satu sekolah swasta di kota ini? Ya, itu lambang Sekolah Bhakti Semesta Maitreya. Oh, kenapa anak ini nyasar di sini? Ya sudahlah, aku tidak ambil pusing. Itu juga tidak penting bagiku. Mungkin dia pernah sekolah di sana dan pagi ini kebetulan seragamnya masih basah, jadi dia memakai seragam ini. Yang penting bagiku adalah kapan apel pagi ini segera selesai, aku sudah lelah berdiri.

Gerald
Hari pertamaku sekolah di SMA negeri. Kalau saja aku bisa menahan emosiku waktu itu, aku tidak akan dikeluarkan dari sekolah lamaku dan aku tidak perlu pindah sekolah yang akhirnya sekolah ini yang bersedia menerimaku. Sialnya lagi hari ini aku bangun kesiangan, dengan seluruh kemampuanku aku memacu motorku di jalan dengan kecepatan kilat, memotong jalanan dan mendahului banyak kendaraan yang ada. Tapi tetap saja saat aku sampai di sekolahku yang baru ini, kegiatan sekolah sudah dimulai. Sekuat tenaga aku berlari menuju lapangan sekolah yang digunakan untuk berbaris apel pagi. Ah, banyak sekali kelompok barisan di sana. Aku tidak tahu harus masuk barisan yang mana. Aku memang sudah pernah datang ke sekolah ini bersama papa-ku dan sekolah memutuskan aku untuk ditempatkan di kelas 1(6). Aaahh, aku tidak tahu yang mana barisan kelas 1(6). Nah, itu ada kelompok barisan yang jumlah siswanya sedikit sekali, mungkin aku masuk barisan di sana saja sementara. Mana barisannya masih jauh lagi, terpaksa aku lari ke sana. Aduh, ngos-ngosan aku jadinya setelah sampai di sini. Masa bodoh lah, aku juga belum dikenal oleh mereka semua. Jadi aku cuek saja. Hmm di barisan paling belakang ini lebih nyaman rasanya. Terlindung dari penglihatan guru yang bertugas berpidato di depan. Aku harus lebih ramah di sini. Di sebelahku ini ada siswa yang kecil sekali, sepertinya ini barisan kelas satu. Badannya pendek, kurus, kulitnya gelap. Ya, ini kan bukan sekolah khusus etnis-ku seperti sekolahku dulu, pasti lah rata-rata siswa di sini berkulit gelap. Dia mungkin heran dengan kedatanganku yang tanpa diundang ini. Aku jadi pendatang illegal di barisan kelas ini. Di Malaysia mungkin mereka menyebutku "pendatang haram". Ya, dia pasti heran. Dia menoleh ke arahku lama sekali. Spontan saja aku tersenyum ke arahnya. Setelah itu aku pura-pura fokus dengan amanat yang disampaikan oleh guru di depan.

The Perfect 30 (Match)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang