You're gonna hear me roar

2.4K 113 8
                                    

I got the eye of the tiger, a fighter
Dancing through the fire
'Cause I am a champion, and you're gonna hear me roar
Louder, louder than a lion
'Cause I am a champion, and you're gonna hear me roar!
(Katty Pery "Roar")

Sosialisasi akhirnya dimulai. Semua guru yang mempunyai jam mengajar pagi dari jam 7:00 sampai jam 9:00 wajib mendampingi siswa untuk disosialisasi oleh kepolisian di ruangan aula sekolah. Sekarang semua siswa sudah duduk pada tempatnya masing-masing yang sudah disediakan. Setelah semua guru butuh waktu sekitar 30 menit hanya untuk mengatur tempat duduk mereka, akhirnya sosialisasi bisa dimulai. Tapi hanya dalam hitungan menit, tidak hanya suara Pak Polisi yang memberikan sosialisasi yang terdengar melainkan suara siswa-siswi yang juga asyik bercerita sesama mereka. Sesekali ada guru yang menegur dan mengingatkan siswa-siswi tersebut untuk tetap tenang dan memperhatikan Pak Polisi yang berbicara di podium. Yang namanya siswa SMK tidak ada yang sekali diingatkan saja langsung patuh. Di sebelah barisan tempat duduk siswa, sir Ian sedang mengawasi siswa-siswi yang berada di dekatnya. Tidak ada satupun siswa yang berani berkutik untuk berbicara ataupun bermain-main. Meskipun demikian, barisan siswa yang jauh dari jangkauannya tak bisa dikatakan tenang. Guru-guru pendamping lainnya juga sedang menertibkan siswa-siswi tersebut. Salah seorang polisi mendekati barisan siswa yang terlihat tenang dan lebih enak dilihat. Guru pendampingnya pun juga terlihat santai hanya dengan tangan dilipat di dada, badannya menyandar ke dinding. Tapi tetap dengan tatapan tajam ke siswa-siswinya.

"Ehm, barisan yang di sini lebih teratur dan tenang ya pak", kata polisi itu berusaha membuka  percakapan dengan sir Ian.

"Yeah, saya mengawasi mereka", jawabnya dengan senyum.

"Bapak sepertinya sangat professional mendidik dan menangani siswa-siswi di sini ya pak, buktinya mereka semua bisa bapak kendalikan. Barisan lainnya ribut, kami sudah bantu menertibkan bahkan tidak berhasil", lanjut polisi itu.

"Jadi seorang pendidik harus tahu cara menghadapi siswa. Karna siswa sebagai objek kami itu adalah makhluk hidup. Semua itu sudah kami pelajari di kuliah keguruan", jawab sir Ian dengan senyum.

"Professional sekali jawabannya pak. Oh ya pak, sudah lama mengajar di sekolah ini? Bapak lahir dan besar di kota kecil ini atau berasal dari kota lain?", tanya polisi itu lagi. Sementara suara-suara siswa sudah semakin keras dan berisik mengalahkan suara polisi yang berbicara di podium.

Tanpa menjawab, guru bertampang manis itu hanya tersenyum dan bergegas melangkah berjalan ke arah podium. Setelah sampai di podium ia berbisik kepada polisi yang berbicara. Polisi yang tadi berbicara di podium memberikan microphone kepada sir Ian dan mundur dari podium. Sekarang sir Ian yang berdiri di depan para siswa. Memegang microphone dengan tangan kirinya, sengaja ia diam dan hanya melihat siswa-siswanya yang asyik bercerita sendiri. Lima belas detik kemudian ia berteriak dengan suara yang lantang dan sangat keras, bergema dengan bantuan beberapa loud speaker di ruang aula.
"EVERYBODY, SHUT UP!!!!", teriaknya dengan suara yang khas.
Siswa-siswi yang saat itu mengenali bahwa yang berteriak adalah guru yang paling mereka segani, semuanya langsung terdiam dan tak berkutik lagi.

"HOW COULD YOU ALL DO THAT SHAMELESS ATTITUDE TO US??!!!", lanjutnya lagi dengan masih menggunakan suara keras dan nada yang tinggi. Terlihat semua siswa menjadi menunduk bahkan tidak berani menatap guru mereka tersebut.

"Then, who wants to replace the cops to give a speech here??! Come right here and show me if you dare!!", lanjutnya.

"Nobody wants?? But you all talked so loud and bravely there on the back. SHAME ON YOU!!!", ia memberi penekanan dengan berteriak pada kalimat terakhir.

Semua siswa kembali tenang dan merapikan posisi duduk mereka masing-masing. Kali ini benar-benar tidak ada yang berani berkutik untuk sekedar berbicara dan menggeser tempat duduknya.
Sir Ian turun dari podium dan kembali mempersilahkan polisi untuk melanjutkan penjelasan sosialisasi.

Gerald
Wow, ternyata seperti ini caranya mendidik para siswa di SMK. Pantasan saja dia begitu kuat mental dan sama sekali tidak peduli apapun di luar sana. Hmm, usahaku kali ini tidak sia-sia. Setelah aku mendapatkan informasi kalau dia mengajar di sekolah ini, aku segera membuat program kerjasama sosialisasi dengan sekolah ini. Tapi selama di dalam aula sekolah ini aku hanya mengawasinya dari jauh. Bahkan saat salah satu temanku mendekatinya untuk sekedar mengobrol berbasa-basi. Aku bisa saja menghampiri mereka dan ikut serta dalam percakapan mereka, tapi sepertinya aku belum siap untuk melakukan itu. Aku harus tahu dulu bagaimana sikapnya kepada orang yang belum ia kenal. Ternyata dia baik dan juga ramah. Mungkin aku bisa mengatur lagi bagaimana cara untuk kami bisa bertemu secara kebetulan. Tapi bagaimana kalau memang ia adalah Zizi? Itu yang aku takutkan, tapi itu juga yang aku harapkan. Aku takut ia akan memaki dan menghajarku karena sikapku yang selalu membully dia selama 3 tahun. Tidak, itu masih terlalu biasa dan sepertinya aku tidak akan keberatan dengan hal itu. Mungkin dia bisa saja membunuhku karena dia sekarang terlihat begitu sadis, tapi menarik. Aku harap dia Zizi, jadi aku akan berusaha memperbaiki semuanya. Aku akan meminta maaf dan aku berjanji akan menjadi teman yang baik. Lihatlah dia sekarang, pasti semua orang ingin berteman dengannya. Tadi baru saja dia mengaum seperti macan. Kalau dulu dia mungkin seperti kitty (anak kucing) yang bisa dipermainkan semua orang. Tapi hari ini aku melihatnya mengaum bahkan lebih keras dari seekor macan.

Ian
Benar-benar keterlaluan kelakuan siswa-siswiku itu, bikin malu aja. Huuhhh... Akhirnya selesai juga agenda sosialisasinya. Sebenarnya ada perasaan tidak enak sejak aku berada di dalam sana, aku merasa seperti diawasi seseorang, satu di antara para polisi itu. Tapi mungkin itu perasaanku saja. Aku bahkan masih baik-baik saja sekarang. Bahkan saat aku menertibkan siswaku dengan berteriak di podium tadi, aku mengawasi mereka semua tidak ada yang bertingkah laku atau punya gerak-gerik mencurigakan. Bagaimana bisa aku berpikiran seperti itu? Mereka semua kan pelindung masyarakat. Ah, mungkin aku terlalu menghayati serial "The Vampire Diaries" yang selalu aku ikuti hingga season 8. Mereka semua jelas para vampire, penyihir, dan siluman srigala. Pantas saja mereka mempunyai insting yang luar biasa. Kalau aku sendiri yang sampai seperti itu mungkin akan jadi lebay.

Baru saja aku menuju meja kerjaku di kantor guru, aku melihat ada kertas tebal berwarna biru laut, kertas itu dilipat dua. Di bagian depan luarnya ada tulisan "Sorry". Aku heran dan memegang kertas itu sekarang. Sambil mengkerutkan dahi dan berusaha mengingat-ingat apakah aku pernah memberikan tugas kepada siswa untuk membuat karya sejenis ini. Memo, short massage, private letter, atau apology mungkin. Aku ingat betul dengan syllabusku di setiap subject. Tidak ada itu semua dalam minggu ini, bahkan di minggu yang sudah lewat.

Kebetulan miss Camila juga sedang tidak masuk kelas. Mungkin aku tanya dia saja, barangkali dia tahu siapa yang meletakkan ini di atas mejaku.

"Permisi miss Camila, ini tadi dari siapa ya?", tanyaku sambil menyodorkan kertas tersebut.

"Aduh, sir. Tadi banyak banget siswaku yang kesini mengkonfirmasi kesediaan mereka untuk vocal performance. Jadi kurang tahu pasti siapa aja yang ke meja sir Ian tadi. Tapi ada bapak-bapak polisi itu juga tadi sih, mereka bertemu buk principal", jawabnya dengan sopan. Dia sendiri juga masih memandangi kertas yang aku sodorkan ini.

Ya sudahlah, aku duduk di kursiku dan miss Camila melanjutkan mengetik lagi di laptopnya. Aku buka kertas itu bagian dalamnya juga sama berwarna biru. Tapi, hey!! Ada paragraf di dalamnya. Tidak panjang sih, tapi ditulis rapi dengan tinta warna silver.

Maaf..
Maafkanlah semua orang yang pernah menyakitimu,
Yakinlah bahwa itu semua datangnya karena ketentuan dari yang di atas,
Mereka hanya dipinjam oleh Tuhan untuk membuatmu mengerti bahwa hidup ini adalah perjalanan panjang melalui proses untuk menjadi yang lebih baik,
Memaafkan dan menerima semuanya yang terjadi kepada kita adalah keputusan yang bijaksana menuju kebahagiaan.
Terimakasih.

Begitu aku membaca paragraf tersebut dalam hati. Aku semakin heran, apa maksudnya semua ini. Atau mungkin ini ulah siswaku ya? Tapi karena apa? Karena aku bersikap tegas tadi di podium? Ah, tidak mungkin. Kalau memang iya, kenapa baru sekarang aku mendapat kertas seperti ini? Seharusnya setiap hari aku mendapatkannya karena setiap hari aku bertindak tegas kepada semua siswa yang tidak patuh pada aturan. Whatever, aku tidak mau pusing. Akan aku cari tahu nanti. Sekarang aku harus ke kelas untuk mengajar. Oh, rasanya T-Zone ku sudah mulai berminyak. Aku harus touch up dulu dengan compact powder merk dari Swedia andalanku ini. Okay, I'm ready now.

The Perfect 30 (Match)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang