"Sudahlah aku lelah Jeon. Tuntutanmu tidak habis-habis, kau tidak pernah cukup atasku. Kau bisa mendapatkan yang lebih baik dariku, yang selalu eksplisit terhadap perasaannya, yang sering bilang cinta padamu, yang tidak ragu berkata rindu setiap waktu. Itu 'kan yang kau mau?" Mingyu menumpahkan semua amarahnya yang terpendam, sedang Wonwoo di hadapannya menangis tersedu. Ini kali pertama Mingyu memanggil marganya dengan begitu dingin dan datar.
"Kau selalu saja begitu, setiap ada masalah pelariannya mencari orang lain yang lebih baik, mencari pendamping lain begitu? Itu yang kau mau? Aku bahkan tidak pernah terbersit sedikit pun untuk mencari yang lebih baik darimu, Gyu. Aku sudah berusaha susah payah menahan dan memahami bahwa kau memang tidak seterbuka itu masalah perasaan. Bahkan dalam berkata cinta saja bisa dihitung dengan jari. Lalu kau bilang apa? Mencari yang lebih baik katamu? Ketika perjalanan kita sudah sejauh ini?" Wonwoo refleks berteriak, meski susah payah ia menahan agar tidak menaikkan intonasi suaranya tetapi akhirnya pertahanannya runtuh juga, teriakannya seiring dengan sedu sedan tangisannya.
Adaptasi mengenai karakter keduanya dalam hal mengutarakan perasaan memang masih menjadi salah satu pemicu konflik. Wonwoo yang begitu terus terang akan perasaannya dan Mingyu yang begitu tertutup namun penyayang. Wonwoo yang seakan tidak pernah puas dan Mingyu yang memang bersikeras tidak ingin mencair barang sedikit.
"Kau mau ke mana?" tanya Wonwoo yang telah menurunkan nada bicaranya.
"Yang jelas malam ini kita tidak tidur bersama." jawab Mingyu datar.
"Aku ingin masalah ini selesai malam ini juga, Gyu. Apa sih susahnya menjelaskan, di sini bersama-sama." pinta Wonwoo dengan putus asa.
"Kau masih ingin memaksa? Aku tidak bisa. Nanti akan kujelaskan, by text. Aku tidak bisa berbicara secara langsung." jawab Mingyu sambil berlalu dan keluar dari kamar mereka yang selalu menjadi ruang kesukaan untuk bercengkrama.
~~~
Wonwoo merasa dunianya akan runtuh sebentar lagi. Dalam kepalanya tak henti berputar tentang bayangan suara Mingyu yang berucap perpisahan. Ia tak bisa membayangkan akan jadi apa hari-hari ke depannya jika itu benar terjadi. Dicintai dan mencintai dengan tulus, hanya kepada Mingyu pernah ia rasakan. Dan sekian kali tiap bertengkar dengan Mingyu, ia tahu bahwa itu adalah kesalahannya menurut persepsi Mingyu. Terlalu menuntut kalau Mingyu bilang. Meski dalam persepsi Wonwoo itu masih hal yang wajar, ia hanya ingin sesekali Mingyu memperlihatkan rasa khawatirnya, mengutarakan perasaan cintanya dengan terbuka. Karena Wonwoo, paling benci menerka-nerka, bermain teka-teki, karena ia tahu akan selalu kalah, karena ia tahu bahwa dirinya tak pandai dalam menjawab teka-teki. Padahal dalam cinta, tidak pernah ada yang namanya menang atau kalah, karena cinta tak pernah mempermasalahkan ia pandai atau tidak. Cinta hanya peduli pada apa yang namanya ketulusan. Dan Mingyu, telah mencintai Wonwoo dalam tahap itu namun dengan caranya, dengan keterdiamannya.
Tidak ada yang salah di antara mereka berdua. Mereka hanya harus lebih lagi dalam perihal saling memahami satu sama lain. Wonwoo menenggelamkan wajahnya di bantal Mingyu. Menghidu dalam-dalam aroma yang tersisa di atasnya. Ia meminta maaf dalam hatinya, bahkan meski sedang dalam keadaan seperti ini saja, hatinya lancang merindukan Mingyu. Entah apa yang diperintah oleh otaknya, Wonwoo berjalan ke arah kamar mandi mereka. Melihat dua buat sikat gigi yang ada di dalam gelas keramik putih, Wonwoo mengusap pelan sikat gigi berwarna teal milik Mingyu, kembali lagi kepalanya dipenuhi pikiran mengenai kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Bagaimana jika sikat gigi yang biasanya bersanding berdua itu nantinya hanya tinggal satu? Apakah sikat gigi berwarna teal yang akan hilang ataukah sikat gigi berwarna magenta miliknya yang akan pergi?
Ekor matanya nyalang melirik sepasang bathrobe yang tergantung rapi di belakang pintu kamar mandi dan handuk yang masih terlipat di rak kecil samping wastafel. Wonwoo tidak akan pernah siap, jika benda-benda itu akhirnya hanya akan tersisa satu. Dan yang paling buruk, jika nanti warna identik mereka tergantikan oleh warna lainnya. Mingyu memilih waktu sendiri jika sedang bersitegang, berbeda dengan Wonwoo yang selalu ingin bersama meski pada akhirnya yang tercipta hanya diam. Pikiran sempitnya, jika tetap bersama, Wonwoo akan menjadi yang paling siap sedia jika terjadi apa-apa terhadap Mingyu begitu pun sebaliknya. Tapi 'kan Mingyu bilang, bahwa Mingyu tidak pernah suka dipaksa. Maka Wonwoo membiarkan keinginan Mingyu malam ini meski dengan berat hati.
"Aku meminta maaf, Gyu." Wonwoo kembali menangis, tangannya meremas handuk milik Mingyu yang masih tergulung rapi, dadanya sesak. Rasanya ia ingin menenggelamkan diri saja di dalam bathtub yang sedari tadi ia isi airnya.
Lagi-lagi Wonwoo hilang kesadaran, kakinya dengan lunglai melangkah masuk ke dalam bathtub, ia mengangkat satu kakinya sambil terhuyung. Baginya tanpa Mingyu, dunia sama saja telah lesap. Jadi untuk apa hidup, ia sudah tidak punya apa-apa lagi. Hingga sepersekian detik kemudian, sepasang lengan memeluknya hangat.
"Jangan menyengaja pergi agar dicari." Suara Mingyu terngiang sangat dekat di telinganya.
Tangis Wonwoo pecah, kesadarannya telah pulih secara keseluruhan. Ia berbalik dan melihat wajah berantakan Mingyu dengan mata yang masih sembap seperti terlihat habis menangis. Tidak yakin, Wonwoo membelai pipi lelaki di hadapannya, kontur wajah yang tegas dengan warna kecokelatan yang manis. Kemudian senyum terkembang pada sepasang bibir merah mudanya. Lelaki tinggi di hadapannya memang benar Mingyu, suaminya.
"Kalau kau bertindak seperti itu, nanti aku dengan siapa?" tanya Mingyu lembut.
"Kau bisa mencari orang yang lebih baik." jawab Wonwoo.
"Tidak. Tidak ada lagi pembahasan tentang orang lain." ujar Mingyu dengan pelukan yang semakin mengerat.
"Aku mohon jangan menyerah atasku." pinta Wonwoo dengan lirih.
"Tidak akan. Kita bersama sampai kita jadi debu, itu janji kita 'kan?"
"Aku mencintaimu, Mingyu."
"Aku pun. Sudah terlalu larut, keringkan dulu tubuhmu lalu kita tidur ya." Mingyu bertitah dan Wonwoo dengan senang hati mengiyakan.
"Kau sudah makan, Gyu?"
"Sudah sayang, aku masak nasi goreng."
"Aku ingin nasi goreng buatanmu tapi kalau sekarang aku masih kenyang."
"Iya, akan aku buatkan besok pagi. Sekarang kita harus istirahat mengembalikan energi yang telah terbuang sejak tadi." Mingyu merangkul Wonwoo seerat yang ia bisa.
Katakan saja Wonwoo berlebihan atau hiperbolis. Tapi Wonwoo dengan yakin akan selalu berkata bahwa Mingyu adalah hadiah terindah yang Tuhan berikan untuknya. Tidak sempurna memang, tetapi sungguh cukup untuk mengisi rumpang di diri Wonwoo agar terlihat lebih sempurna.
~~~
P.S
Huaaah lama sekali nggak nyapa-nyapa. How's your life, dear? Belum lupa kan sama Bittersweet?
Selamat membuka kotak Pandora 💕🍃
Selamat menikmati romansa yang tidak biasa!

KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet [Meanie] ✓
FanfictionBittersweet moment kehidupan pernikahan Jeon Wonwoo dan Kim Mingyu, apa jadinya?