"Apa sich No yang salah kalau punya baby sekarang? kitakan sudah nikah wajar kalau punya anak!" Entah sudah berapa kali aku mempertanyakan hal ini hingga membawanya menjadi bahasan sebelum tidur.
Masih berharap ada kesempatan untuk menyatukan pemikiran kami, bagiku harta bukan segalanya selama Enno bisa memberikanku rasa nyaman juga nafkah lahir bathin yang halal. Aku ingin menyempurnakan pernikahan kami dengan adanya anak, dan memberi warna kebahagian didalam istana yang kami bangun bersama.
Tak pernah ada ragu atas segala usahanya untuk membahagiakanku sekalipun kami mengawali semuanya diatas perbedaan.
Perbedaan bukan satu hal yang patut dijadikan alasan utama sebuah keretakan, sungguh aku tak mau pernikahanku memiliki noda dan retak yang akan mengancam keutuhannya kelak. Membayangkannya saja sudah membuatku takut.
"Ngga ada yang salah ay, tapi tetep kita butuh persiapan buat jadi orang tua. Bukan cuma materi tapi mental juga, gue pengen punya anak dari lo" Jemari Enno mulai bermain membelai anakan rambutku,"Gue pengen dipanggil daddy tapi ngga sekarang, gue pengen ngasih semua yang terbaik buat anak kita nanti"
Mendengar kata anak kita, hatiku terenyuh. Dalam seperkian detik ku benamkan wajahku dalam pelukannya. Menangis lagi-lagi hanya itu yang mampu kulakukan, karena aku manusia biasa bukan superhero. Aku sudah coba mengalah, menuruti semua maunya. Apa masih terlalu egois jika aku demikian.
"Jangan nangis ay, gue mohon jangan bikin gue jadi orang jahat!"
Kami berdua berpelukan diatas ranjang, menangis berdua. Ternyata pernikahan tak semudah yang dibayangkan bahkan perjalanannya masih terlalu jauh untuk ditempuh. Masih banyak masalah yang harus kami hadapi berdua,bersama menyatukan pemikiran dan menyingkirkan ego masing-masing.
Sebuah lagu Nina bobo melantun pelan dari bibir Enno dengan belaian seringan kapas Enno menuntunku untuk terlelap dan melupakan kesedihan yang kurasakan.
"Maaf ya ay... luv u!" bisiknya mesra diakhiri sebuah kecupan dipuncak kepalaku tanpa melepaskan pelukannya.
.
.
.
Author Pov
Enno merasa berdosa melihat tetesan air mata Kanadia yang belum satupun mengering dipipi. Tidak hanya Kanadia, Ennopun sebenarnya ingin segera memiliki momongan. Sebuah anugrah yang Tuhan berikan sebagai bentuk pelengkap kebahagiaan keduanya.
Hanya saja Enno ingin memberikan yang segala yang terbaik untuknya serta untuk anak dan juga istri dan anaknya kelak. Yang dilakukannya sekarang rasanya belumlah cukup, melihat langit-langit kamarpun membuatnya sadar kalau Kanadia berhak mendapatkan yang lebih baik dari yang bisa ia berikan saat ini, inilah yang membuatnya berjuang demikian keras mewujudkan cita-citanya.
"Maaf ya ay... luv u!" bisiknya mesra diakhiri sebuah kecupan dipuncak kepala tanpa melepaskan pelukannya.
Ada rada takut kehilangan jika ia melepaskan sedikit saja pelukan itu.
Hari berganti hari, hubungan Kanadia dan Enno mulai renggang sejak permintaan Kanadia untuk segera memiliki anak dan pernyataan Enno yang belum siap untuk itu. Sebuah pertentangan yang harusnya wajar bila dilihat dalam sebuah kehidupan hanya perbedaan usia keduanya yang membuat segalanya kian melebar jarak pemikiran.
Terlalu banyak fikiran berdampak pada kesehatan Kanadia, wajahnya berubah pucat bahkan berkali-kali makanan yang masuk terpaksa ia muntahkan kembali. Rada pahit bergelantungan dilidahnya membuat Kanadia enggan menelan makanan yang disuapkan suaminya Enno.
"Pahit No!" tolak Kanadia saat Enno mulai menyuapkan makanan kemulutnya.
Enno membuang nafas frustasi,"Seharian lo belum makan apapun ay!" Raut wajah khawatir menghiasi wajahnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kanadia Chantiq
RomanceDitinggal pacar begitu saja lalu terjebak dengan browniess omesh akut Huaaa.... hidupku benar-benar tak karuaan dibuatnya!