◀◻◻◻▶
Suasana kamar dengan ranjang susun. Sekarang di tempati oleh Steffi dengan ketakutannya. Cewek itu membanting ponsel setelah melakukan panggilan suara. Suara teriakan dan tangisan sang Ibu di penghujung membuat sekujur tubuhnya bergetar hebat.
Ayah dan Ibunya sedang bertengkar hebat. Kata berpisah sudah Steffi dengar. Sekarang bagaimana dengan adik Steffi yang masih kecil. Dan membutuhkan orang tua. Tapi yang tidak bisa Steffi terima adalah Ayahnya yang KDRT.
Sekarang apa yang harus Steffi lakukan. Tidak ada orang di kamar. Siapa yang akan mendengar ceritanya. Teman ceritanya sudah tidak tinggal lagi di sini. - (Namakamu).
Tangannya mengambil tas yang tergeletak di atas meja. Sepertinya Steffi butuh (Namakamu) untuk mendengarkan ceritanya. Walau tak ada jalan keluar yang terpenting semua rasa di dalam hatinya bisa keluar dengan lega.
Salsha dan Beby baru saja membuka pintu kamar. Namun di tabrak brutal oleh Steffi yang tidak menyahut itu. Salsha menoleh. Apa yang sebenarnya terjadi.
"Ini kan hp Steffi?" Pekik Beby. "Kayaknya dia lagi ada masalah deh, Sal?"
"Kayaknya sih."
"Apa kita coba hubungin si (Namakamu)? Gue takut Steffi nekat."
Salsha menoleh lantas mengangguk. Salsha sangat santai. Duduk di kursi dan mengetik beberapa pesan singkat. Tidak seperti Beby, wajahnya pucat dan khawatir. Beby mulai mengirim beberapa pesan kepada temannya. Sesekali menelpon namun sayang tidak ada jawaban.
"Eh. Beb! Gue mau turun dulu. Ada teman gue nunggu di bawah." Salsha menarik tas dan pergi.
Sepertinya Salsha hanya butuh satu anggukan dari Beby. Cewek itu sudah hilang dari kamarnya. Tidak akan perduli dengan Salsha. Temannya itu banyak punya kegiatan yang sangat penting. Jadi Beby tidak akan perduli. Yang sekarang hanya Steffi yang ada dalam pikirannya.
Beby menutup pintu kamar. Sepertinya dia harus mencari Steffi sebelum semuanya terlambat. Bermodal membawa foto temannya. Beby akan mencari sampai ke sudut kota. Namun matanya kini menangkap Salsha di depan Asrama sedang berbincang dengan seorang cowok.
"Itu De Nhara?" Kata Beby. Dia berlari kecil menghampiri Salsha. "Sal? Loh De Nhara? Kalian lagi ngomong apa?"
"Eh. Beby?" Sapa De Nhara.
Beby bingung. "De Nhara maksud lo teman yang mau ajak jalan Sal?"
Salsha menggeleng cepat. "Gak Beb. Tadi dia..."
"Gue tadi mau nyari (Namakamu). Cuma ketemu Salsha sekalian nanyain dia dan minta buat telponin suruh turun," alibi De Nhara. "Katanya (Namakamu) lagi keluar."
Beby menghela nafas. Salsha tidak memberitahu De Nhara soal (Namakamu) yang tidak lagi tinggal di Asrama. "Oh. Dia emang lagi keluar. Mungkin ke Studio." Beby menole ke arah Salsha terlihat panik. "Sal. Gue mau susulin Steffi. Entahlah anak itu lagi di mana sekarang. Lo mau ikut?"
"Beb? Tapi gue nunggu temen. Gak apa kan lo sendiri. Semisal ada apa nanti lo telpon gue."
"Oke."
Salsha membuang nafas kasar. Hampir saja Beby tahu tentang hubungannya dengan Nhara. Setelah Beby pergi barulah Salsha dan De Nhara melangkah jauh meninggalkan Asrama.
◀◻▶
(Namakamu) mengusap pipi yang basah. Hidung tampak merah dan mata yang sembab. Masih tidak percaya dengan apa yang di lihatnya. Batu nisan cantik bertuliskan nama Oma Ranee. Hatinya sakit.
"Aku udah bilang. Jangan nangis," kata Iqbaal. "Oma gak suka lihat orang nangis."
Pemakaman menjadi rumah Oma Ranee yang di maksud Iqbaal. (Namakamu) sangat tidak percaya. Iqbaal membawanya ke peristirahatan terakhir Oma. "Kenapa gak boleh nangis?! Aku sedih Oma pergi. Oma itu orang baik. Apa Oma meninggal waktu kecelakaan pesawat itu?"
Iqbaal menggeleng. "Waktu kecelakaan pesawat. Oma dinyatakan masih bernafas. Setelah koma sekitar dua bulanan Oma sadar. Banyak luka serius. Hanya beberapa saat setelah Oma sadar. Dia pergi."
"Oma?" lirih (Namakamu) menyentuh nisan. "Kenapa Oma ninggalin (Namakamu) dan Iqbaal. Lihat Oma, aku sama Iqbaal udah ketemu lagi pasti Oma yang minta ke Tuhan untuk kita di pertemukan. Tapi satu hal lagi Oma. Katanya Oma mau lihat Aku sama Iqbaal punya anak. Kenapa Oma pergi secepat itu?"
Iqbaal menoleh. "Ini udah takdir (Namakamu)."
"Kamu inget? Waktu kita di Restaurant dekat Bandara. Oma pernah bilang kalau misalnya kita menikah dan punya anak. Pasti seru."
Iqbaal meneguk ludahnya. Bukan lagi karena sedih tetapi menegang. Apa maksud dari ucapan cewek di sebelahnya. Bisakah dia tidak membuat Iqbaal GR karena omongannya. Apalagi mengingat dis sudah punya pacar baru.
"Aku masih ingat. Nanti pasti Oma lihat anak aku," kata Iqbaal.
"Iya dari surga." Balas (Namakamu).
"No." Iqbaal menggeleng cepat. "Satu bagian tubuh Oma ada di tubuh aku."
"Apa?"
"Mata."
"What?" (Namakamu) menoleh lalu kembali menatap lekat Iqbaal.
"Aku benar-benar buta. Sebelum Oma meninggal Oma udah berpesan sama orang tua aku mau ngedonorin matanya. Tapi, sedikit agak buram. Tapi aku yang minta. Gapapa."
"Aku bodoh banget."
"Kenapa?"
"Di saat kamu lagi ada musibah aku gak bisa ngelakuin apapun. Kamu kesakitan. Kamu butuh kekuatan. Kasih sayang. Aku gak ada di samping kamu. Dulu aku adalah pacar yang buruk hingga sekarang pun aku menjadi mantan yang buruk. Maaf."
Iqbaal tersenyum. "Aku tahu kamu pasti pasrah setelah melihat berita di mana-mana. Entah aku ketemu atau tidak. Aku emang sengajak gak izinin orang masukin aku ke berita hanya beberapa teman aja yang yang tau."
"Aku beruntung masih di kasih kesempatan buat ketemu kamu lagi. Tapi Iqbaal. Di hati aku, kamu masih jadi nomor satu gak akan ada yang bisa ngalahin itu sekalipun itu De Nhara. Pacar aku."
"Kamu jangan egois Ya?"
◀◻◻◻▶
Dah bisa tidur belum kalian pada?
Dah tahu belum Iqbaal dah bisa lihat dari kebutaan?
Wkwkw.
KAMU SEDANG MEMBACA
PEMERAN UTAMA✅ | Iqbaal Ramadhan
FanficSequel 'tentang,Iqbaal.' "Jika Iqbaal adalah sesuatu yang berharga bagi (Namakamu), maka Iqbaal adalah nafas yang akan selalu (Namakamu) butuhkan."