Gemerisik dedaunan seperti gubahan alam, suaranya bersahutan dengan tetes air hujan yang satu persatu turun. Semburat kemerahan di ujung langit sebelah barat tersaji indah. Aura semesta bercampur antara beberapa dunia, melebur saling berkelebat. Aroma air hujan menyapa indera penciuman, alam memang demikian indahnya.
Rumah besar dengan sentuhan khas Jawa berdiri anggun sekaligus angkuh. Siapapun warga desa sini tahu milik siapa rumah itu. Bangunan Joglo dengan atap yang runcing dan berdinding tembok dan kayu berukir. Dengan pekarangan luas yang ditumbuhi beragam tanaman hias, pagar yang tinggi seakan jadi pembatas bagi siapa saja.
Itu adalah rumah keluarga Bramantyo, sebuah keluarga dengan 4 orang anak. Warga sangat mengenal mereka dengan baik, keluarga itu adalah pemilik sebagian besar tanah yang berada di situ. Di mata para warga, keluarga Bramantyo adalah orang-orang yang baik.
Pak Bram meski tegas tapi dia sangat dermawan. Bu Ratih sang istri juga perempuan yang baik. Keempat anaknya juga ramah kepada semua orang, meski mereka sekeluarga jarang bergaul di luar tapi warga tidak keberatan. Mereka tetap sering hadir bila ada yang sedang membutuhkan.
Anak-anak keluarga Bramantyo ada 4. Mereka adalah Mas Bagas si anak pertama yang berperangai halus seperti ibunya. Mbak Nawang yang cantik dan manis sang kembang desa. Mas Damar yang berkulit putih dan gemar bercanda. Dan yang terakhir Mbak Jenar, gadis kecil yang juga manis tapi sedikit manja.
Tapi selain dari keempat anak itu ada satu lagi seorang anak yang tinggal di rumah itu, warga hanya mendengar desas desus. Sekalipun tidak ada yang pernah melihatnya. Para among dan abdi sesekali bercerita, di belakang ada sebuah rumah kecil. Tapi siapapun tidak ada yang diijinkan mendekat.
Angin kembali berhembus dengan lembut, matahari menenggelamkan diri hingga tercipta kegelapan yang menyelimuti. Temaram lampu mulai menyala di segala penjuru rumah. Suara jangkrik mulai lamat-lamat terdengar.
Nuansa malam khas pedesaan khas terasa, sunyi sepi hanya ada suara alam. Apalagi di kediaman keluarga Bramantyo yang begitu luas. Hiruk pikuk manusia jarang sekali terdengar. Sesekali memang ada cekikikan anak-anak, tapi mereka hanya berada di dalam rumah. Mereka tidak pernah diijinkan keluar rumah bila sudah menjelang gelap.
Bu Ratih, sang ibu memandang jauh ke belakang, ruangan itu yang tampak sedikit gelap. Paling tidak sudah ada satu lampu, Mirah tidak membutuhkan banyak lampu. Hari ini dia belum sempat sekalipun mengunjunginya. Mirah mungkin akan merajuk kesal, seperti Jenar mungkin.
Ruangan itu jauh sekali di ujung pekarangan, dikelilingi oleh kolam ikan yang lebar. Pagar pembatas memang sengaja dipasang, ibu tidak ingin orang bisa keluar masuk seenaknya kesana. Mereka bisa menyakiti Mirah, tentu saja tidak ada yang boleh menyakiti Mirah.
Ibu menutup helai gorden, sudahlah tidak perlu lagi memikirkan Mirah. Dia sudah bersama dengan amongnya, mbok Rasmi selalu bisa diandalkan, dia menjaga Mirah dengan sangat baik. Mirah sudah pasti akan baik-baik saja, biasanya juga begitu.
" Ndoro Putri, Sugeng dahar." Seorang abdi menyapa sang ibu dengan hormat, dia menunduk tanpa berani memandang majikannya.
" Iya mbok, Ndoro Kakung sudah rawuh?" Tanya Ibu kepada abdinya yang masih juga bersimpuh menunggu ndoro putrinya.
" Sudah Ndoro, silahkan." Kata si mbok abdi rumah keluarga Bramantyo yang beringsut mengantarkan Ndoro putrinya menuju ruang makan di mana semua orang sudah berkumpul.
Ibu menghampiri meja makan besar di mana anak-anaknya sudah berkumpul. Mas Bagas sudah SMU, sama seperti mbak Nawang. Mereka memang hanya terpaut satu tahun. Mas Damar masih SMP, mbak Jenar kecil masih berada di bangku SD.
Setiap hari acara makan malam mereka selalu seperti ini, hidangan mengepul hangat berasal dari hasil kebun dan pertanian sendiri. Sesekali memang abdinya ada yang belanja ke pasar, mereka juga perlu membeli bumbu untuk memasak.
Ibu menyendokkan nasi untuk Pak Bram, suaminya ini memang selalu pendiam. Meski begitu sikapnya demikian tegas, bila Pak Bram bertitah semua penghuni rumah tidak akan ada yang berani melawan. Ibu selalu merasa menjadi seorang wanita yang sempurna, apanya yang kurang di kehidupannya.
" Bu, bagaimana hari ini?" Tanya Pak Bram kepada istrinya yang sedang menuangkan air putih untuk suaminya. " Apa semua baik?" Tanya pak Bram.
" Semua baik Pak, tidak ada yang perlu dikuatirkan Pak." Jawab Ibu yang masih sempat mengambilkan lauk untuk anak-anaknya." Laporan dari mandor kebun Kopi sudah ibu taruh di meja Bapak. Nanti kalo Bapak udah Ndak kesel coba Bapak baca." Lanjut ibu.
Anak-anak kembali berisik berebut paha ayam yang tinggal satu, Pak Bram tertawa senang melihat tingkah anaknya. Anak-anak memang selalu ribut, mereka memang menyenangkan.
Sejenak ibu teringat Mirah, sedang apa anak itu di sana. Apa mungkin dia sudah tidur, Mirah senang sekali tidur ketika surup dan baru akan terbangun lagi tengah malam. Lalu dia akan nembang di dekat jendela bersama amongnya, lagu Jawa yang merdu bagi siapa saja yang bisa mendengar.
Sering memang ibu terbangun di tengah malam, lirih suara merdu dari belakang selalu terdengar. Bapak selalu bisa tidur dengan tenang seperti tidak mendengar apa-apa. Kalau sudah begini ibu harus bangun meski berat, sekedar membuka gorden atau jendela. Dan memandang jauh ke belakang menembus temaram lampu. Memandang Mirah sang putri bungsu yang selalu tersenyum bila memandang dirinya.
Anak itu memang istimewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bungsu
Horror- on hold - Nyari tumbal susah 🤧 ___________________________ Suara tawa canda anak yang lain terdengar jelas, sekali lagi aku cuma bisa mendengarnya. Katanya mereka adalah kakak-kakakku, setidaknya itu yang dikatakan oleh ibu. Aku cuma bisa meliha...