The Untold Story 2

33 4 0
                                    

Gradasi biru dan jingga mewarnai langit Jakarta senja itu. Vi duduk sendiri di rooftop sebuah kafe, dengan segelas coklat panas di meja. Pipinya bersemburat merah tersapu hangatnya angin yang berhembus. Rambut panjangnya terikat dengan rapi. Matanya memandang jauh kedepan, menikmati langit sore seperti para Dusk-love.

"Vi!" Sebuah sapaan mengalihkan Vi dari nyamannya menikmati senja.

"Lama ya?"

"Nggak kok Jun." June baru saja tiba, setelah mendapat telpon dari Vi tadi malam yang meminta June untuk menemuinya. June segera bergegas usai menyelesaikan beberapa pekerjaannya.

"Nggak macet apa Jun?"

"Nggak kok, kan deket makanya gua ngajak ketemu disini. Tuh kantor gua keliatan." Telunjuk June mengarah ke sebelah kanan, menunjuk salah satu gedung tinggi diantara beberapa gedung yang saling berlomba menembus cakrawala.

"Ada apa Vi?"

"Lo nggak mesen minum dulu? atau mau makan?"

"Gua pesen kopi aja." Vi panggil seorang waiters pria yang berdiri didekat tangga, yang selalu melirik kesegala arah untuk melihat para pelanggannya agar siap kapanpun pelanggan memanggilnya.

Sluurrpp. June seruput secangkir Americano double shot.

"Gue udah bisa ngomong Jun?" June mengangguk, mempersilahkan Vi untuk menyampaikan maksud dan tujuannya mengajak June bertemu.

Vi menarik nafasnya berat.

"Jun, gue nggak tau gimana memulai pembicaraan ini. Apa gue nggak jadi aja ngomongnya?"

"Gua udah belain loh Vi, balik kerja langsung kesini. Langsung aja."

"Gue.. gue mau tau soal Hanbin."

"Soal Hanbin? Soal yang mana ni?"

"S-soal Hanbin yang...nyariin gue."

Sudut kanan bibir June menyimpulkan senyum.

"Apa waktu kita cukup ya buat nyeritainnya?"

"Jun.."

"Lu tau Vi, saat dimana lu dateng ke studio itu. Saat itu gua juga marah dan kecewa sama dia. Gua tau betapa terlukanya lu saat itu. Gua ngerti pasti berat buat lu maafin dia."

Vi terfokus pada June yang berbicara tanpa menatap dirinya. Memandang jauh kedepan sembari mengingat kenangan buruk antara Vi dan Hanbin.

"Tapi Vi, gua rasa dia udah cukup menderita dengan hukuman yang dia dapet. Dari semenjak lu pergi, dia nggak pernah berenti nyariin lu. Sedetikpun, dia nggak pernah berenti nyesel dengan apa yang dia lakuin."

"Hampir setiap minggu dia ke Bandung nyariin lu." June tersenyum lagi sambil sesekali melirik ke arah Vi yang memasang mimik aku-minta-maaf.

"Ah gua inget. Dia pernah selama seminggu setiap pagi dan malem dateng ke toko lu. Cuma buat liat lu. Tapi dia cemen, dia nggak pernah berani nyapa lu saat itu."

"Haaahh, sampe pas hari itu minggu pagi dia udah dateng kesana. Dimana Hanbin selalu begadang setiap malem, dia tidur cuma dua sampe tiga jam. Sampe gua nyamperin kesana terpaksa harus mecahin kaca mobilnya, karna dia udah pingsan didalem."

"Lu bayangin deh Vi, dalam keadaan sakit dan kelelahan dia masih berusaha buat liat lu. Dia cuma pengen liat senyum lu Vi."

June tatap Vi, June melihat raut wajah Vi yang berubah. Tanpa Vi sadari, matanya berkaca-kaca.

"Vi..please, bukan karna Hanbin sahabat gua. Lu juga sahabat gua kan. Lu bisa kan, bikin Hanbin berenti hukum dirinya sendiri? Gua..gua tau banget Vi gimana terlukanya lu saat itu. Tapi..ini udah lama Vi."

Vi usap air mata yang telah berlinang membasahi pipinya. Namun Vi masih diam, raut wajahnya nampak kebingungan.

🍁🍁🍁🍁🍁

Yang pasti, dari saat dia liat lo nangis dan pergi dari studio sampe detik ini dia nggak pernah berenti menyesal.

Kalimat itu terus terngiang ditelinga Vi. Sudah dari tiga jam yang lalu Vi berbaring dan bersiap untuk tidur. Namun Vi terlalu gelisah, hingga rasa kantuk tak mampu membuat dirinya tertidur. Setiap kali mencoba untuk memejamkan mata, wajah Hanbin selalu muncul.

Hingga waktu menunjukan pukul dua dinihari, namun Vi tetap tak bisa tidur. Berguling kesana-berguling kesini, segala cara telah ia coba tapi tetap tak mampu membuatnya terlelap.

"Aarrrgghhh!" Erang Vi kesal pada situasinya saat ini.

Tidak ada yang lebih menyiksa dari rasa ingin tidur namun tak dapat tidur.
Sama seperti rindu yang tak bisa tersampaikan.

Vi ambil ponselnya. Membuka history panggilannya. Tertuju pada satu nomor yang pernah menelpon Vi, namun penelpon itu hanya diam.
Vi tahu, itu Hanbin.

Kegelisahan lain menyelimutinya, telpon atau tidak?

Vi hanya terus memandangi layar ponselnya, sembari terus menggigit kukunya. Kebiasaanya tak pernah berubah, selalu seperti itu disaat cemas atau gelisah.

"Mas..kamu udah tidur ya?"

"Hmmm"

"Aku nggak bisa tidur.."

Percakapan singkat Vi lewat sambungan telpon yang akhirnya ia tutup kembali, setelah mendengar respon orang yang ia hubungi. Lagi pula, siapa yang sudi menerima telpon pagi buta seperti itu.

Pada akhirnya Vi hanya diam. Termenung sendiri diatas peraduannya. Pikirannya jauh melayang, seakan kembali membawanya beberapa tahun ke belakang. Saat dimana ia mengenal Hanbin, pria luarbiasanya. Memorinya memutar kembali kenangan manis yang banyak mereka ciptakan.

Vi tersenyum simpul, Vi memang tidak pernah lupa pada setiap hal tentang Hanbin.

Andai kamu tau
Aku tidak pernah membencimu
Aku hanya membenci kenyataan
Kenyataan bahwa hatiku masih tetap menginginkan kamu
Aku terlalu gengsi
Aku tidak ingin
Kehilangan kehormatan dengan memaafkanmu
Aku hanya takut
Karna aku tau,
Hanya melihat matamu,
Pertahananku akan runtuh,
Jauh dalam diriku,
Disana kepercayaanku masih bersemayam,
Aku hanya menutupnya

Saat hujan mempertemukan kita,
Saat hujan mempersatukan kita,
Namun hujan tak hadir untuk memisahkan kita,
Tapi ia kembali, saat kamu tiba-tiba berdiri dihadanku
Sorot mata itu,
Saat itu aku begitu takut,
Takut aku tak mampu menahan
Untuk mengatakan
Aku merindukanmu..

The Lost FlowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang