"Jadi Yeri mah gampang, ngambekan banting hp, besoknya dibeliin ayang Mak." kata Sian.
Diluar tertawa ambyar, didalam dadaku hambar. Yeri dan aku cuma ketawa-ketawa, hari ini dia pakai ponsel baru.
"Ya 'kan dia yang banting hp gue, tanggung jawab lah." kata Yeri.
"Ya 'kan elu yang selingkuh. Ah enak sih jadi elu, tinggal ke altar aja udah." kata Sian.
"Harus dong, emang lo mau pacaran sama cowok kere?" balas Yeri.
"Tapi kalo kerenya sambil usaha ya bagus, dong. Itu namanya perjuangan, Yer. Kalo kere tapi diem aja ya gak akan ada kemajuan lah," jawab Sian.
"Logika aja deh, An. Lo mau jalan sama cowok lo cuma dibawa makan pinggir jalan, ultah gak dibeliin apa-apa. Mau gitu doang?" tanya Yeri.
Entah kenapa tiba-tiba aku ingat malam minggu lalu, potongan-potongan klip ketika aku makan dengan Lucas cuma di kedai makan tenda di jalanan itu bermunculan.
"Emang salah kalo makan pinggir jalan?" tanyaku.
"Gak salah. Tapi emang gak malu?" tanya Yeri.
Sian diam, kulihat dia lebih milih ngecek ponselnya.
"Kebahagiaan 'kan bukan diukur dari yang kayak gitu, Yer?"
"Iya juga sih, itu artinya emang beda selera aja. Cewek-cewek kayak gitu berarti seleranya agak-agak gitu lah," kata Yeri. "Gak logis." sambungnya.
"Rendah?" tanyaku.
Yeri gak langsung jawab aku.
"Lo kok jadi beda gini sih ngomongnya, An? Gue salah ngomong?" pertanyaan keduanya dilontarkan bukan hanya untuk aku.
Sian masih gak bicara, begitupun aku yang cuma natap Yeri heran.
"Lo kesinggung gue ngomong gitu karena mirip sama cowok lo?" tanya Yeri lagi.
"Yeri," Sian turunin ponselnya.
Aku kesal, tapi aku cuma bisa diam. Aku gak ngira Yeri bisa bicara gini. Dari dulu aku paham sifat Yeri, dia kadang suka terlalu blak-blakan dan dalam argumen apapun dia harus jadi pemenangnya.
"An, gue dari tadi biasa aja ya ngobrol. Lo sendiri yang mulai bikin suasana gak enak. Kalo lo emang gak kesinggung nyautnya biasa aja kali. Dari pertama lo nyaut gue nada ngomong lo udah gak enak." katanya ke aku.
Aku masih diam.
"Jangan karena gue diem aja tiap lo ngambekan begini, An. Lo pikir gue takut sama lo?"
"Lo sadar gak berapa kali lo nyinggung gue diluar soal cowok gue. Lo sadar gak lo seenaknya?" kataku.
"An," Sian natap aku penuh kode.
"Lho? Ya lo 'kan tau mulut gue emang gini. Kita temenan 'kan udah lama, An. Temen-temen baru gue aja ngerti masa lo enggak?"
Yeri ini dari dulu, entah kenapa aku selalu merasa dia kayak merasa dia ini selalu ada. Selalu paling unggul diantara aku dan Sian. Kupikir kalau ingin bersaing, jangan berteman dekat begini.
Aku tau dibanding aku, Sian lebih sering pergi dengan Yeri. Aku tau Sian pasti gak keluar uang untuk jajan atau untuk apapun karena Yeri yang tanggung. Yeri itu gak perhitungan, tapi apa setiap jalan-jalan harus aku atau Sian yang bawain tasnya? Bawain belajaannya? Sepele mungkin, tapi aku bukan Sian.
Aku juga kesal sama Sian. Kenapa dia diam aja?
"Lo minta gue ngerti lo tapi lo gak mikir sebaliknya?"
"Males gue disini, gak asik." katanya sambil berdiri kemudian berlalu.
Gak rugi.
"An... Gue tau lo mungkin kesinggung tapi lo tau Yeri, 'kan?"
"Lo mau sampe kapan sih jadi bego gini?" tanyaku.
Terkadang pada hidup ini, kita dihadapkan pada peluang yang sengaja kita abaikan. Contohnya baru saja, ketika ada peluang aku untuk bicara tapi aku memilih untuk diam saja. Karena perihal Lugas, aku selalu tahu bahwa dia lebih dari itu!
![](https://img.wattpad.com/cover/202338034-288-k66144.jpg)