16. Upeti Untuk Tuan Puteri (🎶)

3.6K 929 157
                                    

🎶

Bersenyawa
Dengarkan Dia


















Pada malam-malam tertentu, merindukan dia adalah ritualku. Jangan ditanya lagi, betul, hampir setiap hari. Himpunanku pada Adi bagai riak pasang surut ombak laut pagi hari.

"Cas,"

Alih-alih menyahut, dia cuma menoleh.

"Manggilnya tumben." katanya.

"Oh mau dipanggil Adi?" godaku.

"Enggak. Bebas. Mau ngomong apa?" tanyanya sambil kembali potong kuku-kuku jari.

Bukan kamar kost yang berhasil disewanya, melainkan rumah petak. Begitu masuk kau langsung sampai di ruang tamu sekaligus sebuah televisi dan kulkas. Disampingnya sebuah kamar, jangan dibayangkan sempit sebab dimataku ini cukup. Lalu setelah itu ada dapur dan toilet. Diluar ada teras dengan sekat disamping setinggi dada sebagai pemisah dengan rumah petak lain.

"Mau nanya."

Dia angkat dagunya singkat.

"Kalo misalnya aku minta kamu ngelamar aku. Kamu mau gak?"

Lugas mengangguk, "Mau." katanya. "Ngelamar kamu doang mah sekarang juga bisa."

"Maksudnya?"

"'Kan kalo ngelamar artinya aku harus minta kamu ke orang tua kamu, aku harus nyiapin yang lain juga, ngasih tau keluarga." jawabnya masih sambil potongin kuku.

Aku dibuat deg-degan, padahal aku nanyanya iseng-iseng aja tapi dijawabnya serius begitu. Haha, hihi.

"Coba lamar aku sekarang." kataku.

"Sekarang?"

"Katanya tadi bisa!"

"Bentar." katanya.

Lalu dia berdiri dan ambil sapu, dia bersihkan dulu potongan kukunya yang berserak-serai di lantai. Dia sapu bersih keluar, setelahnya dia pergi ke toilet yang kutebak mungkin cuci tangan dan kaki.

"Akunya ganti baju dulu jangan?"

"Gak usah." sedikit terkekeh aku.

Lalu dia berderap mendekat dan duduk disampingku.

"Kenapa disini?"

"Harusnya?"

"Disini!" kataku sambil menunjuk udara didepanku.

"Disini ah, malu." katanya.

Sungguh heran bukan main aku setiap dia bilang malu.

"Bentar aku mikir dulu." katanya sambil senyum-senyum dengan atensi diarahkan ke langit-langit.

Kutunggu.

"Kamu jangan ngeliatin!" katanya yang tiba-tiba menoleh lalu ketawa.

"Kamu mikir apa ketawa-ketawa gitu!"

Tapi Adi malah ketawa-ketawa yang jadinya aku ikut ketawa. Tangannya tergerak menahan tanganku yang siap nyubit lengannya lagi.

"Aku disini, bukan tentang aku sendiri."

Diam aku.

"Tapi tentang kamu juga, tentang kita. Tentang apa-apa yang mau kita bagi berdua. Tentang semuanya yang mau aku kejar tapi aku mau kamu ada didalamnya." katanya.

Ada gelombang yang menjalar di seluruh jalin syaraf yang ingin terus aku rasakan sewaktu dia mendadak lepas dari candaan.

"Aku... aku emang gak sempurna, sejatinya semua manusia gak ada yang sempurna. Tapi aku mau kamu, sempurna ataupun enggak, aku gak peduli. Aku cinta kamu dengan atau tanpa kewarasan." tuturnya.

Demi Tuhan, Adi!!! Aku tiba-tiba merasa seperti ditarik dari dalam diri, seperti tenggelam tapi tidak mati. Sesak saking senang sekali.

"Udah, ah!" kataku gak kuat lagi.

"Muka kamu merah." katanya.

"Kamu sadar gak ngomong apa barusan?" tanyaku.

Dia menggeleng, "Sejadinya."

Lalu aku menutup wajah dengan dua tangan yang dibaliknya aku senyum-senyum sendiri.

"Aku salah ngomong?" masih aja nanya dia.

"Enggak! Udah, ah!"

"Eh, lupa mau bilang. Aku udah dapet kerja." katanya.

"Serius? Dimana?"

Dia mengangguk. Katanya dia bekerja jadi karyawan store parfume disalah satu mall.

"Ya udah bagus, liburnya hari apa?" tanyaku.

"Selasa." katanya.

"Selasa? Gak Sabtu atau Minggu?"

Dia menggeleng.

"'Kan di shift, aku kebagian Selasa." jelasnya setelah aku buang nafas kasar

"Hmm, jam berapa ini..." kutengok jam di layar ponsel. "Aku harus pulang."

"Oke. Tapi bentar."

Adi berdiri dan ambil sesuatu di lemarinya.

"Ukuran sepatu kamu 38 'kan? 37 atau 38?" dia kembali sambil membawa sesuatu.

"38." jawabku. "Apa ini?"

Dia menyerahkannya padaku.

"Upeti untuk tuan puteri." katanya sambil nyengir.

"Adi, apa ini?!"

"Buka lah."

Kubuka. Dua kali aku dibuat senyum-senyum petang ini.

"Ini apa?" kutanya lagi.

"Mulung." candanya, selanjutnya dia berjongkok di hadapanku, sementara pemberiannya kutaruh di pangkuan.

"Suka gak?" tanyanya.

Aku mengangguk, "Banget. Makasih."

Senyumnya merekah lebih lagi, seraya berdiri tangan kanannya terulur mengelus kepalaku.

"Mau langsung pulang?"

"Kenapa? Kamu mau pergi sama temen?"

"Enggak, sebelum pulang makan sushi dulu mau?"

"Mau!" semangatku.






































[ foto sepatunya dihapus,
bayangkan aja, warna merah ]



aku ga suka liat adi nangis

tapi kalau dia mau yaudah aku tungguin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

tapi kalau dia mau yaudah aku tungguin



in case kalian lupa, guys... ini fiksi ya
cerita doang da aslinya mah lucas ya
gitu weh bulal belel :( sibuk sama
jadwal wayv. terus dukung wayv ya!!!

Sepuluh Ribu SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang