Mungkin kalau kamu tanya beberapa temanku apa yang menyenangkan dari Bandung jawabannya pasti rupa-rupa, tapi kalau aku cuma satu. Karena ada Adi. Kayaknya kalau Adi sudah gak mau di Bandung lagi aku bakal ikut, kemana aja sekalipun dia mau pindah ke Saturnus. Ah, dangdut. Membahas dia, gak ada balasan apapun sampai sekarang setelah aku minta Adi kalau selesai tolong kabari. Jadi tadi sempat kuhubungi lagi dua kali.
Perihal siang tadi baik aku dan Sian, kita sama-sama gak punya semacam hal yang justru mengganjal gara-gara saling terbuka. Enggak. Meski kita gak bisa nebak perasaan setiap orang tapi kalau orangnya Sian aku bisa cukup yakin. Aku mengerti kenapa Sian merasa begitu dan ya sudah. Aku juga gak benci siapa-siapa, cuma kalau pernah kecewa biasanya aku gak bisa lagi menaruh percaya. Dia pulang satu jam sebelum Ahin datang.
Waktu aku sudah pulang di jam yang tentu jam sembilan lebih sedikit aku duduk-duduk di ruang tengah. Lalu ternyata Papa juga sudah pulang.
"Makan, Teh."
"Iya, udah."
Beliau datang dan duduk dengan mangkok di tangannya.
"Tumben makan disini." kataku.
Sebab beliau kalau makan pasti gak sambil nonton, selalu di meja makan.
"Mau liat sinetron." katanya, kemudian ambil remote TV.
Baru aku beralih ke layar ponsel, "Bawain minum, Teh."
Aku langsung berdiri dan ambil air minum, kutaruh di meja.
"Dari mana?" tanyanya.
"Nganterin temen."
"Lain kali temennya ajakin ke rumah aja." katanya.
Aku bersedekap tangan, bermonolog dulu dalam hati bak persiapan.
"Kalau cowok boleh?"
Papa gak langsung jawab, dia menyuap makanannya dulu.
"Boleh. Berteman mah berteman aja." katanya.
"Papa tau Lugas, gak?" kutanya.
"Lugas siapa?"
"Dulu suka main sama si Aa. Rumahnya di blok belakang, anaknyaㅡ"
Waktu mau menyebutkan tentang orang tuanya, aku tiba-tiba seperti terhenti sendiri mengingat bagaimana reaksi Mama terhadap Adi selama ini. Apalagi yang menurutku gak penting banget waktu Mama bilang,
"Minimal mobilan lah."
Ya, maksudnya, gimana, ya, aku cuma jadi takut Papa sama kayak Mama.
"Anaknya siapa?" tanya Papa.
"Anak Pak itu, siapa ya namanya lupa..."
"Lugas..." gumamnya. "Lugas atau Luki?"
"Nah iya itu! Kakaknya Luki. Luki dulu pernah diajar sama Papa 'kan?"
"Lugas namanya?"
"Iya, nama aslinya Lugas."
"Oh, tau." begitu katanya.
Aku diam dulu, harus bilangnya bagaimana ya. Kalau sebenarnya aku sudah pacaran dengan dia dari SMA menuju kelas dua.
"Kenapa? Mau main sama itu?" tanya Papa.
"Iya." kujawab begitu saja dulu.
"Suruh kesini aja."
Waktu mendengar itu aku girang sekaligus bingung nanti bagaimana dengan Mama?! Maksudnya, bukan dengan Mama yang kelihatannya kurang suka Adi, aku lebih kepikiran dengan bagaimana kalau Adi gak enak hati karena Mama nanti? Begitu. Dari sikap saja kadang kelihatan banget, nanti pacarku gak nyaman.
