22. You're mine.

20.9K 1.4K 69
                                    

Didedikasikan untuk tasya180505
Seperti biasa, part selanjutnya didedikasikan untuk komentar pertama, ramaikan guys.

***

Kemarilah, jikalau aku menyakitimu suatu saat nanti, percayalah aku sedang dihadapkan pilihan yang susah
_____________________________________

Anggit berjalan keluar dari kamarnya, meskipun kepalanya masih terasa sangat pusing tapi perutnya sedari tadi meminta untuk di isi. Dia berjalan menuruni tangga dan menuju meja makan.

Kosong!

Anggit menghembuskan napas kasar, tak ada makanan apapun di meja makan, hanya ada bahan makanan di kulkas dan sialnya dia tidak bisa memasak.

Keadaan rumah tampak sepi, Abi dan Alin juga pasti sedang sekolah. Sebenarnya Anggit sendiri ingin langsung pergi ke sekolah hari ini. Namun sayangnya Ibunya belum mengijinkan dan menyarankannya untuk istirahat dirumah terlebih dahulu.

"Mamii..." Panggil Anggit. Tak aja jawaban apapun dari ibunya. Karena itulah Anggit mencoba untuk mencarinya dikamar.

Dibukanya pintu kamar orangtuanya yang tampak kosong "Mami..." Panggil Anggit lagi namun tetap tak ada jawaban.

Pandangannya kemudian beralih pada amplop putih yang berada didepan meja rias sang ibu. Entah mengapa amplop itu cukup menarik perhatiannya. Dia mengambil amplop itu lalu membacanya. Dan membuat rahangnya mengeras seketika.

"Kamu ngapain disini?" Tanya Irawan yang baru saja memasuki kamar.

Anggit menatap ayahnya dengan tatapan kecewa "Ini apa Pi?"

"Darimana kamu dapat itu?"

Anggit tersenyum kecut "Ini. Apa. Pi?" Kata Anggit penuh penekanan. Tangannya masih menggenggam erat kertas berisi surat kemoterapi yang sudah ditangani Ayahnya. Dan dia tidak tahu sedikit pun tentang hal itu. Orang tuanya benar-benar pandai menyembunyikan segala hal mengenai dirinya.

"Ini semua demi kebaikan kamu."

"Kalian nggak seharusnya nyembunyiin ini dari Anggit," Kata Anggit meninggikan nada suaranya. "Ini hidup Anggit Pi, bukan hidup Papi." Imbuhnya, dengan lirihan pelan.

"Papi cuma mau mengusahakan yang terbaik buat kamu."

"Dengan cara bohong," Potong Anggit dengan segera.

"Jangan kurang ajar kamu, kamu pikir Papi mau ini terjadi? Kalau bukan karena penyakit kamu yang semakin parah, Papi nggak mungkin milih jalur kemo, kamu pikir kemoterapi itu murah?"

Kedua tangan Anggit menggepal kuat, kedua matanya seolah memanas "Apa susahnya Papi ngomong langsung ke Anggit sebelum tanda tangan di surat itu Pi?"

"Percuma juga Papi ngomong ke kamu, memangnya kamu yang akan biayai sendiri perawatan kemo itu? Kamu tau seberapa mahal biaya kemo di Singapura?"

"Kalau Papi keberatan sama biaya itu, mending Papi nolak aja, kenapa ditandatanganin? Pencitraan didepan Mami?"

"ANGGIT!" Bentak Irawan yang telah kehilangan kesabarannya. Matanya menatap tajam putranya itu.

"Kenapa? Bener kan apa yang Anggit bilang?"

Plakk

Tamparan keras Irawan sukses membuat tubuh Anggit terjatuh. Anggit yang sama sekali tidak menduga kalau ayahnya akan menamparnya tak bisa menahan keseimbangan tubuhnya.

Pipi kirinya kini memerah dan terasa sangat nyeri. Kini dia bisa melihat sifat asli dari ayahnya. Tanpa Kiranti di sisinya, hanya sifat keras lah yang dimiliki oleh Irawan, yang sialnya juga menurun padanya.

FlycatcherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang