46. Long distance relationshit

11.9K 1.3K 753
                                    

Sebelum baca budayakan vote dulu ya, komen juga biar rame.

Anggit menautkan alisnya bingung, memungut koper yang tadi ayahnya lempar ke arahnya. "Papi usir Anggit?"

"Tidak sayang, kita akan berangkat ke Bandara sekarang," ujar Kinanti dengan lembut.

"Tapi aku belum selesai ujian, Mi."

"Ujian apa? Untuk apa kamu memikirkan sekolah? Toh aku hanya murid bandel disana," ujar Irawan dengan nada sinis.

Anggit tersenyum kecut. Padahal UN ini satu-satunya kesempatan untuk Anggit membuktikan dirinya pantas. Dan perjuangannya hanya tinggal satu hari lagi.

"Mami janji sama aku bakal biarin aku selesaiin ujian." Anggit menatap Kinanti dengan raut sulit diartikan.

"Sayang–"

"Aku pengen dianggap normal kaya siswa lain," potong Anggit. Tentu saja dia barharap Kinanti bisa menunda keberangkatannya ke Singapura.

"Normal?" Irawan tertawa sumbang, menatap anaknya dengan tatapan meremehkan. "Kamu itu tidak pernah normal, kamu itu penyakitan, kamu berbeda dengan anak lain. Tidak perlu berpura-pura seperti yang lain."

"Mas–"

"Iya emang bener." Anggit melirik ayahnya sesaat. Dia sudah cukup muak dengan semua kalimat menyakitkan itu.

"Aku emang penyakitan tapi setidaknya aku nggak brengsek kaya Papi," ujar Anggit lalu memungut koper dengan kasar dan melangkah pergi dari hadapan orang tuanya.

"APA KAMU BILANG? DASAR ANAK KURANG AJAR!" Bentak Irawan hendak mengejar Anggit namun Kinanti menahannya.

"Mas! Kamu udah keterlaluan."

"Kamu mau belain anak itu? Ingat siapa yang membayar semua biaya pengobatannya? Aku. Dia tidak sepatutnya mengatakan itu."

Kinanti menghela napasnya, fakta itu seolah menjadi belenggu baginya. Dia tidak bisa melawan Irawan karena hal itu. Jika Kinanti membela putranya, sudah pasti suaminya akan marah besar.

***

Laura keluar dari kamarnya dengan senyuman mengembang.

"Tumben kamu mau ikut makan malam pas ada Mama sama Papa," sindir Melisa seraya tersenyum.

"Kamu ngomong apa sayang? Bukannya harusnya kamu seneng?" tanya Surya–Ayah Laura dengan raut bingung.

Melisa mengangguk, "Aku seneng, Pa. Tapi apa kamu nggak penasaran apa yang bikin anak gadis kamu itu senyum-senyum sendiri."

"Senyum salah, diem salah, capek hayati jadi manusia. Pengen jadi rumput yang bergoyang aja," protes Laura sembari mendudukan dirinya di meja makan.

"Alah palingan karena abis jalan sama pacarnya," celetuk Kevin sembari menyuapkan makanan ke mulutnya.

"Iri bilang bos," balas Laura.

"Bos nggak pernah iri sama karyawannya."

Laura berdecak kesal. "Tai lo," runtuk gadis itu pelan.

"Pa, Laura barusan ngomong tai, anjing, bangsat," adu Kevin dengan raut tenang.

Sontak kedua mata Laura melotot sempurna. "Mana ada woy!" pekik Laura tak terima

"Udah-udah! Kalian itu kenapa sih nggak pernah bisa akur satu kali aja." Melisa akhirnya menengangi. "Laura, mending kamu ambilin martabak yang tadi dibawain calon mantu Mama."

Laura yang sedang mengunyah makanannya langsung tersedak. Gadis itu terbatuk beberapa kali. Kemudian melayangkan tatapan horor ke arah Ibunya. Dia tidak salah dengar kan?

FlycatcherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang