20. Pindah Sekolah

785 86 4
                                    


Bisingnya gemercik hujan mengalahkan obrolan antara Jamilah dan Alvani di lapangan. Fattah hanya bisa menyaksikan kedua gadis sedang mengobrol di lapangan dengan seluruh baju yang basah kuyup.

Walau air mata itu tertutup air hujan, Fattah mengetahui bahwa gadis pujaannya sedang menangis. Anak pemilik yayasan itu hanya bisa memandang kepergian Jamilah dari kejahuan .

"Gue yakin bukan lu yang ngelakuin, Jah!" lirih Fattah dengan wajah penuh dendam.

Setelah Jamilah sudah tak terlihat dari lingkungan sekolah. Alvani pingsan di lapangan akibat kedinginan. Peristiwa tersebut jelas diketahui Fattah.

"Lah! Si Alvani kenapa tuh!" ujar Fattah dengan nada tinggi.

Fattah panik, ia merasa bingung harus berbuat apa. Mendekati Alvani dan membawanya ke ruang UKS adalah hal yang mudah. Tetapi, pemuda itu menyadari bahwa sekolah tempatnya belajar adalah sekolah islam. Ia tak ingin menyentuh Alvani karena masih ada guru perempuan dan para siswi di sekolah ini.

"Woy.. Cewek-cewek! Itu si Alvani pingsan! Buru angkatin! Cowok-cowok jangan pada diem aja! Buru bawa payung, tuh si Alvani bisa mati karena hipotermia!" tutur Fattah mengarahkan para siswa yang sedang berkumpul menyaksikan kepergian Jamilah.

Dalam sekejap, beberapa siswi SMA Sabilul Huda membawa Alvani ke ruang UKS. Fattah pun datang menemui Alvani bersama Sahid.

"Sadar belum?" tanya Sahid pada dua siswi yang bertugas menjaga UKS.

"Udah sadar, Kak. Tapi biar istirahat dulu," ungkapnya dan berlalu.

"Eh, lu mau kemana, Dek?" tanya Fattah pada siswi tersebut.

"Keluar, Kak. Barangkali mau bicara sama Teh Alvani," ujarnya.

"Ngapain pergi! Udah di sini aja, nggak baik cewek cowok dalam satu ruangan!" ungkap Fattah.

Alvani yang melihat keberadaam Fattah dan Sahid pun mencoba untuk bangun.

"Mau ngapain lu?" tanya Fattah.

"Duduk," sahut Alvani.

"Nggak usah. Udah tidur aja, gua cuma mau lihat keadaan lu aja. Eh bukan gua sih, tapi Sahid." Fattah menggoda Sahid.

Mendengar gurauan Fattah, Sahid salah tingkah dan menyenggol pundak pemuda di sampingnya.

"Gue ke sini mau ada perlu," ujar Fattah.

"Perlu apa?" tanya Alvani.

"Kenapa lu bisa dipanggil ke ruang beka? Terus, ada persangkutan apa lu sama kejadian yang menimpa Jamilah?" tanya Fattah.

"Sebelum razia, aku pinjem hape Jamilah. Aku cuma ditanyai tentang hape Jamilah aja," ungkap Alvani.

"Terus dipinjem siapa lagi?" tanya Fattah.

"Emm... Nggak ada. Aku pinjam habis istirahat sampai selesai pelajaran. Nah, pas mau dikembaliin malah ketinggalan di kelas. Aku sama Jamilah sholat. Terus habis itu langsung ada razia," ungkap Alvani.

"Lu kan anggota OSIS, sama kayak Jamilah. Kenapa nggak tahu kalau mau ada razia?" tanya Fattah.

"Bukan program OSIS lama, kita udah kelas dua belas. Jadi, jarang aktif di OSIS," ujar Alvani.

Mendengar penjelasan dari Alvani, Fattah masih belum merasa puas. Ia berpikir seperti ada sesuatu yant belum terungkap.

"Ya udah, makasih infonya. Gue balik ke kelas dulu. Istirahat lu biar nggak pingsan lagi!" Fattah berlalu meninggalkan Alvani.
***

Ujian Tengah Semester ganjil telah tiba. Hari ini Jamilah berangkat ke sekolah. Tetapi hanya bisa mengerjakan soal ujian di ruang guru. Gadis itu tak masalah dengan hukuman yang ia terima. Baginya, mengerjakan lembar pertanyaan ujian bukanlah persoalan yang sulit.

Sekolah SMA Za-Za [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang