31. Melamar

862 90 10
                                    

Januari, orang sering mengartikan dengan bulan Hujan Sehari-hari. Benar saja, senin siang ini hujan baru saja reda. Ranting dan dedaunan pada pohon di sekitar SMA Sabilul Huda masih basah. Beberapa siswa yang ada di masjid sekolah memperhatikan air yang menetes dari pohon.

Semester genap telah tiba, Fattah menceritakan perihal surat dari Jamilah dan pesan yang telah ia tulis untuk gadis pujaannya.

"Gimana menurut lu, Hid. Apa gue harus ikhlas dia dijodohin? Atau coba untuk berusaha dulu?" tanya Fattah pada Sahid yang sedang berada di masjid sekolah.

Sedangkan Reza sejak selesai sholat zuhur sudah asyik bermain gim.

"Abdi mah nyarankeun, maneh mending ka imah Jamilah wae..."

"Ngomong yang bener, Hid. Gue nggak ngerti!" ujar Fattah.

"Oh iya, ampura nya, hehe! Kata saya mah, mending kamu ke rumah Jamilah dulu aja, coba bicara baik-baik sama orang tuanya. Kamu ceritain siapa kamu, bagaimana latar belakang kamu, kamu anaknya siapa, jelaskan! Jangan ada yang disembunyikan, toh Jamilah juga udah tahu kalau kamu ini anak pemilik yayasan, kan," tutur Sahid.

"Iya, Hid, kamu benar. Insya Allah nanti aku ke rumah Jamilah. Tapi setelah aku hafal lima juz lebih, sekarang baru empat setengahanlah," ujar Fattah.

"Masyaa Allah, otak maneh teh terbuat dari apa? Saya ngehafal satu juz aja lama banget, kamu bisa secepat itu?" ucap Sahid.

"Gue nanya sama Kak Maryam, dibimbing sama dia. Yah sekitar awal Ramadhan insya Allah gue ke rumah Jamilah," ujar Fattah.

"Semoga lancar ya, Tah. Saya juga insya Allah Ramadhan nanti mau ngelamar Alvani, saya udah ke rumah dia pas liburan. Orang tuanya bilang kalau serius orang tua yang harus datang," tutur Sahid.

"Haah! Terus, nanti lu nikah habis ngelamar?" Fattah terkejut.

"Rencananya ngelamar dulu, supaya nggak keduluan orang lain..." Pembicaraan Sahid terhenti saat Alvin yang tiba-tiba saja ada di belakangnya.

"Eheem... Melamar siapa nih? Mentang-mentang mau pada lulus, pembicaraannya tentang melamar," ujar Alvin.

Sahid tersipu malu mendengar Alvin menggodanya. Fattah pun bergeser. "Duduk, Kak. Kita bertukar pikiran sesama laki-laki," ujar Fattah.

"Saya boleh gabung, nih?" Alvin memastikan.

Sahid mengangguk. "Boleh atuh, Kak."

Alvin pun duduk di tengah Sahid dan Fattah. "Jadi, siapa yang mau melamar, nih?" tanya Alvin.

"Saya, Kak. Insya Allah ramadhan nanti jika tidak ada halangan,  saya minta doanya sama Kak Alvin," ujar Sahid.

"Ma syaa Allah, Sahid. Nggak nyangka loh, emang mau ngelamar siapa?" tanya Alvin.

"Siapa lagi kalau bukan Alvani, Kak!" celetuk Fattah.

"Hah! Benar itu, Hid?" Alvin terkejut, ia ingin memastikan.

"Hehe, benar, Kak," sahut Sahid.

"Alvani sahabatnya Jamilah itu, kan? Anak Rohis," ujar Alvin.

"Hehe iya, Kak." Sahid mengangguk malu.

"Ma syaa Allah, saya benar-benar nggak nyangka, Hid. Waduh, saya merasa tertantang ini, seharusnya saya sebagai orang yang lebih dewasa harus lebih berani dari kamu," ujar Alvin.

"Emang Kakak belum punya calon istri?" tanya Fattah.

"Kalau calon istri secara resmi, aku belum punya. Tapi, kalau gadis yang sudah kuimpikan akan dijadikan istri, sudah ada. Insya Allah orang tua juga sudah merestui, tinggal kami sekeluarga ke rumah gadis itu saja," tutur Alvin.

Sekolah SMA Za-Za [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang