26. Oleh-oleh dari Yaman

726 76 0
                                    


Jamilah sibuk mengikatkan seragamnya yang telah koyak pada kepala Fattah. Sahid pun memenuhi permintaan Jamilah untuk menghubungi ambulan. Sedangkan Reza bersusah payah mengangkat kepala Fattah agar dibaringkan di atas pangkuannya dengan bantuan Alvani.

Jamilah tak kuasa menahan tangisnya. "Kamu teh, naha Fattah. Meuni rela berkorban!" lirih Jamilah menangisi Fattah.

Polisi yang sudah berada di rumah tersebut segera menangkap Rio dan gerombolannya yang masih berada di sekitar lingkungan rumah. Ambulan tak kunjung datang, hingga salah seorang polisi terpaksa membawa Fattah ke dalam mobilnya untuk dilarikan ke rumah sakit terdekat.

"Aku nggak bisa ikut ke rumah sakit, kamu sama Reza aja ke sana. Jangan lupa hubungin keluarganya," ujar Alvani pada Sahid.

"Kaliam hati-hati pulangnya. Jangan pernah misah lagi!" ungkap Reza.

Sahid dan Reza pun pergi mengikuti mobil polisi. Sedangkan Jamilah dan Alvani kembali ke rumah.
***

Sampai di rumah, Jamilah memandangi seragamnya yang penuh dengan darah di depan kaca. Matanya menatap kosong gambar dirinya dalam cermin. Sepintas pikirannya kembali ke peristiwa dirinya diculik.

'Gue sayang sama Jamilah. Gue cinta! Gue nggak mau dia kenapa-napa! Lu lepasin Jamilah, atau untuk yang kedua kalinya gue buat lu koma, bahkan pergi selamanya dari dunia ini!.' Bayangan Jamilah mengingatkan.

Gadis itu hanya bisa terdiam memikirkan kejadian yang baru saja ia alami.

"Kenapa, Jah?" tanya Alvani.

Jamilah menatap Alvani dan seketika memeluk sahabatnya. "Aku kawatir sama Fattah! Aku nggak tega lihat dia berlumur darah kayak tadi!" tutur Jamilah.

"Sabar, Jah, aku juga sama. Mending, sekarang kita doa aja sama Allah untuk keselamatan Fattah. Kamu mandi dulu, nanti gantian aku juga," ujar Alvani.

Jamilah pun menyegarkan tubuhnya, setelah itu sholat berjamaah bersama Alvani. Setiap malam jumat ia selalu sempatkan untuk membaca Al-Qur'an surat Al-Kahfi.

"Van, kamu kalau mau tidur duluan aja. Aku mau telefon umi abi dulu," ujar Jamilah.

Tiba-tiba ponsel Alvani bergetar, ada sebuah pesan masuk.

Sahid:
Fattah koma. Punten pisan nya, Van. Bantu kirim doa jeung pang nyieunkeun surat sakit sareng izin kangge Fattah, abdi jeung Reza. Kolot Fattah nembe bisa kadieu teh isukan.

"Astaghfirullah." Alvani merasa terkejut saat membaca pesan dari Sahid.

"Aya naon, Van?" tanya Jamilah.

"Fattah koma, Jah. Sahid sama Reza besok nggak bisa berangkat ke sekolah. Dia minta bantuan aku suru bikinin surat sakit buat Fattah sama surat izin buat dia sama Reza," tutur Alvani.

"Astaghfirullah, Fattah koma?" Mata Jamilah terbelalak tak percaya.

"Iya, Jah, koma. Orang tuanya baru bisa ke rumah sakit besok, katanya. Makanya di tungguin Sahid sama Reza dulu," tutur Alvani.

Jamilah hanya bisa menelan ludah. Ia merasa tak percaya dengan berita yang baru saja didengarnya.

"Aku ngerasa bersalah banget, Van. Kenapa Fattah bisa tahu kalau aku ada di tempat itu?" tanya Jamilah.

Alvani pun menceritakan kronologis kejadian Fattah bisa menemukan tempat penculikan itu pada Jamilah.

"Diluar dugaan aku, ternyata Cinta mau nyelakain kamu waktu telefonan sama kakaknya di toilet. Bukan malah nyelakain Fattah!" ujar Alvani.

Sekolah SMA Za-Za [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang