❄CHAPTER 29❄

17 1 0
                                    

Happy reading, guys!

❄❄❄

Yang ditunggu Aldo akhirnya tiba. Bel pulang sekolah berbunyi dengan nyaring, senyaring teriakan teman-temannya yang senang karena bebas dari belenggu pelajaran.

Aldo sudah menyuruh Vero untuk menunggunya saat pulang. Rencananya, ia akan mengajak Vero ke taman belakang dan berbicara empat mata dengannya. Aldo juga sudah menyuruh Rendi dan Sofyan untuk pulang duluan.

"Kenapa?" tanya Vero begitu mereka sampai di taman belakang. Aldo tak langsung menjawab, ia menyuruh Vero untuk duduk di sofa lusuh dan memberikan sebatang rokok padanya.

Setelah mengepulkan asap pertamanya, barulah Aldo mengutarakan maksudnya. "Gue cuma mau kelarin masalah di antara kita."

Vero menikmati rokoknya dengan tenang, sembari berpikir apakah ia bisa berdamai dengan cowok di sampingnya ini.

"Gue juga mau berdamai sama lo," ujar Vero.

Punggung Aldo yang semula bersandar pada sofa kini tegak, dengan mata yang berbinar-binar.

"Nah, gitu dong. Biar gue enak sama lo, biar kita bisa seneng-seneng bareng."

Sedangkan Vero masih setia dengan ekspresi datarnya. "Tapi, gue nggak tau gue bisa apa nggak."

"Pelan-pelan aja, nggak usah langsung berubah. Semua butuh proses 'kok. Tapi, gue mau nanya dong. Sebenarnya, apa yang bikin lo nggak suka sama gue? Apa karena Sandra?"

Vero berdehem. Ia mengubah posisi duduknya menjadi bersila. Posisi ternyamannya untuk bercerita. "Itu salah satunya. Gue cowok yang pertama suka sama Sandra, yang pertama PDKT sama Sandra walau nggak pernah dapet respon bagus dari dia." Vero berhenti sejenak. Menceritakan hal ini kembali sama saja dengan membuka luka lama yang belum kering.

Sementara Aldo hanya diam saja. Ia memberi ruang untuk Vero agar menceritakan semua uneg-unegnya tanpa dipotong.

"Emang salah gue 'sih yang ngenalin dia sama Tino. Tapi, gue sadar kalo perasaan nggak bisa dipaksa. Jadi, gue belajar buat ikhlas. Walau rasanya sakit banget tiap hari ngeliat mereka bermesraan di kelas."

Aldo memegang bahu Vero dan meremasnya pelan. Seolah ingin memberi kekuatan pada cowok yang sudah ia anggap sebagai sahabatnya, meski mereka belum bisa dikatakan dekat satu sama lain.

"Saat gue udah mulai ikhlas, tiba-tiba lo datang ke sekolah ini dan jadi murid baru di kelas. Keliatan banget kalo lo pengen ngedeketin Sandra. Dan saat mereka putus, lo gunakan kesempatan itu. Jujur, hal itu bikin gue sakit hati. Tapi, apa yang bisa gue lakuin. Kalo Sandra emang nyaman dan nanti suka sama lo, gue akan ikhlas untuk kali kedua."

Ah, kalau seperti ini jadinya, sudah pasti Aldo yang lebih rela sakit hati daripada kehilangan Vero. "Kalo lo mau, gue bisa jauhin Sandra," ujarnya.

Namun, Vero menggeleng. Dengan senyum tipis khasnya, ia berkata, "Nggak usah lah, lo malah bikin gue kayak cowok menyedihkan yang nggak bisa perjuangin cewek yang gue sayang. Kalo perasaan Sandra udah nyangkut di hati lo, mau lo jauhin dia sampe pindah negara pun dia tetep bakal nanyain lo terus. Malah bikin sakit hati gue."

"Duh, terharu gue nih sama kata-kata lo," ujar Aldo dengan gerakan mengahapus aur mata, padahal tidak ada satu tetes pun yang jatuh. "Ini kali pertama gue denger lo ngomong panjang lebar kayak gini. Bikin gue ngerasa spesial tau nggak," lanjutnya.

"Nggak usah lebay deh, gue jijik liatnya. Biasa aja."

Aldo memanyunkan bibirnya. Padahal, ia tak bermaksud lebay. Itu adalah suara hatinya, karena terlalu senang mendengan Vero yang bercerita kepadanya. Tapi, Vero malah menganggapnya lebay.

"Iya-iya, manis dikit napa sih, biar ada yang nyantol sama lo. Pantes jomblo terus," cibir Aldo.

"Lo juga jomblo kali. Jomblo kok nuduh jomblo," balas Vero tak terima.

"Eits, jangan salah." Aldo menggerakkan telunjuknya ke kanan dan kiri tepat di depan wajah Vero. "Sebentar lagi gue punya pacar. Tunggu aja."

Vero memandang Aldo datar. Ia paham jika calon pacar yang dimaksud Aldo pasti Sandra. Setelah membicarakan apa yang menjadi masalahnya dengan Aldo, kini ia merasa biasa saja.

"Eh, tadi lo bilang masalah Sandra itu salah satunya penyebab lo nggak suka sama gue. Trus, yang satunya lagi?" tanya Aldo dengan wajah bingung.

Vero menggeleng. Baginya, sudah cukup untuk dirinya mau menerima Aldo sebagai kawannya. Tak usah mengungkit-ungkit masalah Tino kembali. Biarlah itu menjadi pembahasannya dengan dirinya sendiri di kala malam sebelum tidur.

"Udah gue lupain. Nggak usah diungkit-ungkit," jawab Vero.

Spontan, Aldo memeluk Vero dengan erat. Ia lupa jika rokok milil Vero masih terselip di antara bibirnya, sehingga bara api di ujung rokok itu mengenai leher Aldo dan meninggalkan bekas merah di sana.

"Duh, sakit nih gara-gara rokok lo," ucap Aldo sambil mengelus lehernya.

"Siapa suruh asal meluk," balas Vero santai.

Belum sembuh rasa sakit di leher Aldo, terdengar suara gemerisik dari arah semak-semak.

"Ada yang ngintip kayaknya," ujar Vero seraya mematikan rokoknya dan membuangnya ke samping. Ia pun berdiri dan berjalan pelan menuju semak-semak. Aldo mengikuti di belakang dalam diam. Semakin dekat, suara seseorang—lebih tepatnya cowok—mulai terdengar. Sepertinya lebih dari satu, karena semakin terdengar seperti berdebat.

"Astaga! Kalian ngapain di situ?!" seru Aldo begitu melihat wajah Sofyan dan Rendi yang nyengir ke arahnya.

"Nguping pasti," tuduh Vero. Ia berbalik untuk mengambil tasnya di sofa dan pergi begitu saja. Lagipula, urusannya dengan Aldo sudah selesai. Dan jika ia masih di sini, pasti akan jadi panjang dan ia tidak bisa merasakan rebahan di kasur kesayangannya.

"Hehehe... Sorry, abisnya aneh kalian berdua, gue sama Rendi disuruh pulang, eh kalian malah ke belakang. Kan kita jadi kepo, Al," kata Sofyan menjelaskan.

Aldo hanya geleng-geleng kepala melihatnya. "Kuker amat 'sih kalian berdua."

"Ehem. Btw, Al, jadi lo udah baikan nih ceritanya sama si Vero?" tanya Rendi mengalihkan pembicaraan.

"Seperti yang udah kalian lihat," jawab Aldo.

"Sama si Via juga?" tanya Rendi lagi.

"Iya."

Tiba-tiba saja, Sofyan tersenyum tanpa alasan pada Rendi. Dengan mata yang dikerlingkan pula.

"Mata lo kenapa? Jereng?" tanya Rendi.

Sofyan menggeleng. "Roman-romannya, bakal ada yang nggak bisa deketin doi lagi 'nih," godanya.

Wajah Rendi memerah seketika. "Udah deh, diem."

"Emang si Rendi udah punya doi?" tanya Aldo. Jika jawabannya iya, sungguh ia ketinggalan banyak berita karena terlalu fokus memikirkan masalahnya.

"Yoi, sama itu tuh. Si Vi—"

"Kita pulang dulu, Al, ada urusan mendadak," potong Rendi setelah membekap mulut Sofyan.

Aldo mengernyit melihat tingkah kedua sahabatnya itu. Sudah seperti kaum wanita saja. Yang satu punya doi, yang satu ember.

❄❄❄

SANDRA (COMPLETED)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang