1%

202 23 10
                                    

Pukul 5.00

Setelah bangun dari mimpi buruk itu, aku bergegas untuk mandi. Mengingat kejadian itu, sama saja melukai hati sendiri.
Setelah selesai bersiap-siap aku turun ke bawah untuk membantu Bi inem memasak.

"Bi inenmm" sapaku ceria

"eh non Hara, pagi sekali bangunnya, non Oshi aja belum bangun" sapa bi inem tak kalah ceria.

"udah biasa kali bi aku bangun pagi. Sini aku bantu goreng telor nya" ucapku mengambil alih spatula yang di pegang bibi.

"hati hati ya non!".

"sip".

Makanan sudah siap di meja makan, aku duduk di meja makan menunggu ayah, bunda, dan kak Oshi.

Kak Oshi terlebih dulu datang ke meja makan, lalu mempersiapkan sarapannya yaitu roti dengan telur.

Tak lama ayah dan bunda turun, lalu duduk di meja makan.

"ayah, bunda Oshi berangkat dulu yaa mau ke perpus persiapan olimpiade" ucap kak Oshi sengaja di keras keraskan.

"tentu nak, belajar yang rajin ya biar bisa sampe tingkat internasional kaya ayah dan bunda dulu. Tidak seperti adikmu yang bodoh itu." kata bunda dengan sengaja menekan kata adik dan bodoh, serta manatapku dengan tatapan tak sukanya.

Hinaan itu sudah biasa terdengar di gendang telingaku. Ayah? Tentu punya pikiran yang sama seperti bunda. Bedanya ayah seperti terlalu bodo amat padaku.

Baru dua suap nasi goreng yang masuk di mulut ku. Namun tiba tiba nasi goreng yang awalnya enak terasa hambar ketika aku mendengar kata kata bunda.

"hei anak bodoh bisa tidak si kamu membanggakan ayah dan bunda seperti kakak mu itu? Kamu itu malas belajar makanya kamu ga sepintar kakamu itu ngerti gak?"

"tapi Hara udah belajar ko bun"

"belajar apa? Menggambar? Melukis? Semua orang juga bisa melakukannya. Coba lihat kakamu matematika bisa, Ipa bisa, Ips bisa, semua bisa entah itu akademik maupun nonakademik."

"kak Oshi gak bisa nonakademik bun, gambarannya juga ga sebagus Hara. " kataku dengan suaraku bergetar.

Braaakkkk

Tiba-tiba ayah menggebrak meja, tak biasa memang. Dan itu membuatku dan bunda kaget.

"hei anak bodoh, tak usah kamu menjelek jelekan kakakmu. Apa yang dapat kami banggakan dari mu hah? Malu, ayah megakui mu pada teman ayah. Malu, ayah jika ditanya apa saja lomba yang kamu ikuti. Sudah begitu kamu masih bisa berucap membela diri hahh? Dasar anak pembawa sial".

Usahaku untuk tidak menangis sia-sia. Aku langsung keluar rumah dan berangkat sekolah dengan sepeda ku. Tak peduli tatapan orang di jalan yang melihatku menangis.

Pukul 06.00

Aku memberhentikan sepedaku ketika melihat taman dekat sekolah yang masih sepi, tentu sepi karena bukan hari libur.

Kebiasaanku setiap hari, ketika sedang bersedih aku biasa duduk di Taman dekat sekolah, sebelum berangkat sekolah sambil menggambar apapun yang ada di pikiran ku.

Setelah selesai ternyata aku menggambar diriku sendiri bersama kak Oshi. Oshi dan Hara kecil yang saling menyayangi dan saling di sayangi oleh ayah dan bunda,oh salah, ayah dan bunda tidak memberiku kasih sayang sejak aku memasuki sekolah dasar.
Pikiranku kemudian melayang pada kejadian saat kita masih kelas 5 SD di SD pelita bangsa.

Flashback on

"Hara buruan!" teriak kak Oshi dari mobil.

"iya kak sabar" kataku sambil berlari ke mobil.

Oshi Hara🌙Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang