Dia

522 154 345
                                    

Aadidev Valdezi

Aku melirik tak percaya pada gadis yang duduk tiga deret dari depan itu. Nilai biologinya 98? Yang benar saja? Bahkan aku yang biasa mengikuti olimpiade biologi sejak SMP saja mendapat nilai 94, lagi-lagi tidak dapat melampauinya. Lihatlah sekarang, ia sibuk berbicara dengan Aya, karibnya, dengan tampang yang sangat biasa, tidak mengacuhkan omelan guru biologi yang syukurnya tidak ditujukan padanya. Tidak ada kesombongan, tidak ada bangga. Cewek aneh. Aku buru-buru memalingkan wajah saat Aya menatapku menyelidik.

"Maria! Aya! Saya tau nilai kalian melewati KKM. Bisa hargai saya yang berbicara di hadapan kalian?"


🌠

Bukan hanya aku saja yang menganggapnya aneh. Bahkan para lelaki dari seantero sekolahan tampak tidak mau berurusan dengannya. Kenapa? You will know her. Dia itu alien.

Cewek mana yang kalau diajak pacaran, malah sesukanya meninju? Cewek mana yang tidak sama sekali peduli tentang nilainya yang begitu cemerlang? Cewek mana yang hobi dengan karate, alih-alih menjadi feminin? Membuatku muak. Sok kuat. Ia bukanlah cewek yang sesungguhnya. Kasar, tertutup, dan satu lagi, ia mengenakan hijab. Jelas dia muslim.

Alien itu selalu menjadi saingan beratku dalam hal akademik. Aku selalu berada di belakangnya, di bawah bayang-bayangnya. Satu hal yang membuatku jengkel padanya. Hei, aku jarang melihatnya memegang buku dan satu hal yang membuatku bingung, apa yang ia lakukan hingga nilainya selalu saja berada di atas nilaiku?

Maria Sara Hanifa

Aku selalu memerhatikannya. Bukan, aku sama sekali tidak menyukainya. Salut? Bukan juga. Benci? Ini satu hal yang paling bisa kusebut mungkin.

🌠


Aku menenteng soal biologi yang berlembar-lembar banyaknya. Selepas latihan basket siang tadi, aku dipanggil untuk mengambil soal biologi terbaru. Persiapan olimpiade. Agak sedikit kerepotan. Tas kusampirkan ke sebelah bahu saja. Sekadar informasi, aku memang tidak tergabung dalam tim basket sekolah. Bukan bermain basket tujuanku untuk sekolah, tapi sesekali aku menyempatkan latihan bersama teman-teman. Sekadar untuk melepas penat.

Mataku menatap tajam ketika melihat penampakan. Berusaha menyipitkan mata untuk memfokuskan pandang. Alien itu bersandar di kap mobilku. Mengunyah dan meniup balon dari permen karet. Aku menelan ludah pahit.

Ah, alien itu. Sedang apa dia di sana? Ini sudah pukul 17.00 WIB dan setahuku ia sama sekali tidak mengikuti ekskul apa pun. Apa ia akan mengajakku bergelut? Memangnya aku bersalah padanya? Benci mengakuinya, tapi aku sama sekali tidak menguasai ilmu bela diri. Yah, sebaiknya aku pergi saja. Mencari taksi akan lebih bermanfaat dari pada mencari mati. Baru hendak berniat untuk mengambil langkah seribu, alien itu memanggil.

"Oi, Dev!"

Suaranya yang nyaring dan tanpa beban itu menyentakku. Cewek itu menghampiriku.

"Balik kanan! Gue mau ngomong."

Terpaksa berbalik, menghadap sosok yang tengah tersenyum manis. Jangan salah sangka. Aku bukan hendak memujinya, ia hanya jarang tersenyum saja, jadi membuatku terkejut dengan senyum yang menampilkan lesung di pipi kirinya, juga gingsul di sebelah yang sama. Biar kutebak. Ia bersikap manis karena sedang punya keinginan.

"Apaan tampang lo? Kayak abis liat malaikat maut." Gadis itu mendecih. Aku melengos.

Lo bahkan nampak lebih menyeramkan daripada malaikat maut, batinku.

Merengkuh Liku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang