Yang Dirindukan

122 20 17
                                    

Maria Sara Hanifa

Mendengar perkataan Ibu di seberang, kepalaku mendadak terasa seperti dipukul godam. Ayah sedang kritis? Otakku mencerna panjang, tapi tetap mengarah ke satu ujung, kematian. Tiba-tiba tanpa dikomando, bulir bening meluncur bebas di pipi, bagaimana keadaannya? Separah apa? Aku benar-benar anak yang tidak tahu diuntung.

"Anterin gue ke Ayah gue, Dev."

Dari pandanganku yang memburam, dapat kutangkap raut terkejut dari Dev.

"Lo lagi sakit, enggak boleh jalan dulu."

"Gue enggak lumpuh. Ayo, di mana?" Cepat kuturunkan kaki, menyentuh lantai.

"Enggak bisa, Maria, infus lo‒hei!"
Sebelum dia menyelesaikan bicara, aku mencabut jarum infus itu dari punggung tangan. Aku kuat berjalan meski kepalaku terasa berputar dan perutku bergejolak menahan mual, tidak perlu berlebihan dengan mengasihani begitu.

"Apa sih, pada ribut?" Aya yang sedari tadi lelap kini terbangun, mengucek mata sebentar. Ah, Aya pasti tahu jika Ayah dilarikan ke rumah sakit, bukan? Sejak tadi ia bersama Ayah, 'kan?

"Kenapa lo enggak ngasih tau kalau bokap gue kritis?" tanyaku tanpa basa-basi. Aya tergagap sebentar. Ketika ia baru saja hendak membuka mulut, aku lekas memotong. "Gue mau lihat bokap. Lo berdua, terserah mau ikut atau enggak."

🌠


Ternyata kami berada di satu rumah sakit yang sama. Hanya saja, Ayah berada di lantai dua. Dengan arahan dari Dev, tubuhku yang tak dapat kumungkiri masih merasa sedikit lemah dipaksa untuk dibopong oleh Aya. Berjalan terseok, lalu dari beberapa langkah, dapat kulihat Fairuz berdiri di depan pintu. Langsung kulepas tangan dari bahu Aya, berusaha tampak baik.

"Ayah mana?" tanyaku cepat. Fairuz hanya menatap sejenak lalu membuang pandangan. Melengos, menampakkan raut tidak menyenangkan seolah-olah tengah menghakimiku dari tatapannya.

"Di dalam."

Aku menatapnya bingung. "Lo kenapa enggak masuk?"

"Ck! Gue udah muak sama ini semua! Kak, lo harus tau, ya, kalau lo enggak berhak bertingkah kayak gini cuma untuk ngebuktiin seberapa enggak sukanya lo sama Tante Alya!"

Apa katanya? Apa adikku itu berpihak pada istri kedua Ayah? Aku maju beberapa langkah, menarik kerah kemeja Fairuz, membuatnya tampak sedikit syok lalu mendecih seakan tidak peduli.

"Maria‒"

"Sara, udah!"

"Maksud lo apa ngomong kayak gitu?" Tak memedulikan jerit tertahan Aya dan panggilan dari Dev, aku semakin mengeratkan cengkeraman pada kerah baju itu.

Netraku terbelalak ketika Fairus menepis kuat lenganku, tindakan yang sama sekali tidak kusangka. Sepersekian detik kemudian, keadaan berbalik sepenuhnya ketika aku merasakan tangan Firuz memelintir leherku, sebelahnya lagi menahan dua tanganku di belakang punggung. Dev terpaku, Aya berseru tertahan.

"Enggak bisa ya, Kak, buat keadaan kita jadi lebih mudah? Enggak bisa, ya, nerima segala hal ini baik-baik? Hanya karena lo belum tau sebab Ayah nenikahi Tante Alya, lo malah menghakimi Ayah. Menurut lo itu adil?"

Aku mengatur napas lalu berusaha tak terpengaruh. Dengan gerakan cepat, aku melepaskan diri. Mudah saja, tubuhku lebih kecil dibandingkan Fairuz.

Merengkuh Liku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang