Alasan

433 133 235
                                    

Maria Sara Hanifa

Aku mengucek mata ketika mendengar alarm berbunyi. Beriringan dengan gerakan mematikan alarm, azan subuh berkumandang. Tepat sekali. Selanjutnya, aku berwudhu kemudian melaksanakan salat.

Tak memerlukan waktu lama, aku turun ke dapur. Aku menyipitkan mata, kemudian menguceknya. Apa penglihatanku kali ini benar? Bukankah Ibu baru akan pulang dua hari lagi?

"Kapan sampai, Bu?"

"Semalam. Jam sebelas. Kamu udah tidur."

"Yah? Kok enggak dibangunin?"

"Enggak tega. Pulas banget kayaknya," jawab Ibu. Aku terkekeh. Semalam, kepalaku agak sedikit berkunang-kunang. Mungkin karena terlalu banyak menangis.

"Lagi bikin pancake, Bu?"

"Iya. Mau bantu?" Aku mengangguk antusias. Mengambil alih pan dan adonan. "Ayah titip salam buat Sara." Gerakan tanganku terhenti.

Aku harus kuat. Setidaknya di hadapan Ibu.

"Ibu enggak bilang mau nyamperin ayah."

"Memang enggak niat. Ayahmu yang tiba-tiba nyamperin Ibu. Khusus buat kirim salam untuk Sara. Kangen kamu, katanya."

Ya Allah, tahan air mata ini. Jangan jatuhkan di sini. Jangan.

🌠

"Lo nolak buat ikutan olimpiade lagi?" tanya Aya skeptis.

Aku mengangguk yakin.

"Ck! Gue heran deh, Ra, sama lo!" Aya menyandarkan punggungnya ke kursi.

"Banyak, kok, yang heran sama gue," balasku tak acuh, kemudian lanjut membaca novel konspirasi tatanan dunia baru.

"Gini, loh, Ra. Kenapa, sih, lo enggak kembangin aja bakat lo? Maksud gue, kasihan tuh kepala, otak lo encer tapi enggak mau dibawa lomba. Kenapa bakat lo enggak dikembangin, coba?"

"Gue kembangin, kok. Karate gue udah sabuk hitam. Dua bulan lagi turnamen."

"Ck! Bukan itu maksud gue, Ra. Gimana, sih, jelasinnya?"

Aku menutup novel, mengalihkan pandangan pada gadis berhijab dengan wajah menggemaskan tersebut.

"Ah, udahlah. Kenapa lo nolak?"

"Gue malas," jawabku seadanya. Aya menggebrak meja, tidak kuat, sih.

"Malas apa? Malas menang?"

"Ya, enggaklah. Siapa, sih, yang malas menang? Enggak waras, namanya. Nih, denger. Gue malas ikutan bimbel, latihan soal-soal, diskusi materi. Buang-buang waktu. Ntar kelamaan belajar, gue malah jadi bosan. That's it!"

"Ah, terserah lo, deh. Siapa yang gantiin posisi lo?"

"Dev," sahutku. Aya manggut-manggut.

"Kata lo, enggak suka ikutan lomba, kompetisi, olimpiade, de-el-el. Buang-buang waktu, 'kan?"

Aku mengangguk. Berusaha berjalan lebih cepat, menggerutu dalam hati. Apa ia tidak bisa bertanya hal lain saja? Kenapa harus berputar di sekitar topik ini?

"Nah karate? Kok lo mau ikutan turnamen? Padahal latihannya lebih nguras tenaga. Belum lagi kalau ntar lo bonyok sana-sini. Lo cewek. Latihan karate bakal lebih capek dari pada latihan soal, 'kan?"

"Memangnya kenapa? Gue cuma melakukan apa yang gue suka dan gue inginkan. Apa masalahnya?" Aku menatap Aya datar, mulai jengah.

"Gue buat lo marah, ya?" tanya Aya pelan. "Maaf, Ra. Gue cuma lagi berusaha buat pahami lo. Dari SMP lo gila olimpiade banget dan tiba-tiba berubah drastis kayak gini. Gue bingung," lanjutnya.

Merengkuh Liku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang