Maria Sara Hanifa
Kubuka pagar, membuat benda itu berderit, kemudian melanjutkan langkah, tapi kemudian netraku terpaku pada mobil Ayah. Apa ia belum pulang? Padahal sudah malam. Apa ia tidak menemani istri barunya? Ah, untuk apa kupikirkan?
"Dari mana aja?" Aku terperanjat ketika mendengar suara Ayah yang terkesan mengintimidasi, lengkap dengan tatapan tajam, alis bertaut, juga tangan yang bersedekap. Ditambah lagi ada Ibu yang juga berdiri di sebelahnya, serta Fairuz di samping ibu, ekspresinya sama. Sama-sama membuatku merasa dikuliti hidup-hidup.
Aku mengedikkan bahu. Untuk apa peduli?
"Ayah enggak pernah ngajarin Sara buat mengabaikan orangtua," kecamnya. Aku tersenyum kecut, mengabaikan.
"Sara!" panggil Ibu tegas, matanya mengisyaratkanku agar menempati posisi di sebelah ayah. Untuk perintah ibu, aku tidak akan mungkin menolak.
"Dari mana aja?" tanya ayah sekali lagi.
"Rumahnya Dev," jawabku tak acuh.
"Apa? Anak gadis pulang malam dari rumah teman cowoknya?" Aku yakin dan dapat merasakan ada emosi bermain dalam ucapan Ayah. Ah, tapi apa gunanya peduli?
"Apa itu masalah buat Ayah?"
"Ya jelas itu masalah buat Ayah! Kamu anak gadis Ayah! Apa yang kamu lakukan ini udah di luar batas!"
Tercengang. Entah harus merasa haru karena sosok itu masih bisa mengkhawatirkanku, entah harus marah karena menuduh begitu saja. Aku memalingkan wajah dari muka merah Ayah. Diri ini sudah cukup mengerti sistem didikannya, tegas dan cenderung keras dalam urusan lawan jenis dan jam malam, tapi apa ia tidak bisa bertanya baik-baik tentang apa yang baru saja kulakukan di rumah Dev? Mengapa harus semarah itu? Apa penyakit mulai sering membuat emosinya tak terkendali? Apa istrinya tidak bisa memenuhi kebutuhannya lalu ia malah melampiaskan padaku? Cuih. Sungguh hina sekali dirinya, menuduhku pula. Membuat hatiku semakin semangat membenci.
"Nak, dengarkan Ayah. Enggak ada satu pun Ayah yang bisa duduk tenang ketika anak gadisnya-"
Belum selesai berbicara, nada dering ponsel ayah yang melagukan simfoni favorit ibu berbunyi. Siapakah? Apa Tante Alya?
Padahal aku sedang menikmati membentak dan dimarahi ayah. Sungguh, aku rindu dalam usaha benciku ini. Ah, memang selalu ada saja perusak dalam tiap hubungan.
"Maaf, Sara. Nanti kita lanjut lagi ngobrolnya, ya. Tante Alya drop lagi. Ayah harus ngantar ke rumah sakit," pamit ayah. Tak merasa perlu menunggu jawaban, lelaki paruh baya itu langsung saja pergi.
Aku tertawa sumbang, memutuskan tak memedulikan ibu dan Fairuz yang tampak mengantarkan ayah hingga gerbang depan. Buat apa ikut menemani? Toh ujungnya juga aku yang akan ditinggal.
Bukankah kisah ini begitu tragis? Ah, sudahlah. Memang yang seharusnya dibenci tetap dibenci. Begitu lucu ya, hidup ini mempermainkan? Belum selesai satu cerita, sudah ada kisah lain yang harus dilakoni. Bukankah hidup ini selalu egois? Selalu harus ada pengorbanan untuk setiap pilihan.
Selesai menghapus air mata, kulanjutkan derap menuju kamar. Iya, tempat paling nyaman untuk menyesali diri yang tak kunjung mampu membenci. Tempat memandang taburan titik terang di rentang langit luas, mereka ulang segala kenangan untuk kemudian dirutuki dalam sepi.
🌠
Pagi datang lagi, seperti hari-hari biasanya. Seperti tiap malam yang selalu bergulir menyilakan siang untuk berganti, begitu pula wajahku. Untuk pagi ini, aku siap kembali memakai topeng, terlihat kuat dan baik-baik saja. Tak ada bekas air mata, tak ada jejak wajah sembab. Tak ada, sampai malam nanti tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merengkuh Liku
Teen Fiction(COMPLETE) "Aya ... gue ... boleh nangis?" "Boleh, Ra. Selalu boleh." Aya beringsut dari tempatnya berdiri, memangkas jarak lebih dekat. "Gue boleh marah?" Aya kembali menangis dan mengangguk. "Boleh, Ra." "Gue boleh lepas topeng gue?" Aya terdi...