Aadidev Valdezi
Aku tahu, Maria pasti tidak akan puas dengan pencapaianku. Ah, salahkan saja aku yang tidak mengerti beberapa soal. Kupikir, hanya lawan olimpiade dari jurusan IPA yang tangguh, tapi ternyata dalam bidang IPS pun, terbilang cukup ketat persaingannya.
Apa kata Maria saat pertama kali menyuruhku untuk menerima tawarannya? Saingannya sedikit, tidak banyak. Aku berpeluang untuk mendapatkan juara bahkan posisi pertama. Yang benar saja? Aku sampai uring-uringan melihat saingan dengan wajah tak kalah ambisius. Apalagi saat menyelesaikan soal, mereka cenderung lebih cepat.
Walau begitu, tidak apa-apa. Aku juga mungkin harus berterima kasih padanya karena berkat paksaannya, aku sedikit keluar dari zona nyaman, mencoba suatu hal baru yang tidak begitu mudah. Mendapatkan sertifikat pemenang, menemani piagam-piagam biologiku di rumah. Satu lembar, yang tampak sangat berbeda dari yang lainnya, dari ia yang berbeda.
Tatapannya yang berair ketika mengucapkan terima kasih, sedikit membuatku merasa tak enak dan kepikiran. Apa sebegitu besar rasa kecewanya? Yah, tentu saja jika dia sendiri yang berpartisipasi, bukan tak mungkin akan menduduki peringkat pertama. Atau dia mengira aku benar-benar tidak mendapatkan posisi tiga besar? Hei, jangan salahkan otakku yang lupa memberitahunya lebih awal.
Namun, jika dia kecewa, mengapa malah sempat mengulang-ulang ucapan terima kasihnya?
Apa karena aku memberikan piala padanya, lantas ia bahagia?
Ah, aku percaya Maria tidak serendah itu.
Oh, atau apa karena ia bangga pada pencapaianku?
Sepertinya tidak, apa yang bisa dibanggakan? Ayolah Dev mengapa kau terlalu membanggakan diri sendiri?
Oke, sepertinya ini berkaitan dengan hatinya. Bukan urusanku untuk memikirkannya, bukan?
🌠🌠
Maria Sara Hanifa
Sungguh, jiwaku rasanya seperti ditetesi embun ketika melihat Dev memberikan piala penghargaannya padaku. Setitik dalam hati, merasa menyesal menjadikannya perantara untuk mendapatkan keinginanku yang tak sanggup kulakukan hanya karena mengingat Ayah. Apa aku begitu egois? Namun, di sisi lain, rasa bahagia menguar dalam rongga dada, akhirnya aku dapat melihat trofi dengan warna hijau yang dominan untuk bidang geografi lagi, setelah tiga tahun.
Sedikit lebih menikmati jalanan, serta omelan Aya---yang berkoar karena tidak bisa memakan banana crispy-nya sebab kuperintahkan memegang piala---menyambut udara yang menerpa wajah sekaligus dengan polusinya, tak merasa perlu buru-buru sampai ke rumah.
"Ra, buruan, kenapa? Ini gue udah enggak nahan sama wanginya! Mana gue jarang dapet rasa tiramisu! Ini lo jalan lambat banget, lagian," protes Aya yang tertangkap jelas di telingaku. Ya, karena mengemudi dengan kecepatan di bawah rata-rata, perkataannya dapat kudengar dengan baik.
"Kata lo, kalau mau mati jangan ngajak-ngajak," balasku sambil terkekeh pelan, mengingat Aya yang sibuk merutuk diriku saat dalam perjalanan menuju tempat Dev berada.
"Ya, iya! Tapi ini kelewat lambat, Ra! Ish, dari tadi lo enggak dengar orang maki-maki lo karena jalan kayak siput, apa?!"
Ah, iya. Beberapa pengguna jalan melontarkan umpatan karena menilaiku terlalu lambat memacu kecepatan. Ah, biarlah saja. Melaju cepat dihujat, melaju lambat juga dikata-katai. Biarlah, nikmati saja.
"Ra, Ya Allah!"
Eh? Tanganku sedikit oleng mengendalikan stang matic akibat pukulan ringan Aya di bahuku yang meski tidak berat, tetap membuatku berjengit kaget.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merengkuh Liku
Teen Fiction(COMPLETE) "Aya ... gue ... boleh nangis?" "Boleh, Ra. Selalu boleh." Aya beringsut dari tempatnya berdiri, memangkas jarak lebih dekat. "Gue boleh marah?" Aya kembali menangis dan mengangguk. "Boleh, Ra." "Gue boleh lepas topeng gue?" Aya terdi...