Di Balik Topengnya

329 79 146
                                    

Maria Sara Hanifa

Aku merebahkan diri, berpikir selintas. Entah mengapa rasanya bebanku sedikit terangkat. Entah karena alasan apa aku dapat tertawa begitu lepas pada hal yang sebenarnya tidak kuanggap lucu. Menertawakan sebuah keseriusan. Tawa yang benar-benar murni, tanpa penghalang, tanpa sebab yang jelas. Lepas, hilang. Terbang bersama tarikan suara.

Entah mengapa, aku tak bisa untuk sekadar mempertahankan topeng di hadapannya. Dia seakan tahu segalanya. Ia membuatku bicara tanpa menuntut dan membuatku tertawa tanpa lelucon. Ia berhasil membuatku menitikkan air mata tanpa memancing nyala emosiku. Ia yang membuatku melepas beban sementara hanya dengan berteriak di atas atap sekolah.

Hal itu berjalan alami, tanpa ada paksaan juga tanpa maksud apa pun, seakan Tuhan memberinya anugerah untuk tak sengaja menghipnotis. Atau lebih tepatnya, intuisi dan prasangka benar tanpa celah, tapi kali ini pula, aku terus merutuk diriku.

Aku yang lalai dengan prinsip. Berjanji untuk tidak pernah sekalipun tampak lemah di hadapan orang lain.

Aku yang tanpa sadar sedikit membuka jati diri, padahal sebelumnya telah berikrar untuk kuat hadapi emosi jiwa.

Aku yang menangis.

Aku mendongakkan kepala, menahan laju bening yang hendak menyeruak dari mata. Kenapa saat ini aku malah berandai kalau ayah ada di sini? Berandai kalau aku bisa benar-benar menjadi diriku, tanpa berpura-pura seakan tidak terjadi apa-apa. Ah, sudahlah. Dengan menangis dan berkhayal, nyatanya aku tidak punya kuasa merubah apa pun. Berkali pun aku ingin kecewa, nyatanya segala hal tetap berjalan sebagaimana mestinya. Kuseka air mata yang turun lalu duduk, menegakkan tulang punggung.

"Padahal Sara itu cepat nangis, cuma dia suka gengsi. Sama ibunya aja dia nggak mau nunjukin. Nah, sama Ayah malah ditunjukin."

"Soalnya Sara pengen jadi kuat kayak laki-laki. Kayak Ayah."

"Dengarin Ayah, ya, Nak. Mungkin menurut sebagian orang, menangis itu tanda kelemahan. Menangis tidak bisa merubah apa pun atau mengembalikan apa yang telah hilang, tapi menurut Ayah, menangis adalah kekuatan. Kekuatan karena telah mampu menahan sakit. Kekuatan karena mampu meredam emosi. Kekuatan untuk esok bangkit."

Aku kembali mengingat perkataan Ayah entah berapa tahun silam. Nyatanya, sekeras apa pun aku berusaha melupakan, sosok Ayah akan tetap hadir merasuki batin, menggoyahkan pertahanan. Oh Tuhan, mengapa Kau kaitkan batinku dengannya?

"Kak!" Aku berjengit. Bergegas menghapus jejak bulir mataku lantas menoleh ke arah pintu. Fairuz nongol di sana.

"Ketuk dulu, baru masuk! Itu pun kalau gue izinin!" bentakku.

"Ya ampun! Gue udah ngetuk dari lima menit yang lalu. Salah siapa kalau lo enggak dengar? Khawatir gue. Takutnya lo gantung diri," seloroh Fairuz.

Alisku bertaut. Yang benar saja? Lima menit yang lalu? Apa yang membuatku tidak mendengarnya?

"Lo cari gue? Kenapa?" Aku memutuskan untuk tidak mendebatnya.

"Ibu suruh lo turun. Makan malam," jawabnya.

"Gue lagi enggak selera—"

"Cih. Andai aja lo bisa buktiin ke ibu kalau lo nggak lemah hanya karena lo rindu ayah. Tapi nyatanya lo selalu pura-pura. Lo cemen." Ungkapan Fairuz seakan menyentak ragaku, juga memancing ego.

"Lo ngajak gue berantem, ya?!" Aku menyalak, mengancam Fairuz.

"Entar aja berantemnya. Gue masih pegang sabuk cokelat. Ntar kalau udah hitam, gue mau diajak berantem. Lo juga cemen kalau nyerang yang enggak sebanding."

Merengkuh Liku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang