Dua Sisi

137 31 27
                                    

Maria Sara Hanifa

Besok?

Ah, iya, besok. Aku sudah meneliti berkali-kali kalender yang nongkrong manis di atas meja belajar. Bahkan tanggal itu sudah berada dalam lingkaran spidol yang sengaja kucoret agar tampak lebih mencolok, begitu pula berselang dengan tiga tanggal selanjutnya yang kuberi tanda dengan marker biru.

Mondar-mandir menyusuri seisi kamar, mengelilingi single bad, sambil sesekali memerhatikan buku tebal panduan geografi yang teronggok di atas kasur. Ah, jangan salahkan aku yang tadi sempat iseng bernostalgia dengan kenangan lama. Namun, untuk kali ini aku sungguh bisa menutupnya kembali sebelum air mata sialan itu menitik lagi.

Itu semua tentu saja karena aku dialihkan pada bisik-bisik otak untuk mengamati kalender serta note yang tertera di bawah tabel tanggal.

Besok, Dev akan menghadapi olimpiade geografi. Aku bukan tidak memercayai bahwa ia akan keluar sebagai juara, tapi sedikit merasa ragu karena sebelumnya ia sama sekali tidak pernah mempelajari geografi. Bahkan untuk ikut olimpiade saja, aku butuh sedikit memaksanya, mengintimidasi agar tak berkutik.

Ah, semoga saja ia tidak terpaksa belajar. Anak sepintar dan seambisius dirinya mana mungkin mau mengalah pada keadaan.

Kabar baiknya, Dev jarang berkonsultasi padaku soal materi, mungkin karena panduan lengkap yang dipinjam dari perpustakaan sudah cukup menjadi referensinya. Padahal aku ingin sekali merasakan sensasi mengajar geografi. Tahu-tahu, saat ia bertanya, si kacamata tipis itu hanya ingin menyudutkanku.

Tidak bisa disalahkan memang, karena nyatanya sedikit banyak perkataan darinya sungguh menohok batin, relate dengan apa yang sedang kualami. Apa ia benar-benar punya indera keenam?

Memikirkannya membuatku pusing. Mungkin akan lebih baik jika aku tidur saja.

🌠

"Ra," panggil Aya sambil menepuk pelan bahuku, membuatku spontan menoleh padanya yang baru saja datang dan duduk setelah meletakkan tas di atas meja.

"Ya? Kenapa?"

"Dev hari ini ikutan lomba, 'kan, ya?"

Aku mengangguk cepat.

"Ke sana, yuk! Lihat dia," ajakku antusias, malah mendapat kernyitan dahi oleh Aya.

"Lo kayak masih sekolah kelas 1 SD, deh, Ra. Mana boleh kita ada di sana kalau enggak berkepentingan. Memangnya di sana mau ngapain, sih? Nontonin Dev, gitu? Pantau kacamatanya supaya enggak melorot karena terlalu fokus sama kertas-kertasnya?" Aya mengoceh lebar.

Aku berdecak. "Ya enggak apa-apa, kali. Biasanya kalau ada olimpiade gini, apalagi antar provinsi, bakal ada bazar, tau," celetukku. Sontak saja, netra Aya berbinar mendengar kata bazar. Siapa yang tidak suka dengan kata itu? Pasti akan langsung terbayang dan terngiang-ngiang banyak jenis makanan di sana.

"Jadi mau pergi kapan?"

Aku melirik jam dinding di atas papan tulis, yang terletak di bawah poster pancasila---di antara foto presiden dan wakilnya. Jika pergi sekarang, masih keburu, karena waktu bel masuk masih lima menit lagi, tapi takutnya akan dicegat satpam jika keluar saat ini. Penjaga gerbang itu paling disiplin menegakkan kebenaran di sekolah ini.

"Jam pelajaran kedua aja," usulku.

"Ntar kepergok Pak Surya, loh. Hari ini beliau piket. Mau dihukum apa, coba? Bersihin kamar mandi terlalu ringan untuk dijadiin hukuman sama dia."

Merengkuh Liku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang