Tentangnya (2)

295 52 65
                                    

Maria Sara Hanifa

"Hm ... anak itu masih aja tertutup. Ya sudah, biar Tante aja yang cerita. Kayaknya kamu perlu tau—soalnya kamu orang pertama yang dia bawa ke rumah, sih." Ibunya Dev berseru sambil sedikit terkekeh.

Mataku reflek tertoleh pada wanita paruh baya yang dengan tenang mengemudi setelah tergelak sesaat. Ekspresi wajahnya sedikit mengkerut. Sesekali menghela napas berat. Air mukanya cepat sekali berubah.

"Eh, sebenarnya kalau Tante ngerasa berat, enggak apa-apa kalau enggak diceritain, Tan," cegahku. Ibunya Dev malah menggeleng.

"Tante memang lagi pengen cerita, sih. Kamu sendiri enggak buru-buru pulang juga, 'kan? Mau dengar ceritanya?" tanyanya lembut. Persis seperti ibu-ibu yang hendak memulai gosip.

Aku meneguk ludah. Sebenarnya aku tidak berniat untuk mendengarkan cerita tentang Dev. Jangan lupakan beberapa missed call dari ayah, ibu dan juga Fairuz. Mereka pasti khawatir dan panik. Melihat wajah ayu yang seakan menahan beban itu, kepalaku malah tergerak untuk mengangguk.

"Dulu, Dev itu—"

"Tunggu, Tante!" seruku, menghentikan wanita ayu yang hendak menjelaskan. Entah apa yang terjadi dengan perutku, kali ini rasanya mual tak tertahan. Seingatku, tidak pernah ada riwayat penyakit pencernaan seperti asam lambung dalam diriku.

Aku meraih kresek hitam yang memang tersedia di samping jok. Memuntahkan apa yang dari tadi menuntut keluar dari tubuh.

"Eh, ya ampun. Sakit?" tanya ibunya Dev panik. Ia segera melipir, meminggirkan mobil.

Aku langsung keluar, menuntaskan muntahan yang tidak ada isinya. Hanya air dan rasanya pahit, membuatku meyakini bahwa baru saja asam lambungku keluar dari mulut. Semoga saja tidak akut. Ibunya Dev memijat tengkukku, sesekali juga mengusap punggung. Setelah merasa cukup, beliau menyerahkan sekotak tisu yang langsung kusambut.

Mari ingat-ingat sebentar. Bukankah dari pagi tadi perutku tidak mendapatkan jatah makanan? Hanya semangkuk siomay super pedas yang menjadi penghuni lambung. Tak heran sekarang organ pencernaanku mengamuk.

"Karena belum makan ini, pasti. Ya udah, yuk, makan dulu," tawarnya masih dengan nada panik. Aku menggeleng lemah. Kalau sekalian makan malam pasti akan memakan waktu lebih banyak.

"Enggak usah, Tan. Aku baik, kok," tolakku.

"Baik apanya? Makan loh, ya. Tante enggak mau kamu nolak. Bebas pilih mau makan apa. Sate? Soto? Atau rawon? Yang mana? Kamu harus makan, soalnya tuh muka kamu, lihat! Pucat begitu," omelnya. Aku meringis memegang kepala.

Setahuku, gerd atau sakit lambung bisa menyebar efeknya ke jantung, usus dan bahkan kepala. Tak heran saat ini kepalaku terasa berputar hebat. Mungkin ada benarnya menerima tawaran ibunya Dev untuk saat ini, melihat raut wajahnya yang juga tampak begitu khawatir. Alhasil, aku mengangguk, menyebutkan sate sebagai pilihan makanan. Sebenarnya hendak memilih soto, tapi apalah daya lambungku yang mungkin akan menolak segala jenis santan ketika tengah mengamuk seperti ini.

Instruksi untuk memasuki mobil langsung kuturuti. Selanjutnya agak ngebut, ibunya Dev mengemudi. Tepat sepuluh menit, kami tiba. Meski masih sedikit lemas pasca muntah, kuusahakan untuk menolak tawaran dipapah. Aku masih bisa berjalan sendiri.

Tak memerlukan waktu lama antara pemesanan dan pesanannya tiba, kini di hadapanku telah tersedia dua piring sate ayam. Milikku dengan bumbu padang dan milik ibunya Dev dengan bumbu kacang. Saat hendak meraih mangkuk cabai, tanganku dihentikan wanita paruh baya itu, ia menggelengkan kepalanya dengan raut wajah yang dibuat serius. Aku nyengir, lalu membatalkan untuk menambahkan beberapa sendok cabai ke piring. Mungkin aku juga harus sadar diri untuk tidak mengompori lambung.

Merengkuh Liku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang