Pembicaraan Malam

116 25 19
                                    

Maria Sara Hanifa

"Turun, bareng gue. Lo harus pura-pura kuat lagi. Setidaknya, sampai lo tau kebenarannya."

Alisku berkedut dalam.

"Apa maksudnya kebenaran?"

Fairuz mengusap tengkuk, terlihat gugup. Kutatap terus matanya yang kini tak berani untuk sekadar balas menatap seperti biasanya.

"Kebenaran ya ... ya bukan kesalahan," seloroh Fairuz, masih canggung.

"Ada yang disembunyiin dari gue?" Atensiku semakin memicing, memberi tatapan tajam.

Fairuz menggeleng.

"Ayolah, ayah nyempatin untuk ngunjungi kita sebelum besok sore berangkat ke luar kota. Masa lo enggak mau nyamperin?"

Aku terdiam. Memangnya kenapa? Toh, waktu yang dibutuhkan untuk mengunjungi kami tidak sampai sehari. Ah, tapi ... mungkin memang tidak ada salahnya sedikit lebih menghargai.

"Buruan, gue tantang lo untuk berani turun."

"Ya sudah, ayok," ajakku, langsung bangkit dari tempat tidur. Sungguh akan jatuh harga diriku sebagai seorang kakak jika menolak tantangan Fairuz. Demi apa pun, aku benci sifat gengsi ini, tapi mau bagaimana lagi?

Fairuz menatapku dengan tatapan aneh dari ujung kaki hingga kepala sampai aku merasa risih dibuatnya. Untuk apa melihat seperti itu, coba?

"Lo mau turun kayak gitu?"

"Memangnya kenapa?" Aku meneliti penampilan. Kaos putih lengan pendek dengan tulisan kalimat satire di bagian dada, lalu celana pendek berwarna coklat moka.

"Ganti baju, kenapa, sih? Biar agak rapi," protes Fairuz.

"Ribet banget mau makan malam. Biasanya juga gini aja enggak masalah," cerocosku. Ah ayolah, aku hanya akan makan malam bersama Ibu dan Ayah---oh, tidak usah memasukkan nama Tante Alya dalam hitungan---lalu mengapa Fairuz menyuruhku untuk berganti pakaian?

"Ya elah, lo cewek padahal. Enggak bisa gitu, rapi sedikit? Biar enggak kelihatan banget enggak niatnya." Fairuz mencebik.

"Apa sih lo? Heh, makan malam ya makan malam aja, enggak perlu lebay kayak mau ketemu calon mertua." Aku mendecih. Sesaat kemudian, atensiku tertarik pada penampilan Fairuz yang ternyata memang sangat rapi.

"Lagian lo apaan? Mau makan malam aja pake kemeja ginian. Heh, makannya di rumah, bukan di luar apalagi restoran. Gaya lo udah kayak anak SMA mau kencan," ejekku.

Fairuz menghela napas pendek. "Kita 'kan mau makan bareng Tante Alya. Lo mau entar dikatain enggak hormat sama orang tua? Setidaknya harus sopan, biar dianggap welcome sama ayah."

Oh, karena Tante Alya.

"Memang gue harus nunjukin kalau gue menerima Tante Alya malam ini?"

"Ya iyalah."

"Buat apa? Gue yakin Tante Alya juga bakal tau kalau gue sama sekali enggak mengharapkan dia untuk datang. Trus, buat apa gue berpura-pura baik? Muna banget gue."

"Ck! Kepala lo batu, ya?! Heh, Kak, setidaknya kalau lo enggak ngarepin Tante Alya datang, lo ganti baju yang lebih sopan untuk nyambut ayah. Lagian lo kira ayah ke sini untuk apa? Nyakitin hati lo?"

Ah, anak ini. Mengapa dia begitu senang memancing egoku? Padahal tadi, tidak tebersit lagi dalam pikiranku untuk menunjukkan sifat sarkas dan cuek pada Tante Alya dan ayah, tapi mengapa Fairuz malah memantik emosiku?

Jika memang ayah tidak ingin menyakiti hatiku, bukankah seharusnya ia tidak membawa Tante Alya ikut? Apa memang lelaki se-tidak peka itu untuk menghargai perasaanku dan juga ibu? Mungkin niatnya untuk memberi penghargaan pada Fairuz, seperti yang biasa dilakukannya, tapi tetap saja, rasa tidak suka dan benciku tidak akan berubah.

Merengkuh Liku Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang